Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

Menyapa Nusantara 2025

Pemberian Gelar Pahlawan Nasional 2025 dan Momen Rekonsiliasi Simbolik

Nilai terbesar dari gelar kepahlawanan bukan pada siapa yang diberi, tapi pada bagaimana bangsa ini belajar dari mereka

Editor: Munawir Taoeda
ANTARA/Willi Irawan
GELAR: Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (keenam dari kanan) saat tasyakuran penganugerahan gelar Pahlawan Nasional Marsinah di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Selasa (11/11/2025). 

TRIBUNTERNATE.COM, TERNATE - Pada 10 November 2025, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh bangsa.

Dari daftar tersebut, terdapat lima nama yang seolah membawa kita kembali ke babak panjang sejarah Indonesia modern yaitu Soeharto, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sarwo Edhie Wibowo, Marsinah, dan Mochtar Kusumaatmaja.

Dianugerahkannya gelar Pahlawan Nasional kepada mereka tentu saja menarik. Karena, meskipun kelimanya hidup dan berjuang di masa yang sama, suatu masa yang oleh sejarah dikenal sebagai Orde Baru, posisi mereka terhadap kekuasaan sangatlah beragam.

Satu memegang kekuasaan tertinggi, satu melawannya dengan keberanian moral, satu memastikan keamanan nasional, satu memperjuangkan hak rakyat kecil di tengah represi, dan satu mengokohkan kedaulatan Indonesia di forum internasional.

Baca juga: Dari Nyepi hingga Idul Fitri: Berikut Jadwal Lengkap Libur 2026

Tokoh pertama, Soeharto. Nama Soeharto adalah pusat orbit politik Indonesia selama lebih dari 32 tahun.

GELAR: Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (keenam dari kanan) saat tasyakuran penganugerahan gelar Pahlawan Nasional Marsinah di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Selasa (11/11/2025).
GELAR: Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (keenam dari kanan) saat tasyakuran penganugerahan gelar Pahlawan Nasional Marsinah di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Selasa (11/11/2025). (ANTARA/Willi Irawan)

Ia memimpin dengan visi stabilitas dan pembangunan ekonomi yang membawa Indonesia keluar dari krisis pasca-1965.

Dalam pemerintahannya, kedaulatan ditegakkan, jalan-jalan dibuka, sawah diperluas, dan swasembada pangan dicapai.

Namun, stabilitas itu juga menuntut harga yang mahal yaitu kebebasan politik yang ditekan, suara-suara kritis yang dibungkam, dan keadilan sosial yang tak selalu merata. Pemberian gelar pahlawan nasional kepadanya tentu menimbulkan pro dan kontra.

Meskipun demikian, Soeharto tetap menjadi figur yang tak bisa dihapus dari narasi besar Indonesia modern.

Tokoh kedua, Gus Dur. Ia adalah sosok yang berdiri di antara kekuasaan dan perlawanan, sosok yang selalu menyuarakan pluralisme, kebebasan beragama, dan demokrasi jauh sebelum reformasi bergulir.

Sebagai tokoh Nahdlatul Ulama, Gus Dur tidak menentang Orde Baru secara frontal, tetapi ia menolak untuk tunduk. Melalui tulisan dan pemikiran, ia mengajak bangsa ini berpikir lebih manusiawi.

Saat reformasi tiba pada 1998, Gus Dur menjadi simbol penyembuhan nasional yang mencoba menghapus luka masa lalu dengan humor, empati, dan keterbukaan.

Dalam konteks Orde Baru, Gus Dur adalah oposisi moral yang menyalakan lentera di tengah kegelapan kekuasaan.

Tokoh ketiga, Sarwo Edhie Wibowo. Ia adalah seorang tokoh militer era Orde Baru yang menumpas Gerakan 30 September yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) pada tahun 1965.

Sebagai Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), atas perintah Soeharto, Sarwo Edhie memimpin operasi militer yang krusial setelah peristiwa G30S/PKI untuk mengamankan dan memulihkan situasi nasional saat itu.

Tokoh keempat, Marsinah. Berbeda dengan Soeharto yang berada di puncak piramida kekuasaan Orde Baru, Marsinah justru berdiri di dasar piramida itu. Ia mewakili jutaan buruh yang menjadi tulang punggung pembangunan Orde Baru.

