Menyapa Nusantara 2025
Pemberian Gelar Pahlawan Nasional 2025 dan Momen Rekonsiliasi Simbolik
Nilai terbesar dari gelar kepahlawanan bukan pada siapa yang diberi, tapi pada bagaimana bangsa ini belajar dari mereka
Tokoh keempat, Marsinah. Berbeda dengan Soeharto yang berada di puncak piramida kekuasaan Orde Baru, Marsinah justru berdiri di dasar piramida itu. Ia mewakili jutaan buruh yang menjadi tulang punggung pembangunan Orde Baru.
Marsinah, buruh pabrik arloji di Sidoarjo, menjadi simbol keberanian setelah memperjuangkan hak-hak pekerja pada 1993. Keberaniannya menuntut keadilan berakhir tragis yaitu tubuhnya ditemukan tewas setelah diduga diculik dan disiksa.
Namun, kematiannya menyalakan api kesadaran baru tentang pembangunan, bahwa pembangunan tanpa kemanusiaan hanyalah mesin yang kehilangan arah.
Marsinah menjadi wajah “rakyat kecil” yang melawan dengan suara, bukan senjata. Dalam gelombang sunyi masa itu, keberaniannya mengguncang kesadaran publik bahwa hak asasi manusia adalah fondasi kemajuan sejati.
Tokoh terakhir atau kelima, Mochtar Kusumaatmaja. Ia adalah sosok yang memperjuangkan Indonesia di panggung dunia. Sebagai Menteri Luar Negeri era Soeharto (1978-1988), ia mengusung konsep “negara kepulauan” (archipelagic state) yang kemudian diakui dunia lewat UNCLOS 1982.
Karyanya memastikan bahwa laut Indonesia adalah pemersatu wilayah. Lewat diplomasi yang cerdas, Mochtar mengubah geopolitik menjadi geokultural dengan memperkuat kedaulatan tanpa mengangkat senjata. Dalam lanskap Orde Baru, Mochtar adalah simbol dari diplomasi yang berdaulat namun beradab.
Membaca kiprah kelima tokoh tersebut di atas, tampak peran mereka yang berbeda satu sama lain. Soeharto membangun dari atas, Marsinah berjuang dari bawah, Gus Dur menembus batas moral, Sarwo memulihkan keamanan negara dan Mochtar menjaga batas negara.
Selain itu, tampak adanya semangat rekonsiliasi yang secara simbolik ingin dibangun oleh pemerintahan Presiden Prabowo melalui penganugerahan gelar pahlawan nasional secara bersamaan.
Presiden Prabowo ingin menunjukkan bahwa Pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak hanya menghargai mereka yang berkuasa, tetapi juga mereka yang menentang ketidakadilan, memperjuangkan kemanusiaan, dan menjaga kedaulatan bangsa.
Karena itu, kelima tokoh yang menjadi pahlawan nasional bukan hanya representasi masa Orde Baru, tetapi juga cermin dari kompleksitas bangsa ini. Cermin antara stabilitas dan kebebasan, pembangunan dan keadilan, nasionalisme dan kemanusiaan.
Selain itu juga, pemerintah ingin menunjukkan fakta bahwa sejarah suatu bangsa tidak pernah tunggal dan tidak pernah dapat dihadirkan kembali sebagaimana adanya. Sejarah dibentuk oleh kekuasaan dan kritik, oleh pembangunan dan nurani, oleh stabilitas dan perjuangan.
Seperti dikatakan Sejarawan Sartono Kartodirdjo “Sejarah tidak pernah dapat dihadirkan kembali sebagaimana adanya; yang dapat dilakukan hanyalah rekonstruksi yang bersifat selektif dan interpretatif.” (Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1992).
Baca juga: Faqih Abrizami, Murid MIS Fathul Munir Ternate Sabet Medali Perunggu Olimpiade IPAS Tingkat Nasional
Akhirnya, dua puluh tujuh tahun setelah reformasi, bangsa ini diingatkan kembali bahwa sejarah Indonesia tidak hanya tentang tindakan yang diukur di medan perang, tetapi juga diukur dari keberanian moral seperti Marsinah, kebijaksanaan seperti Gus Dur, visi kedaulatan seperti Mochtar, kepemimpinan militer Sarwo, dan kepemimpinan pemerintah Soeharto.
Kita juga diingatkan bahwa sejarah Orde Baru tidak lagi hanya tentang “kekuasaan yang lama”, melainkan tentang pelajaran yang abadi, bahwa kekuatan sejati bangsa ini lahir dari dialog antara kekuasaan, moral, dan kemanusiaan.
Oleh karena itu, nilai terbesar dari gelar kepahlawanan bukan pada siapa yang diberi, tapi pada bagaimana bangsa ini belajar dari mereka. (*)
(ANTARA/Aris Heru Utomo/12 November 2025)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/ternate/foto/bank/originals/Gelar-pahlawan.jpg)