Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

Meninggal di Usia 80 Tahun, Ini Profil Sastrawan Sapardi Djoko Damono & Karya-karyanya yang Terkenal

Sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada usia 80 tahun, Minggu (19/7/2020) pukul 09.17 WIB.

Gramedia
Sapardi Djoko Damono 

TRIBUNTERNATE.COM - Kabar duka datang dari dunia sastra Indonesia.

Sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada usia 80 tahun, Minggu (19/7/2020) pukul 09.17 WIB.

Sapardi menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan.

Kepala Biro Humas dan Kantor Informasi Publik Universitas Indonesia (UI) Amelita Lusia membenarkan kabar meninggalnya Sapardi Djoko Damono.

"Ya, Mas," kata Amel saat dikonfirmasi, seperti dilansir dari Kompas.com.

Sementara itu, Marketing Communication Manager RS Eka Hospital Erwin Suyanto menjelaskan, penyebab sastrawan kelahiran 20 Maret 1940 itu meninggal dunia disebabkan oleh penurunan fungsi organ.

"Penurunan fungsi organ ya," kata dia.

BREAKING NEWS: Sastrawan Sapardi Djoko Damono Meninggal Dunia

Kabar Duka, Aktor Jepang Haruma Miura Meninggal Gantung Diri, Ini Rekam Jejak Karirnya

Penyebab kematian dan penjelasan lebih detail dilimpahkan oleh pihak keluarga.

"Untuk selanjutnya keluarga akan memberikan keterangan ya," imbuhnya. 

Sapardi Djoko Damono adalah seorang punjagga kebanggaan Indonesia yang lahir di Surakarta, 20 Maret 1940.

Pria yang akrab disapa SDD itu dikenal melalui berbagai puisinya yang penuh makna kehidupan.

Sapardi menghabiskan masa mudanya di Kota Solo, Jawa Tengah.

Ia merupakan lulusan SMP Negeri 2 Surakarta di tahun 1955 dan SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958.

Kemudian, Sapardi melanjutkan pendidikannya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan mengambil jurusan Bahasa Inggris.

Semasa kuliah, kesukaannya menulis pun semakin berkembang.

Tahun 1973, Sapardi pindah dari Semarang ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison.

Setahun kemudian, Sapardi lantas mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia.

Selama mengajar di UI, Sapardi sempat menjabat sebagai dekan FIB UI periode 1995-1999 dan menjadi guru besar.

Pada masa tersebut, ia juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur.

Pengisi Suara Doraemon, Nurhasanah Meninggal Dunia, Sebelumnya Sakit Stroke, Ini Fakta-faktanya

Komedian Omas Meninggal Dunia, Mandra Sebut Sang Kakak Sudah Lama Idap Penyakit Paru-paru

Sastrawan dan penyair kebanggaan Indonesia ini telah banyak menerima penghargaan.

Pada tahun 1986, Sapardi Djoko Damono mendapatkan anugerah SEA Write Award.

Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003.

Selain itu, Sapardi merupakan seorang pendiri Yayasan Lontar.

Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.

Karya-karya Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono tidak saja aktif menulis puisi, namun juga cerita pendek.

Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom atau artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.

Sepanjang hidupnya ia telah banyak menciptakan karya yang membuat namanya dikenal di kalangan pegiat sastra.

Berikut ini sejumlah karya yang pernah dilahirkan Sapardi, dirangkum dari Kompas.com

1. Hujan Bulan Juni

Hujan Bulan Juni adalah salah satu karya terkenal ciptaan Sapardi.

Hujan Bulan Juni bermula dari kumpulan puisi yang kemudian berkembang menjadi sebuah novel trilogi.

Novel ini bercerita mengenai kisah getir nan manis Sarwono dan Pingkan.

Novel ini juga diadaptasi ke dalam layar lebar yang diperankan oleh Adipati Dolken dan Velove Vexia.

Kumpulan puisi Hujan Bulan Juni bahkan telah dialihbahasakan ke dalam empat bahasa yakni Inggris, Jepang, Arab, dan Mandarin.

Kumpulan puisi ini terbit pada 1994 memuat 102 puisi yang ditulis dalam rentang waktu 1964-1994.

2. Yang Fana Adalah Waktu

Melansir dari Gramedia.com, Yang Fana adalah Waktu adalah seri ketiga dari trilogi Hujan Bulan Juni.

Novel ini berisikan sekitar 140 halaman, dengan kisah seputar hubungan Sarwono dan Pingkan.

Dimana Sarwono di Solo dan Pingkan di Kyoto mereka hanya berkomunikasi menggunakan surel. Saat hubungan jarak jauh berlangsung, orang ketiga pun datang.

Melansir dari Kompas.com (28/4/2020) Yang Fana Adalah Waktu dulunya merupakan judul puisi Sapardi yang termuat dalam kumpulan sajak Perahu Kertas (1983).

3. Duka-Mu Abadi

Kumpulan puisi Duka-Mu Abadi pertama kali diterbitkan pada tahun 1968.

Berisi sajak-sajak indah yang membebaskan hati dan menjadikannya sedih.

Buku ini berisi 43 puisi yang ditulis pada tahun 1967 dan tahun 1968.

Pada 2017 buku ini diterbitkan kembali bersama tujuh buku sekaligus dan menjadi salah satu yang diminati.

4. Bilang Begini, Maksudnya Begitu

Salah satu karya Sapardi yang lain adalah “Bilang Begini Maksudnya Begitu”

Buku ini berisi ajakan agar para pembaca lebih memahami sastra.

Hal itu karena kerapkali para penyair menyampaikan maksud yang tidak gamblang dalam setiap kata-katannya.

Sapardi memberikan sejumlah contoh beberapa “alat-alat” yang kerap digunakan penyair dalam puisinya agar publik lebih mudah memahami.

5. Manuskrip Sajak Supradi

Manuskrip ini terbit tahun 2017.

Melansir dari Gramedia, buku ini berisi corat-coret Sapardi sejak muda hingga dewasa.

Buku dirancang berupa album kolase gambar yang terbagi dalam beberapa periode tahunan sejak 1958 hingga 1968, serta 1970-an.

Dalam buku tersebut juga terdapat sajak-sajak indah Sapardi yang spontan, mengalir apa adanya sebelum lahir dalam bentuk buku.

Sapardi berharap buku tesebut menjadi bahan studi pembelajaran fakta.

(TribunTernate.com/Kompas.com)

Sumber: Tribun Ternate
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved