Sujiwo Tejo Khawatir dengan Buzzer Penumpang Gelap: Nanti Para Kritikus Akan Berguguran, Itu Bahaya
Penulis buku 'Tuhan Maha Asyik' ini merasa takut dengan keberadaan buzzer, yang disebutnya sebagai buzzer penumpang gelap.
TRIBUNTERNATE.COM - Budayawan Sujiwo Tejo angkat bicara terkait serangan buzzer.
Ia menyarankan pemerintah untuk menertibkan buzzer.
Sebab jika terus menerus dibiarkan, kata Sujiwo Tejo, hal itu bisa sangat berbahaya.
Pendapat Sujiwo Tejo tersebut ia sampaikan sebagai respons pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengajak masyarakat aktif mengkritik.
Penulis buku 'Tuhan Maha Asyik' ini merasa takut dengan keberadaan buzzer, yang disebutnya sebagai buzzer penumpang gelap.
"Yang saya takut dengan buzzer-buzzer penumpang gelap, bukan buzzer," ujar Sujiwo Tejo, dikutip dari tayangan di kanal YouTube Indonesia Lawyers Club, yang diunggah Kamis (11/2/2021).
Menurutnya, buzzer dengan buzzer penumpang gelap itu berbeda.
"Kalau buzzer itu, setiap orang punya buzzer, pikiran diserang dengan pikiran. Buzzer penumpang gelap, pikiran diserang dengan pribadi dan lain sebagainya," imbuhnya.
Lebih lanjut, Sujiwo Tejo mengungkap kekhawatirannya dengan keberadaan buzzer penumpang gelap.
"Aku takutnya kalau buzzer penumpang gelap ini dibiarkan akan tumbuh revolusi," ungkap Sujiwo Tejo.
Bahkan, dikatakan oleh Sujiwo Tejo, hal itu bisa sangat berbahaya.
Sebab bisa saja nantinya para kritikus akan berguguran dan hanya tumbuh satu kritikus saja.
"Karena revolusi tidak berasal dari banyak orang, bahkan tidak berasal dari segelintir orang, tapi revolusi selalu berasal dari hanya hanya hanya segelintir orang.
Artinya kalau buzzer penumpang gelap ini terus (dibiarkan, -red), nanti kritikus-kritikus akan berguguran, yang tumbuh hanya satu kritikus saja tapi itu sangat berbahaya," terangnya.
Video selengkapnya:
Sebelumnya diberitakan, Presiden Jokowi sempat bicara soal kritik saat menerima laporan tahunan Ombudsman pada Senin (8/2/2021).
Jokowi mendorong masyarakat turut beperan aktif dalam menyampaikan kritik kepada pemerintah.
"Semua pihak harus menjadi bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," ujar Jokowi
Pihak Istana juga menekankan mengenai pentingnya kritik dan saran bagi pemerintah.
Seskab Pramono Anung mengatakan kritik yang keras dan terbuka akan membuat pembangunan lebih terarah.
Kata Pengamat Soal Jokowi Minta Masyarakat Kritik Pemerintah
Di sisi lain, pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menilai ajakan Kepala Negara agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah adalah hal yang aneh.
"Ajakan presiden itu tentu aneh mengingat Indonesia menganut demokrasi. Di negara demokrasi, kritik itu harusnya mengemuka secara alamiah, bukan diminta," ujar Jamiluddin, kepada wartawan, Rabu (10/2/2021)., dilansir dari Tribunnews.com.
Menurutnya di negara demokrasi, masyarakatnya akan aktif menyampaikan kritiknya terhadap kebijakan pemerintah, termasuk atas sikap dan perilaku pejabat negara.
Sehingga permintaan Jokowi dianggap Jamiluddin seolah memberitahukan ada sesuatu yang tidak beres dalam demokrasi Indonesia.
"Jadi kalau presiden meminta masyarakat aktif mengkritik pemerintah, berarti ada yang tidak beres dalan praktik demokrasi di Indonesia. Demokrasi berjalan seolah-olah belum memberi ruang yang besar pada masyarakat untuk menyampaikan kritiknya," ungkapnya.
"Padahal ruang untuk itu sangat terbuka sejak anak bangsa sepakat menganut demokrasi. Hanya saja, dalam perjalanannya, ruang menyatakan kritik itu menjadi terbelenggu setelah bermunculan buzzer bayaran di media sosial," imbuhnya.
Jamiluddin menegaskan para buzzer bayaran tak sungkan menguliti siapa saja yang mengkritik pemerintah.
"Karena itu, kalau presiden ingin masyarakat aktif mengkritik pemerintah, maka para buzzer bayaran yang pertama harus ditertibkan. Sebab, mereka ini yang aktif menguliti siapa saja yang mengkritik pemerintah," jelas dia.
"Masalahnya, apakah Presiden Jokowi mau menertibkan para buzzer bayaran? Kalau tidak, tentu ajakan Presiden Jokowi agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah hanya basa basi politik saja," pungkas Jamiluddin.
Istana Pastikan Pemerintah Tak Punya Buzzer
Sementara itu, Istana Kepresidenan RI melalui Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman membantah pemerintah memiliki Buzzer untuk membungkam kritik.
Fadjroel mengatakan, pemerintah selalu terbuka menghadapi kritik setiap warga negara.
“Pemerintah tidak punya Buzzer,” tegas Fadjroel Rachman seperti dikutip dari Kompas.com, Kamis (11/2/2021).
Fadjroel menuturkan pemerintah tidak pernah memiliki persoalan jika ada yang oposisi yang menyampaikan kritik maupun saran.
Pemerintah menyadari, Indonesia merupakan demokratis dan setiap kebijakan tentu saja ada yang mendukung dan mengkritik.
"Ini negara demokratis, siapa pun yang mendukung kebijakan dipersilakan dan siapa pun mengkritik bahkan beroposisi dengan pemerintah dipersilakan," ujarnya.
Apalagi, sambung Fadjroel, setiap warga negara berhak menyampaikan pendapatnya seperti yang diatur dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945.
Selain itu, Fadjroel mengingatkan, patut diketahui kebebasan berpendapat juga memiliki aturan seperti yang tersebut di Pasal 28 J UUD 1945.
Yaitu, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang untuk menjamin penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Jika pendapat disampaikan melalui media sosial, kata Fadjroel, masyarakat harus tunduk pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Bila di media sosial harus memperhatikan Undang-undang ITE," ujarnya.
(TribunTernate.com, Tribunnews.com, Kompas.com)