Polisi Banting Demonstran, KontraS Mengecam Keras: Mencerminkan Brutalitas Kepolisian
KontraS mengecam insiden polisi membanting demonstran dan menyatakan, upaya pembubaran massa aksi tersebut merupakan cerminan brutalitas kepolisian.
TRIBUNTERNATE.COM - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) turut buka suara mengenai aksi kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap salah satu massa aksi demonstrasi di Tangerang.
Diketahui, sebuah video berdurasi 48 detik yang memperlihatkan seorang aparat membanting tubuh mahasiswa yang ditangkapnya ke trotoar tepi jalan viral di media sosial.
Setelah dibanting dengan posisi tengkuk hingga punggung mengenai permukaan trotoar, mahasiswa itu sempat terlihat kejang-kejang dan tak sadarkan diri.
Hingga akhirnya, beberapa orang aparat di sekitar berupaya menyadarkan dengan menepuk-nepuk pundak dan punggung mahasiswa yang masih kejang itu.
Saat insiden ini terjadi, polisi sedang membubarkan puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Tangerang (HIMATA) Banten Raya yang tengah berdemo.
Demonstrasi tersebut digelar bertepatan dengan peringatan hari ulang tahun ke-389 Kabupaten Tangerang.
Diketahui, peristiwa pembantingan mirip aksi smackdown itu terjadi di depan Kantor Bupati Tangerang, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (13/10/2021).
Baca juga: Fariz Tak Balas Pelukan Brigadir NP yang Minta Maaf Telah Membanting saat Demo di Tangerang
Baca juga: Kronologi Polisi Banting Mahasiswa saat Demo hingga Sempat Kejang, Begini Kondisi Korban
Baca juga: Polisi Banting Demonstran hingga Tak Sadarkan Diri, LBH Jakarta dan SETARA Institute Beri Tanggapan
Baca juga: Viral Video Demonstran Dibanting oleh Polisi hingga Sempat Kejang, Ini Respon Kapolres Tangerang
KontraS pun mengecam tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian tersebut dan menyatakan, upaya pembubaran terhadap massa aksi tersebut merupakan cerminan brutalitas kepolisian.
"Aksi kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian tersebut tentu mencerminkan brutalitas kepolisian dan bentuk penggunaan kekuatan secara berlebihan dalam penanganan aksi masa," kata Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS Arif Nur Fikri dalam keterangan tertulisnya, Kamis (14/10/2021).
Arif mengatakan, sejatinya proses penggunaan kekuatan oleh pihak kepolisian dapat diperbolehkan, hanya saja harus mengacu pada Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Di dalam Perkap tersebut penggunaan kekuatan oleh pihak kepolisian harus sesuai dengan prinsip-prinsip necesitas (kebutuhan), legalitas, dan proporsionalitas, serta masuk akal (reasonable).
Namun jika memerhatikan insiden itu, kata Arif, pihaknya melihat tindakan yang dilakukan oleh anggota kepolisian tentu tidak berdasar asas necesitas.
"Di mana dalam video tersebut, terlihat jelas bahwa mahasiswa yang ditangkap sudah dalam kondisi tak berdaya, sehingga tidak perlu dilakukan tindakan kekerasan sebagaimana yang ditampilkan dalam video tersebut," ungkapnya.
Selain itu kata dia, tindakan tersebut juga tidak proporsional dilakukan oleh petugas kepolisian, sebab penggunaan kekuatan tidak seimbang dengan ancaman yang dihadapi oleh anggota kepolisian tersebut.
Bahkan akibat dari tindakan tersebut, kata dia, korban kerugian atau penderitaan setelah kejang-kejang dan sempat tidak sadarkan diri.
Tak hanya itu kata dia, bentuk pembubaran massa aksi yang dilakukan oleh anggota kepolisian tersebut juga tidak masuk akal (reasonable).
Sebab, perbuatan kepolisian tidak memikirkan situasi dan kondisi ancaman atau perlawanan pelaku.
Terlebih, kata dia, perbuatan tersebut ditujukan kepada seorang massa aksi yang sedang menyampaikan pendapat.
"Demonstrasi merupakan tindakan sah dan konstitusional sebagaimana dijamin oleh instrumen hukum dan HAM nasional maupun Internasional," tegasnya.
Bahkan menurutnya, Polisi seharusnya dapat melindungi hak asasi manusia (HAM) dan melakukan pengamanan sebagaimana diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Pihaknya kata Arif melihat tindakan brutalitas aparat yang ditujukan terhadap massa aksi tidak terlepas dari kultur kekerasan yang berada di tubuh kepolisian.
Apalagi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam mengamankan aksi tidak pernah diusut secara tuntas dan berkeadilan.
"Hal tersebut akhirnya membuat tindakan serupa dinormalisasi sehingga terus terjadi keberulangan dan bertolak belakang dengan prinsip-prinsip penggunaan kekuatan yang humanis," ucapnya.
Mendesak Kapolri Turun Tangan
Guna menghindari kejadian serupa ke depan, KontraS juga mendesak Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo turut andil dalam kejadian tersebut.
Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS Arif Nur Fikri mengatakan, pihaknya meminta Kapolri melakukan evaluasi atas terjadinya tindak kekerasan yang mengancam keselamatan masyarakat itu.
"Atas dasar tersebut, kami mendesak, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan pengawasan dan evaluasi bagi aparatnya terkait dengan penggunaan kekuatan dalam melaksanakan tugas," kata Arif dalam keterangan tertulisnya, Kamis (14/10/2021).
Tak hanya itu, KontraS juga meminta Kapolri memerintahkan Kapolda Banten memproses secara hukum anggota kepolisian yang terlibat melakukan kekerasan tersebut.
Padahal kata Arif, massa aksi yang merupakan gabungan himpunan mahasiswa di Tangerang tersebut menggelar aksi secara damai.
Aksi penyampaian pendapat mereka itu kata Arif dilindungi dan tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) UU 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
"Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kapolda Banten memproses Penegakan Hukum terhadap anggota polisi yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan kepada peserta yang menyampaikan pendapat secara damai," tegasnya.
Tak hanya kepada Kapolri, KontraS juga mendesak Kapolresta Tangerang mengusut dengan menyeluruh dan menindak tegas aparat keamanan yang melakukan tindakan represif dalam kasus ini.
Adapun upayanya dapat dilakukan dengan proses hukum yang dilakukan secara transparan dan akuntabel.
"Serta bertanggung jawab terhadap korban dengan memberikan fasilitas pelayanan kesehatan atau pemulihan yang layak," tukasnya.
Arif menyatakan, pihaknya juga melihat bahwa tindakan anggota kepolisian pada saat pengamanan aksi massa tersebut merupakan tindakan diluar prosedur dalam melakukan pengendalian terhadap massa.
Di mana hal itu, merujuk pada Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.
Adapun dalam perkap tersebut, dinyatakan bahwa “Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d adalah: a. bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa, d. membawa senjata tajam dan peluru tajam, dan h. melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan.”
Atas adanya tindakan kekerasan itu, KontraS menyatakan setidaknya ada empat aktor yang harus diminta pertanggungjawaban.
Pertama, anggota Polisi yang melakukan tindak kekerasan.
Kedua, anggota pengendali lapangan (komandan kompi atau komandan batalyon).
Ketiga, komandan kesatuan sebagai pengendali teknis.
Keempat, Kapolda selaku penanggungjawab pengendalian taktis, sebagaimana Pasal 14 (2) Perkap nomor 2 tahun 2019 penindakan huru-hara.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul KontraS Kecam Tindakan Polisi Banting Mahasiswa Demo di Tangerang
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Mahasiswa Dibanting, KontraS Desak Kapolri Perintahkan Kapolda Banten Proses Hukum Anggotanya