Menyapa Nusantara 2025

Menuju Kabupaten Merdeka Fiskal

Editor: Munawir Taoeda
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Diskusi Apkasi dengan Komisi II DPR RI membahas terkait Kabupaten Merdeka Fiskal di Jakarta, 20 Agustus 2025.

TRIBUNTERNATE.COM, TERNATE - Diskusi terbatas antara Komisi II DPR RI dan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) menjadi ruang pertemuan gagasan yang sarat makna tentang arah kebijakan fiskal daerah dan masa depan demokrasi elektoral Indonesia.

Di forum ini, penulis mengangkat isu terkait urgensi membangun fondasi kemandirian fiskal kabupaten sebagai salah satu prasyarat utama menuju tata kelola pemerintahan daerah yang lebih berdaya.

Angka yang patut dicermati memang mengejutkan, dengan sekitar 90,3 persen daerah di Indonesia atau 493 dari 546 daerah masih bergantung pada transfer pusat, dengan kategori kapasitas fiskal lemah.

Tercatat hanya 26 daerah, atau 4,76 persen, yang benar-benar mampu berdiri di atas kaki sendiri, dengan pendapatan asli daerah lebih besar daripada dana transfer.

Situasi ini memunculkan tantangan serius bagi kemampuan daerah dalam mengoptimalkan badan usaha milik daerah (BUMD), badan layanan umum daerah (BLUD), dan pengelolaan aset yang menjadi tulang punggung pembangunan lokal.

Gagasan Kabupaten "Merdeka Fiskal" bukan berarti memutus hubungan dengan pemerintah pusat, melainkan menggeser pola pikir dari ketergantungan menjadi kemandirian daerah.

Dengan demikian, maka transfer pusat seharusnya hanya menjadi stimulan, bukan menjadi napas utama penggerak pembangunan daerah.

Strategi yang bisa dilakukan mencakup diversifikasi sumber pendapatan asli daerah, reformasi total BUMD agar dikelola secara profesional, optimalisasi pemanfaatan aset daerah, serta perbaikan tata kelola transfer pusat agar lebih efektif.

Dalam kerangka ini, Komisi II DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri sedang merancang RUU Badan Usaha Milik Daerah, sebagai salah satu instrumen hukum kunci.

RUU ini diharapkan melahirkan tata kelola korporasi yang modern, memisahkan penugasan layanan publik dari bisnis komersial, memastikan proses seleksi direksi yang profesional dan bebas dari intervensi politik, serta memperkuat mekanisme pengawasan.

Di sisi lain penting juga untuk memperhatikan pemisahan yang tegas antara tugas sosial BUMD sebagai penyedia layanan publik atau public service obligation (PSO) dan aktivitas bisnis komersial.

Untuk PSO, diperlukan kompensasi yang jelas agar tidak terjadi subsidi silang yang justru membebani kinerja BUMD.

Selain soal kemandirian fiskal, isu lain yang menjadi concern banyak pihak adalah soal dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi No.135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal dengan jarak 2,5 tahun.

Putusan ini ibarat sebagai “gempa konstitusional” yang merobek desain pemilu serentak yang sudah dibangun.

Ada tiga problem utama yang bisa disoroti. Pertama, tumpang tindih norma hukum karena pemisahan jadwal pemilu dinilai bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang mengamanatkan pemilu lima tahunan yang diselenggarakan secara serentak.

Kedua, potensi krisis masa jabatan karena pemilu lokal 2024 yang telah digelar berpotensi membuat masa jabatan kepala daerah dan DPRD diperpanjang hingga 2031, tanpa dasar hukum yang jelas, yang bisa melanggar prinsip periodisasi jabatan.

Ketiga, kecenderungan pergeseran fungsi Mahkamah Konstitusi yang dinilai melampaui kewenangannya sebagai negative legislature, yakni penguji undang-undang, dan justru masuk ke wilayah positive legislature, yakni pembentukan norma baru yang sejatinya menjadi kewenangan DPR dan pemerintah.

Kondisi ini bukan sekadar perdebatan akademis, tetapi problematik kenegaraan yang serius karena berpotensi mengganggu keseimbangan sistem demokrasi.

Ruang dialog

Dalam menghadapi kerumitan ini, beberapa solusi ambisius bisa dilakukan melalui kodifikasi besar-besaran regulasi pemilu untuk menghadapi Pemilu 2029.

Usulan ini mencakup penggabungan enam undang-undang sekaligus ke dalam satu payung hukum tunggal melalui pendekatan omnibus law.

Enam undang-undang itu meliputi UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, UU Pemerintahan Daerah, UU MD3, dan aturan mengenai penyelesaian sengketa pemilu.

Langkah ini dapat menciptakan kepastian hukum, menyederhanakan regulasi yang tumpang tindih, menghemat anggaran, dan menyiapkan desain pemilu yang lebih terintegrasi dan sistemik.

Pimpinan DPR dan seluruh fraksi siap bersinergi untuk mencari jalan tengah terbaik. Di sisi lain semua pihak harus berpegang pada konstitusi sebagai hukum tertinggi sambil tetap menghormati putusan Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian, rekonsiliasi antara kepastian hukum dan stabilitas politik dapat dicapai, tanpa mengorbankan salah satunya.

Sikap Apkasi sebagai pendukung utama terwujudnya otonomi daerah juga perlu diapresiasi karena senantiasa menyambut baik keterlibatan Komisi II DPR RI dalam dialog terbuka bersama para bupati.

Dalam berbagai kesempatan, Ketua Umum Apkasi Bursah Zarnubi sudah menegaskan pentingnya komunikasi dan konsultasi yang berkesinambungan untuk membahas masalah-masalah politik, ekonomi, dan pembangunan di daerah.

Memang keberhasilan program strategis nasional tidak hanya ditentukan oleh kebijakan pusat, tetapi juga oleh kapasitas fiskal dan kemampuan manajerial daerah. Kalau kapasitas fiskal daerah terganggu, otomatis sumber daya pembangunan juga akan terganggu.

Oleh karena itu, Komisi II DPR RI mendukung berbagai program Apkasi, termasuk rencana digelarnya Apkasi Otonomi Expo 2025 pada 28-30 Agustus di ICE BSD, Tangerang, sebagai momentum memperkuat kerja sama antardaerah.

Expo semacam ini diharapkan bukanlah seremoni semata, melainkan harus menjadi ruang strategis untuk menggalang kemitraan dan mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis potensi daerah.

Apalagi ke depan disadari bahwa tantangan otonomi daerah dan desain demokrasi tidak bisa dipandang terpisah.

Kemandirian fiskal daerah menjadi fondasi untuk memastikan pemerintah kabupaten dapat mengelola pembangunan secara efektif, sementara kepastian hukum dan tata kelola demokrasi menjadi kerangka yang melindungi hak dan kepentingan rakyat.

Jika kedua aspek ini berjalan selaras, keseimbangan antara pembangunan pusat dan daerah akan lebih mudah dicapai.

Namun, mewujudkan kondisi ideal ini menuntut keberanian untuk melakukan reformasi struktural yang menyentuh akar masalah, bukan sekadar menambal kekurangan di permukaan.

Maka penting untuk senantiasa membuka ruang dialog yang sehat antara DPR, pemerintah daerah, dan Apkasi untuk mencari titik temu di tengah kompleksitas kebijakan nasional.

Sebab tantangan kemandirian fiskal memerlukan inovasi, keberanian, dan komitmen bersama, sementara pembenahan regulasi pemilu membutuhkan perspektif jangka panjang dan kesediaan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kalkulasi politik sesaat.

Dengan kombinasi kedua pendekatan ini, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan, di mana kabupaten tidak hanya menjadi penerima kebijakan, tetapi juga pusat pertumbuhan yang berdaya dan berkontribusi nyata pada pembangunan nasional.

Apabila visi Kabupaten "Merdeka Fiskal" benar-benar diwujudkan dan kodifikasi regulasi pemilu dilakukan dengan matang, maka bukan mustahil pada 2029 Indonesia akan memiliki fondasi demokrasi yang lebih kokoh, pemerataan pembangunan yang lebih nyata, dan kapasitas daerah yang lebih kuat.

Dialog dan komunikasi yang intens pun menjadi awal penting untuk membangun sinergi dan komitmen lintas sektor, karena pada akhirnya keberhasilan kebijakan nasional akan ditentukan oleh seberapa jauh daerah diberdayakan dan seberapa efektif pusat mendukungnya.

Rifqinizamy Karsayuda adalah Ketua Komisi II DPR RI.

(ANTARA/Masuki M Astro, 21 Agustus 2025)

Berita Terkini