Marsinah, buruh pabrik arloji di Sidoarjo, menjadi simbol keberanian setelah memperjuangkan hak-hak pekerja pada 1993. Keberaniannya menuntut keadilan berakhir tragis yaitu tubuhnya ditemukan tewas setelah diduga diculik dan disiksa.

Namun, kematiannya menyalakan api kesadaran baru tentang pembangunan, bahwa pembangunan tanpa kemanusiaan hanyalah mesin yang kehilangan arah.

Marsinah menjadi wajah “rakyat kecil” yang melawan dengan suara, bukan senjata. Dalam gelombang sunyi masa itu, keberaniannya mengguncang kesadaran publik bahwa hak asasi manusia adalah fondasi kemajuan sejati.

Tokoh terakhir atau kelima, Mochtar Kusumaatmaja. Ia adalah sosok yang memperjuangkan Indonesia di panggung dunia. Sebagai Menteri Luar Negeri era Soeharto (1978-1988), ia mengusung konsep “negara kepulauan” (archipelagic state) yang kemudian diakui dunia lewat UNCLOS 1982.

Karyanya memastikan bahwa laut Indonesia adalah pemersatu wilayah. Lewat diplomasi yang cerdas, Mochtar mengubah geopolitik menjadi geokultural dengan memperkuat kedaulatan tanpa mengangkat senjata. Dalam lanskap Orde Baru, Mochtar adalah simbol dari diplomasi yang berdaulat namun beradab.

Membaca kiprah kelima tokoh tersebut di atas, tampak peran mereka yang berbeda satu sama lain. Soeharto membangun dari atas, Marsinah berjuang dari bawah, Gus Dur menembus batas moral, Sarwo memulihkan keamanan negara dan Mochtar menjaga batas negara.

Selain itu, tampak adanya semangat rekonsiliasi yang secara simbolik ingin dibangun oleh pemerintahan Presiden Prabowo melalui penganugerahan gelar pahlawan nasional secara bersamaan.

Presiden Prabowo ingin menunjukkan bahwa Pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak hanya menghargai mereka yang berkuasa, tetapi juga mereka yang menentang ketidakadilan, memperjuangkan kemanusiaan, dan menjaga kedaulatan bangsa.

Karena itu, kelima tokoh yang menjadi pahlawan nasional bukan hanya representasi masa Orde Baru, tetapi juga cermin dari kompleksitas bangsa ini. Cermin antara stabilitas dan kebebasan, pembangunan dan keadilan, nasionalisme dan kemanusiaan.

Selain itu juga, pemerintah ingin menunjukkan fakta bahwa sejarah suatu bangsa tidak pernah tunggal dan tidak pernah dapat dihadirkan kembali sebagaimana adanya. Sejarah dibentuk oleh kekuasaan dan kritik, oleh pembangunan dan nurani, oleh stabilitas dan perjuangan.

Seperti dikatakan Sejarawan Sartono Kartodirdjo “Sejarah tidak pernah dapat dihadirkan kembali sebagaimana adanya; yang dapat dilakukan hanyalah rekonstruksi yang bersifat selektif dan interpretatif.” (Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1992).

Baca juga: Faqih Abrizami, Murid MIS Fathul Munir Ternate Sabet Medali Perunggu Olimpiade IPAS Tingkat Nasional

Akhirnya, dua puluh tujuh tahun setelah reformasi, bangsa ini diingatkan kembali bahwa sejarah Indonesia tidak hanya tentang tindakan yang diukur di medan perang, tetapi juga diukur dari keberanian moral seperti Marsinah, kebijaksanaan seperti Gus Dur, visi kedaulatan seperti Mochtar, kepemimpinan militer Sarwo, dan kepemimpinan pemerintah Soeharto.

Kita juga diingatkan bahwa sejarah Orde Baru tidak lagi hanya tentang “kekuasaan yang lama”, melainkan tentang pelajaran yang abadi, bahwa kekuatan sejati bangsa ini lahir dari dialog antara kekuasaan, moral, dan kemanusiaan.

Oleh karena itu, nilai terbesar dari gelar kepahlawanan bukan pada siapa yang diberi, tapi pada bagaimana bangsa ini belajar dari mereka. (*)

(ANTARA/Aris Heru Utomo/12 November 2025)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Komentar

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved