Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

Tagar #SavePapua Trending di Twitter, Hutan Adat di Papua Habis demi Perluasan Lahan Kelapa Sawit?

Twitter sejak pagi, Jumat (13/11) telah ramai dengan tagar #SavePapua dan pembicaraan mengenai hutan. Sebenarnya, ada apa?

Editor: Sansul Sardi
GREENPEACE via BBC INDONESIA
Pada 2015 marga pemilik hak ulayat sepakat untuk melepas hutan adat mereka dengan menerima ganti rugi Rp100.000 untuk tiap hektar hutan adat yang kini menjadi area PT Tunas Sawa Erma Blok-E seluas 19.000 hektar. 

TRIBUNTERNATE.COM - Tagar #SavePapua mendadak ramai diperbicangakan netter di Linimasa Twitter sejak pagi, Jumat (13/11).

Hal ini rupanya berkaitan dengan adanya pembicaraan mengenai hutan. Sebenarnya, ada apa?

Ternyata, BBC baru saja merilis hasil investigasi tentang pembakaran hutan di Boven Digoel.

Dalam hasil investigasi yang ditulis menjadi artikel berjudul ‘The burning scar: Inside the destruction of Asia’s last rainforests’ itu, BBC mengungkapkan bahwa ada perusahaan yang sengaja membakar hutan untuk memperluas lahan sawit.

Diketahui, Korindo Group merupakan perusahaan yang membakar hutan hujan tersebut dan sudah membuka setidaknya 57 ribu hektar area di Papua untuk perkebunan kelapa sawit.

Baca juga: Polairud Polda Maluku Gagalkan Penyelundupan 5 Ton Sopi yang Akan Dikirim ke Papua Barat

Baca juga: 25 Kabupaten/Kota Ini Berubah Status Jadi Zona Hijau Covid-19: Papua Mendominasi, Jawa Nihil

Warganet yang kaget melihat kenyataan itu kemudian banyak yang membicarakan isu lingkungan.

Maka, tagar #SavePapua sempat naik di Twitter dan dibicarakan banyak orang.

Mereka menilai, pembakaran hutan itu adalah hal yang buruk bagi lingkungan karena menyebabkan polusi udara dan sesak napas.

Korindo Group, mengutip dari website resmi Korindo, merupakan sebuah perusahaan Indonesia yang didirikan pada tahun 1969 dan telah beroperasi selama 50 tahun.

Pada awalnya perusahaan Korindo menempatkan fokus utamanya di pengembangan hardwood yang kemudian beralih ke plywood/veneer pada tahun 1979, kertas koran di tahun 1984, perkebunan kayu di tahun 1993, dan terakhir perkebunan kelapa sawit di tahun 1995.

Korindo telah mempekerjakan kurang lebih 10.000 pekerja di Asiki, yang merupakan distrik bisnis utama di Propinsi Papua.

Mereka telah membangun pusat pengembangan keahlian penduduk lokal, sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan.

Jumlah pajak daerah yang telah dibayarkan oleh Korindo di Kabupaten Merauke dan Boven Digoel mencapai 30% dan 50% dari total pajak lokal masing-masing kabupaten.

Korindo juga telah mendirikan fasilitas kesehatan pertama di Asiki, melakukan pemeriksaan dan pengobatan secara gratis.

Saat ini, perusahaan Korindo sedang mendirikan rumah sakit umum yang menyediakan tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi kepada sekitar 20.000 orang, atas kerjasama dengan Korea International Cooperation Agency.

Mengutip Kompas, sebelumnya, pada tahun 2016, investigasi menunjukkan adanya penggunaan api yang sistematis dan meluas yang dilakukan pihak Korindo Group yang berbasis di Jakarta.

Tindakan itu mengakibatkan kabut asap bertambah, mencekik sebagian besar Asia Tenggara selama musim kemarau tahunan berdasarkan laporan kelompok aktivis lingkungan kepada Reuters.

Media Reuters mewartakan bahwa saat itu, Korindo telah membabat lebih dari 50 ribu hektar hutan dataran rendah tropis untuk perkebunan kelapa sawit di provinsi terpencil di Papua dan Maluku.

Setidaknya, seluas 75.000 hektar di Papua saat itu berada dalam 'risiko langsung' untuk dibuka lahannya.

Melalui akun Twitter-nya, @Arie_Kriting juga meminta tolong kepada pecinta musik korea atau K-pop untuk sejenak memberi perhatian terkait hal ini.

"Coba tolong ade-ade kesayangan pencipta K-Pop, hal macam begini jadi perhatian sebentar. Perusahaan Korea datang bakar hutan, lalu menuduh masyarakat setempat yang bakar karena cari tikus tanah. Apa iya seperti itu? Semoga ada investigasi lanjutan," tulisnya, Kamis (12/11/2020).

Dalam unggahannya, ia menunjukkan sebuah video dari BBC News Indonesia yang memperlihatkan ribuan hektar hutan di Papua diduga sengaja dibakar oleh perusahaan asal Korea.

Cuitan Arie Keriting sudah ditanggapi oleh ribuan akun yang sebagian besar merupakan fans hingga fanbase K-Pop.

Beberapa diantaranya menyebut, topik ini bisa dibantu untuk diviralkan oleh jutaan akun Fans K-Pop yang dikenal solid di dunia maya.

Namun, tidak sedikit pula yang salah paham, dan justru menganggap tidak semua hal tentang Korea Selatan selalu berkaitan dengan K-Pop. (Tribunjogja.com | Bunga Kartikasari)

Kisah Pilu Habisnya Hutan Adat di Papua

Ketua marga Kinggo dari Suku Mandobo, Petrus Kinggo begitu menyesali perbuatannya enam tahun lalu yang kemudian mengubah nasib marganya untuk selamanya.

Pasalnya, ia turut berperan memuluskan langkah anak usaha perusahaan sawit asal Korea Selatan, Korindo Group, untuk melakukan ekspansi kebun sawit di Boven Digoel dengan menjadi "koordinator" bagi 10 marga.

Karena peran Petrus, hutan adat miliknya dan marga lainnya kini berubah menjadi area konsesi anak usaha Korindo, PT Tunas Sawa Erma (TSE).

Petrus berperan mempengaruhi marga-marga lain supaya mau melepas hutan adat mereka, kala itu.

"Itu saya mewakili 10 marga, percayakan kami supaya mempengaruhi marga-marga yang lain supaya bisa ada pelepasan, ada pengakuan, supaya dia bisa ada hak guna usaha," kata Petrus dalam sebuah berita investigasi BBC yang terbit Kamis (12/11/2020).

Petrus menuturkan, tidak ada kesepakatan tertulis tentang jumlah nilai ganti rugi itu.
Petrus menuturkan, tidak ada kesepakatan tertulis tentang jumlah nilai ganti rugi itu. (HARYO WIRAWAN via BBC INDONESIA)

Iming-iming perusahaan

Petrus mengaku, ia tergiur akan iming-iming perusahaan hendak membiayai pendidikan anaknya.

Tak hanya itu, cerita dia, perusahaan mengiming-iminginya rumah, sumur air bersih hingga genset.

"Bapak nanti kami kasih honor, upah. Bapak sebagai koordinator nanti biaya pendidikan (anak) ditanggung perusahaan, nanti ada rumah-rumah bantuan, sumur air bersih, nanti (ada) genset," kenang Petrus menirukan janji manis perusahaan tersebut.

"Jadi anak anak sampai biaya sekolah lanjutan itu nanti ditanggung perusahaan. Cuma itu bicara semua, tetapi tidak ada dalam tertulis," ucap pria berusia 41 tahun tersebut.

Baca juga: Alaska Diguncang Gempa Dahsyat M 7.5, Tsunami Kecil Diprediksi Merambat Hingga Utara Papua

Baca juga: Kilas Balik Soeharto Izinkan Freeport Menambang Emas di Papua Tahun 1967

Petrus pun akhirnya berhasil mempengaruhi marga pemilik ulayat agar mau melepas hutan adat mereka pada 2015.

Korindo menegaskan kesepakatan lahannya sudah sesuai dengan regulasi di Indonesia
Korindo menegaskan kesepakatan lahannya sudah sesuai dengan regulasi di Indonesia (GREENPEACE via BBC INDONESIA)

Ganti rugi Rp 100.000 per hektar

Hutan adat itu pun dilepas dengan harga ganti rugi Rp 100.000 untuk tiap hektar. Marga pemilik ulayat itu rela melepas hutan adatnya dan menerima uang ganti rugi tersebut.

Sejak saat itu, hutan adat mereka lepas dan kini menjadi area PT Tunas Sawa Erma POP-E seluas lebih dari 19.000 hektar.

Lalu berapa uang yang Petrus dapatkan? Ia berujar, telah menerima Rp 488.500.000 untuk pelepasan hak atas tanah hutan adat milik marga Kinggo seluas 4.885 hektar.

Tak sampai di situ, tambah Petrus, Korindo juga memberikan "uang permisi" sebanyak Rp 1 miliar. Uang itu dibagikan kepada sembilan marga, usai satu marga pada akhirnya menolak kesepakatan tersebut.

Petrus mengaku, uang yang ia terima lalu dibagikan kepada seluruh keluarga semarganya, yaitu marga Kinggo.

Dari uang ratusan juta itu, Petrus hanya mengantongi Rp 10 juta. Uang itu pun kini telah habis digunakan untuk membiayai pendidikan delapan anaknya.

"Uangnya su tidak ada, kosong," ucap dia.

Operasi penebangan di PT Inocin Abadi, anak usaha Korindo Group.
Operasi penebangan di PT Inocin Abadi, anak usaha Korindo Group. (GREENPEACE via BBC INDONESIA)

Bantahan Korindo

Berdasarkan investigasi BBC, Korindo menjelaskan bahwa pihaknya telah membayar sejumlah uang ganti rugi, masing-masing Rp 100.000 per hektar untuk ganti rugi pohon dan lahan.

"Jumlah dari kedua ganti rugi adalah Rp 200.000," kata Manajer Humas Korindo, Yulian Mohammad Riza dalam keterangan tertulis yang diterima BBC.

Yulian menegaskan, kesepakatan lahan itu juga sudah sesuai dengan regulasi di Indonesia. Ia juga menjelaskan bahwa harus dipahami terkait kepemilikan legal atas tanah terletak pada pemerintah Indonesia, bukan masyarakat adat yang memegang "hak ulayat" atas tanah.

"Pemerintah, bukan penduduk asli, memberikan izin untuk jangka waktu 35 tahun dan kepemilikan legal atas tanah tidak ada hubungannya dengan masyarakat adat," kata dia.

Petrus yang mengetahui jawaban tersebut pun merasa dicurangi. Pasalnya, ia menganggap hutan adat itu sebagai "hak dan wilayah kehidupan" masyarakat di Boven Digoel.

Akan tetapi, hutan adat tentunya tak bisa dikembalikan seperti semula.

Kalau menurut iman, saya berdosa, kan saya sudah tipu sepuluh marga, tutur Petrus.
Kalau menurut iman, saya berdosa, kan saya sudah tipu sepuluh marga, tutur Petrus. (AYOMI AMINDONI via BBC INDONESIA)

Hutan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat Papua itu, kini perlahan hilang demi perluasan bisnis perusahaan sawit.

Padahal, hutan Papua tempat Petrus tinggal merupakan salah satu hutan hujan yang tersisa di dunia dengan keanekaragaman hayati tinggi. Hutan Papua ini memiliki lebih dari 60 persen keragaman hayati Indonesia.

Korindo diketahui telah membuka hutan Papua lebih dari 57.000 hektar atau hampir seluas Seoul, ibu kota tempat perusahaan itu berasal.

Namun yang lebih menyakitkan adalah, berdasarkan investigasi yang dirilis BBC, pembukaan hutan untuk perluasan lahan kelapa sawit itu, dilakukan dengan cara membakar dengan sengaja dan konsisten.

Upaya rekonsiliasi

Petrus mengaku bersalah dan menanggung beban akibat perbuatannya yang menyerahkan hutan adatnya beserta hutan adat marga lain untuk perluasan lahan kelapa sawit.

Perbuatan itu, diakuinya mengubah nasib hutan adat tempat kehidupan mereka selama-lamanya.

"Kalau menurut iman, saya berdosa, kan saya sudah tipu sepuluh marga. Terutama kepentingan perusahaan bikin kita sampai (melakukan) manipulasi saja sebenarnya," aku Petrus.

"Saya sudah rasa bersalah di situ, ini sudah tipu." ucapnya.

Sebagai upaya rekonsiliasi, Petrus pun kini memutuskan untuk berjuang mempertahankan hutan adatnya yang ia anggap sebagai wilayah kehidupan.

Kepada BBC, ia berjanji bahwa akan menolak berbagai cara yang dilakukan perusahaan untuk mengelabuinya kembali, termasuk apabila perusahaan menggunakan bantuan aparat.

"Kami pertahankan ini wilayah kehidupan, perusahaan (lakukan) berbagai cara pun tidak bisa. Bukan caranya setelah izin (keluar) back up dengan polisi-tentara supaya menakuti masyarakat. Sebenarnya ini manipulasi saja, jadi kami tidak terima," tutur Petrus.

Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Ada Kebakaran Hutan, Tagar #SavePapua Jadi Trending Topic di Twitter, Ada Apa?
Penulis: Bunga Kartikasari
Editor: Rina Eviana

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Pilu Habisnya Hutan Adat di Papua demi Perluasan Lahan Kelapa Sawit..."
Penulis : Nicholas Ryan Aditya
Editor : Bayu Galih

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved