TRIBUNTERNATE.COM - Pemilihan kepala daerah atau Pilkada Serentak 2020 yang digelar pada Rabu (9/12/2020) kemarin mendapat sorotan besar.
Terlebih, ada dua anggota keluarga Presiden Joko Widodo yang turut berkontestasi di dua daerah yang berbeda dalam Pilkada 2020.
Putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming maju di Pilkada Solo 2020 berpasangan dengan Teguh Prakosa.
Sementara, sang menantu, Bobby Nasution mencalonkan diri di Pilkada Medan 2020 sebagai calon Wali Kota Medan berpasangan dengan Aulia Rahman.
Menurut hasil perhitungan cepat atau quick count, anak dan menantu Jokowi tersebut menang di pilkada daerah masing-masing.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, diminta untuk menganalisis Pilkada Solo 2020.
Hal ini diketahui dari video acara Mata Najwa segmen bertajuk "Pilkada Termahal dan Terumit, Apakah Sepadan?" yang diunggah di kanal YouTube Najwa Shihab Kamis (10/12/2020) hari ini.
Baca juga: UPDATE Real Count KPU Pilkada Ternate 2020 Kamis (10/12) Pukul 14.30 WIB: TULUS 30,2%, MHB-GAS 28,4%
Baca juga: Bobby dan Gibran Menang di Hasil Hitung Cepat, Rocky Gerung: Saya Apresiasi Kemampuan Pak Jokowi
Menurut pria yang akrab disapa Toto ini, jumlah suara yang diperoleh Bagyo Wahono sudah lumayan.
Diketahui, hasil quick count menunjukkan rival Gibran Rakabuming-Teguh Prakosa, mendapatkan suara sebesar 13 persen.
Bahkan, jumlah suara yang diperoleh Bagyo Wahono bisa meruntuhkan ambisi Gibran Rakabuming untuk melebih perolehan suara yang dicapai Joko Widodo di periode kedua.
Sebab, Gibran menyetel target perolehan suara 92 persen.
Yunarto Wijaya juga mengatakan catatan yang paling penting adalah bagaimana perspektif masyarakat dari konteks nasional.
Yunarto menyebut, dengan putra sulung dan menantu yang terjun ke Pilkada 2020, Joko Widodo telah memposisikan diri sebagai politisi biasa yang mengulang pola yang dilakukan para politisi sebelumnya.
Selain itu, jika anak dan menantunya resmi dinyatakan menang, jelas ada peluang besar bahwa Joko Widodo akan mendapat kritikan keras soal politik dinasti.
"Mas Toto, analisa Anda, yang jelas tadi Pak Bagyo mendapat 13 persen, itu lumayan kan?" tanya Najwa Shihab.
"Lumayan sekali. Tapi yang harus jadi catatan, ini bukan tentang Solo dan Medan saja. Catatan paling penting adalah orang melihatnya dari konteks nasional," kata Yunarto Wijaya.
"Jokowi harus menerima risiko bahwa kejadian di Solo dengan Medan, menang dan kalah, Jokowi sudah memposisikan diri menjadi politisi biasa yang mengulang pola yang dibuat oleh para politisi yang dikritik juga."
"Politik dinasti yang paling mudah dikritik, itu pertama. Yang kedua kalau kita bicara Solo dan Medan, kalau Solo sudah bisa ditebak, tidak ada keanehan, walaupun Pak Bagyo berhasil lho meruntuhkan ambisi Gibran mengalahkan ayahnya. Itu jelas tidak mencapai 90 persen," sambung Yunarto Wijaya.
Kemudian, Yunarto Wijaya menyebutkan tantangan terbesar Gibran Rakabuming adalah ketika ia menjadi wali kota dan ayahnya tak lagi menjabat presiden.
"Tantangan Gibran sebenarnya bukan pada kampanye. Tantangan Gibran ketika jadi wali kota, sorotan itu akan lebih besar lagi. Belum lagi ketika ayahnya tidak jadi seorang presiden," kata Yunarto Wijaya.
Lalu, Najwa Shihab menanyakan apakah dampak terhadap posisi Joko Widodo saat ini ketika anak dan menantunya itu terpilih menjadi kepala daerah.
"Apa kira-kira dampaknya ini terhadap posisi Presiden Jokowi sekarang ketika ada dua anaknya yang menjadi pemimpin daerah?" tanya Najwa Shihab.
Menurut Yunarto, dampak dalam konteks hubungan tata negara tidak terlalu besar.
"Kalau dalam konteks hubungan tata negara, pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, sebenarnya tidak terlalu besar ya, karena ini bukan daerah selevel provinsi juga atau Jakarta," kata Yunarto.
Namun, Najwa Shihab melanjutkan dampak dari segi politik.
Baca juga: Soroti Foto Viral Anies Baswedan Baca How Democracies Die, Yunarto: Mending Urus Pengerukan Sungai
Baca juga: Foto Bareng Ganjar Pranowo di Semarang Jadi Sorotan, Yunarto Wijaya: Buzzer Langsung Seru Sendiri
"Dari segi persepsi politiknya?" tanya Najwa.
Di segi politik, kata Yunarto Wijaya, Jokowi tak hanya dipandang sebagai politisi biasa yang sama seperti politisi lainnya.
Namun, image Jokowi sebagai kelas menengah yang terjun ke dunia politik tanpa embel-embel elite partai akan sulit diperlihatkan lagi.
Politik dinasti akan lekat dengan Joko Widodo.
"Nah itu yang akan terus menjadi embel-embel tadi. Yang saya lihat akan jadi 'tato' Jokowi adalah dia akan dilihat sebagai politisi biasa. Terobosan-terobosan yang selama ini diperlihatkan oleh beliau sebagai kelas menengah yang masuk politik tanpa embel-embel elite partai akan sulit untuk ditunjukkan kembali. Orang akan melihat dia dengan embel-embel politik dinasti tadi."
Yunarto Wijaya juga menambahkan sedikit catatan tentang Kota Medan.
Sebab, banyak masalah yang terjadi di ibu kota Provinsi Sumatera Utara tersebut.
Sehingga, dibutuhkan banyak waktu untuk Medan melakukan transformasi besar-besaran.
"Medan, sedikit menjadi catatan, sepertinya mengulang kembali bagaimana politik yang... Saya harus katakan, keburukan politik ini seringkali terjadi di Medan," kata Yunarto.
Dari kasus korupsi, partisipasi pemilih paling rendah, kemudian sekarang masyarakat dipaksa, disuguhkan oleh bagian dari kekuasaan nasional melawan incumbent yang juga di survei tidak baik, bahkan naik hanya karena walikotanya masuk penjara. Ini yang menurut saya menyedihkan. Sepertinya, Medan masih perlu waktu lebih banyak lagi melakukan transformasi besar," pungkasnya.
Selengkapnya, simak video berikut:
(TribunPalu.com/Rizki A.)
Artikel ini telah tayang di Tribunpalu.com dengan judul Yunarto Wijaya: Gibran dan Bobby jadi Pemimpin Daerah, Jokowi Posisikan Diri sebagai Politisi Biasa