Lipsus Program MBG di Ternate

Ada Ulat di Menu MBG Murid MTSN 1 Ternate, Akademisi: Pengawasan Harus Diperketat

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

MBG - Kaprodi Gizi UMMU, Diah Merdekawati Surasno. Ia menyoroti soal temuan ulat hidup di menu MBG siswa MTSN 1 Kota Ternate, Rabu (30/7/2025).

TRIBUNTERNATE.COM, TERNATE - Menanggapi temuan ulat dalam makanan bergizi gratis (MBG) di MTs Negeri 1 Kota Ternate, Ketua Program Studi Gizi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), Diah Merdekawati Surasno, menekankan sejumlah hal.

Yakni pentingnya pengawasan ketat terhadap seluruh tahapan rantai penyediaan makanan, mulai dari pemilihan bahan baku, proses pengolahan, penyajian, hingga distribusi makanan kepada konsumen.

“Kejadian ini mencerminkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan mutu dan higienitas makanan. Seharusnya dapat dicegah melalui penerapan standar operasional prosedur yang ketat dan pengawasan berkala."

Baca juga: Realisasi PAD Tidore per Triwulan II Capai Rp8 Miliar, Mansyur : Kami Optimis Melebihi Target

"Dengan perbaikan sistem yang menyeluruh, diharapkan insiden serupa tidak terulang di masa mendatang. Yang perlu diingat bahwa Program MBG memiliki tujuan strategis untuk memperbaiki status gizi anak, menekan angka stunting, dan mendukung pembangunan sumber daya manusia yang unggul."

“Kita perlu melakukan flashback terhadap alur penyediaan makanan hingga sampai ke anak-anak. Khususnya pada kasus ini, sehingga kita dapat mengetahui di tahap mana kasus tersebut terjadi dan kita dapat perbaiki,” ujar Diah, Rabu (30/7/2025).

Karena pelaksanaan program MBG di Kota Ternate sebagian melibatkan pihak ketiga sebagai penyedia jasa katering, menurut Diah, maka menjadi kewajiban otoritas terkait khususnya Badan Gizi Nasional untuk melakukan verifikasi kelayakan bahan pangan yang digunakan, proses pengolahan sampai penyajian makanan.

Kata Diah, pemeriksaan tidak boleh sebatas visual, namun harus melibatkan pengujian organoleptik, seperti penciuman, pengecapan, dan pengamatan tekstur, agar potensi kontaminasi biologis dapat diidentifikasi lebih awal.

“Pengawasan tidak bisa hanya bersifat administratif. Harus ada pendekatan sensori menggunakan pancaindra, untuk menilai kelayakan makanan sebelum dikonsumsi oleh peserta didik,” jelasnya.

Lebih lanjut, Diah juga menggaris bawahi pentingnya perhitungan angka kecukupan gizi yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa berdasarkan jenis kelamin dan umur sebelum penyusunan menu MBG.

Baca juga: Imbauan BPBD Halmahera Timur: Para Camat Diminta Lakukan Mitigasi

“Contohnya Angka Kecukupan Gizi kelompok umur 7-9 tahun berbeda dengan anak berumur 10-12 tahun. Angka Kecukupan Gizi kelompok umur 10-12 tahun anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Oleh karena itu perencanaan menu yang dibuat harus memperhatikan AKG nya," ujarnya.

Diah berharap, insiden ini menjadi momentum evaluatif bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk memperbaiki pelaksanaan program MBG secara menyeluruh.

“Karena program ini menelan anggaran negara yang tidak sedikit. Maka, perlu ada penjaminan mutu yang sistematis agar tujuan jangka panjang, yaitu peningkatan kualitas pendidikan dan produktivitas nasional, dapat benar-benar tercapai,” tegasnya. (*)

Berita Terkini