Tindakan Represif Aparat di Desa Wadas, Jaringan Gusdurian Desak Warga yang Ditahan Dibebaskan
Tindakan represif aparat di Desa Wadas pun mendapat kecaman dari Jaringan Gusdurian yang diwakili oleh putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid.
TRIBUNTERNATE.COM - Ratusan aparat kepolisian menyerbu Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (8/2/2022).
Mereka diterjunkan dalam upaya mengamankan pengukuran lahan milik warga yang dilakukan petugas Badan Pertahanan Nasional (BPN) untuk proyek pembangunan Waduk Bener.
Namun, pengukuran lahan ini mendapat penolakan dari warga setempat. Bahkan, sejumlah warga ditangkap oleh aparat karena menolak pengukuran lahan tersebut.
Tindakan represif aparat di Desa Wadas pun mendapat kecaman dari sejumlah pihak, termasuk kelompok yang terinspirasi oleh Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Jaringan Gusdurian.
Kecaman dari Jaringan Gusdurian diwakilkan oleh putri sulung Gus Dur, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid.
Di bagian awal utas cuitan di akun Twitter-nya pada Selasa (8/2/2022), Alissa Wahid me-retweet cuitan dari akun @Wadas_Melawan yang memperlihatkan video pendek aparat tiba di depan jalan masjid desa saat para warga berkumpul di dalam masjid.
Baca juga: Ganjar Pranowo Buka Suara Soal Pengukuran Lahan di Desa Wadas: Tidak Ada Kekerasan
Baca juga: Desa Wadas Dikepung Ribuan Aparat, Ini Alasan Warga Tolak Penambangan Batu Andesit

Dalam retweet-an itu, Alissa Wahid meminta Kapolda Jawa Tengah yang saat ini dijabat oleh Irjen Pol Ahmad Luthfi untuk membebaskan warga Desa Wadas yang ditahan.
Ia juga meminta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk menunda pengukuran lahan dan segala hal terkait pembangunan proyek Waduk Bener hingga seluruh pihak, mulai dari warga hingga pemerintah, selesai bermusyawarah.
Hal ini bertujuan untuk mencegah benturan antara rakyat dan aparat negara.
"Atas nama @GUSDURians , kami meminta Kapolda Jateng untuk membebaskan warga Wadas yang ditahan. Juga meminta kepada Gub Jateng pak @ganjarpranowo
untuk menunda pengukuran dll sampai kita selesai bermusyawarah, dan menghindarkan clash antara rakyat dengan aparat Negara." tulis Alissa Wahid.
Kemudian, dalam lanjutan utas cuitannya, wanita yang dikenal sebagai psikolog keluarga itu juga menyebut bahwa akar masalah di Desa Wadas ada pada paradigma pembangunan saat ini.
Ia menerangkan bahwa rakyat selalu diminta untuk menyerahkan tanahnya kepada negara demi kepentingan lebih besar.
Sehingga menurut Alissa Wahid, rakyat benar-benar dianggap kecil.
Kemudian, ketika rakyat ingin bersuara dan mengungkapkan penolakan atau ketidaksetujuan, maka dianggap membangkang dan memprovokasi, sehingga harus ditindak oleh aparat.
"Akar masalah ini ada pada paradigma pembangunan kita. Rakyat diminta menyerahkan tanah airnya kpd Negara, dengan dalih demi kepentingan lebih besar. Benar-benar rakyat itu (dianggap) kecil. Kalau menolak, dianggap membangkang kpd Negara. Dianggap diprovokasi. Boleh ditindak." lanjut Alissa.
Baca juga: Tanggapi Soal KDRT, MUI: Banyak Ayat dan Hadits yang Larang Kekerasan terhadap Perempuan
Alissa Wahid pun menerangkan, rakyat seharusnya memiliki hak untuk berpendapat dan bertindak atas tanah yang dimilikinya, sekalipun itu disebut untuk kepentingan yang lebih besar.
Oleh karenanya, Alissa menekankan pentingnya titik temu atau kesepakatan antara rakyat dan negara dalam mengambil lahan.
Ia menyebut, rakyat tidak boleh dikorbankan.
Serta menambahkan bahwa kebijakan pemimpin seharusnya mempertimbangkan dan mengutamakan rakyat terlebih dahulu.
"Padahal, kalaupun utk kepentingan lebih besar, rakyat tetap berhak berpendapat & bertindak atas tanah airnya, shg proses "nembung" harus sampai di titik temu yang setara. Tidak boleh dikorbankan. Kaidahnya : kebijakan pemimpin haruslah ditujukan untuk kemaslahatan rakyatnya." terang Alissa dalam utas cuitannya.
Di bagian akhir utas cuitannya, Alissa Wahid mempertanyakan berapa banyak rakyat kecil yang sudah dikorbankan atas nama pembangunan.
Ia mengambil contoh pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta yang berada di Kapanéwon Temon, Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta.
Diketahui, pembangunan bandara tersebut juga diwarnai oleh sejumlah kontroversi dan penolakan dari warga setempat.
Alissa Wahid mengaku selalu mendoakan agar para warga Kulonprogo yang berjuang mempertahankan lahannya selalu dalam kondisi yang baik.
Ia juga mempertanyakan, sampai kapan konflik antara warga dan negara demi pembangunan akan terus berulang.
"Berapa banyak rakyat kecil yg sudah dikorbankan atas nama pembangunan? Sampai skr, setiap berada di bandara Kulonprogo, saya selalu kirim fatihah utk kemaslahatan keluarga2 yg dulu berjuang pertahankan tanah airnya. Semoga mereka baik2 saja. Sampai kapan terus berulang?" tutup Alissa.
(TribunTernate.com/Rizki A.)