TRIBUNTERNATE.COM - Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong melaporkan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.
Tiga hakim tersebut diduga melakukan pelanggaran etik perilaku hakim lantaran memberi vonis 4,5 tahun penjara untuk Tom Lembong.
Tom Lembong melaporkan 3 hakim tersebut ke Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) terkait keputusan dalam perkara importasi gula.
Tiga hakim yang dilaporkan adalah Dennie Arsan Fatrika (Ketua Majelis, jabatan: Hakim Madya Utama), Purwanto S. Abdullah (Hakim Anggota, jabatan: Hakim Madya Muda), dan Alfis Setyawan (Hakim Anggota ad-hoc, jabatan: Hakim Ad Hoc Tipikor).
"Dia ingin ada evaluasi, dia ingin ada koreksi. Agar apa? Agar keadilan dan kebenaran dalam proses penegakan hukum di Indonesia ini bisa dirasakan oleh semuanya," kata kuasa hukum Tom, Zaid Mushafi, saat ditemui di Kantor Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Senin (4/8/2025).
Zaid mengatakan, para hakim ini dilaporkan karena tidak ada pendapat berbeda dan adanya dugaan penggunaan asas praduga bersalah.
"Yang menjadi catatan adalah ada salah satu hakim anggota yang menurut kami selama proses persidangan itu tidak mengedepankan presumption of innocent (praduga tak bersalah). Dia tidak mengedepankan asas itu, tapi mengedepankan asas presumption of guilty (praduga bersalah)," ucap Zaid.
Selengkapnya, berikut profil tiga hakim yang dilaporkan Tom Lembong, termasuk jejak karier dan harta kekayaannya berdasarkan LHKPN.
Baca juga: Alasan Tom Lembong Tersangka Impor Gula padahal Ga Terima Uang, Kejagung: Ga Harus Terima Uang
1. Dennie Arsan Fatrika
Dikutip dari laman Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Dennie Arsan Fatrika tercatat sebagai Hakim Madya Utama di pengadilan tersebut. Sehingga, dia merupakan hakim dengan pangkat Pembina Utama Muda atau golongan IV/c.
Sementara, berdasarkan pantauan di laman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dennie tercatat pertama kali menjadi hakim di PN Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 2008.
Namun, selama sembilan tahun, tidak diketahui lagi Dennie bertugas di pengadilan mana. Sebab, selama kurun waktu itu, dia terpantau tidak melaporkan LHKPN.
Dennie baru melaporkan harta kekayaannya lagi pada 2017, setelah menjadi Wakil Ketua PN Baturaja, Kabupaten Ogan Kemiring Ulu (OKU), Sumatra Selatan. Setahun berselang, Denni menjabat sebagai Ketua PN Baturaja, OKU.
Selanjutnya pada Oktober 2021, ia dilantik menjadi Ketua PN Karawang, Jawa Barat. Dennie juga sempat tercatat sebagai Wakil Ketua PN Bogor sebelum bertugas di PN Jakarta Pusat.
Ia tercatat memiliki total harta kekayaan sebesar Rp4.313.850.000 alias Rp4,3 miliar berdasarkan LHKPN periodik 2024.
Adapun rinciannya, ia memiliki tiga bidang tanah dan bangunan sebesar Rp3,1 miliar yang berada di Bogor, Jawa Barat.
Lalu, Dennie juga tercatat memiliki kendaraan berupa dua mobil dan satu sepeda motor dengan total nilai Rp900 juta.
Selain itu, dia juga memiliki harta bergerak lainnya sebesar Rp153 juta serta kas dan setara kas Rp460 juta.
2. Purwanto S Abdullah
Senada dengan Dennie, Purwanto S Abdullah juga merupakan Hakim Madya Muda di PN Jakarta Pusat.
Dia tercatat pernah menjadi hakim di PN Palopo, Sulawesi Barat. Dia lalu berpindah tugas ke PN Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, pada 2012.
Selanjutnya, Purwanto juga pernah menjadi Ketua PN Belopa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, pada 2021 silam.
Setelah itu, dia bertugas di PN Makassar sebelum berpindah ke PN Jakarta Pusat pada 2023.
Selain jadi hakim, Purwanto juga merupakan Ketua Tim Jubir PN Jakarta Pusat setelah ditunjuk oleh ketua Husnul Khotimah pada 3 Juli 2025 lalu.
Sementara, kekayaan Purwanto berdasarkan LHKPN miliknya yang dilaporkan pada 15 Januari 2025, berjumlah Rp4,2 miliar.
Adapun rinciannya yakni enam bidang tanah dan bangunan yang beradai Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, dengan total nilai Rp3,5 miliar.
Lalu, dia juga tercatat memiliki tiga mobil dan dua sepeda motor dengan total nilai Rp563 juta.
Purwanto juga tercatat memiliki harta bergerak lainnya senilai Rp217 juta dan kas serta setara kas sebesar Rp219 juta.
3. Alfis Setyawan
Alfis Setyawan merupakan hakim ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) di PN Jakarta Pusat.
Dikutip dari laman MA, hakim ad hoc merupakan pengadil yang hanya bersifat sementara dan memiliki keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
Definisi di atas tertuang dalam Pasal 1 ayat 9 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebelum di PN Jakarta Pusat, Alfis sempat tercatat menjadi hakim ad hoc tipikor di PN Semarang pada tahun 2020, dikutip dari laman PN Semarang.
Dalam sidang perkara dengan terdakwa Tom Lembong, Alfis menggantikan hakim Ali Muhtarom yang terjerat kasus dugaan suap vonis lepas atau onslag dalam perkara persetujuan ekspor crude palm oil (CPO).
Dia mulai memimpin sidang bersama dengan Dennie dan Purwanto sejak 14 April 2025 lalu dengan agenda pemeriksaan saksi.
Alfis tercatat memiliki total harta sebesar Rp846 juta pada tahun 2024 berdasarkan LHKPN yang dilaporkannya tertanggal 13 Januari 2025.
Ia tercatat memiliki satu bidang tanah dan bangunan dengan total nilai Rp580 juta.
Lalu, dia mempunyai dua unit mobil sebesar Rp330 juta. Alfis turut memiliki harta bergerak lainnya senilai Rp19,2 juta serta kas dan setara kas sebesar Rp46,7 juta.
Laporkan auditor BPKP
Selain tiga hakim yang mengadilinya, Tom Lembong juga melaporkan para auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang juga memberikan keterangan dalam sidang.
Kuasa hukum Tom melaporkan para auditor yang dipimpin oleh Husnul Khotimah.
Mereka melaporkan para auditor ini karena dinilai tak profesional dalam melakukan audit terkait kasus importasi gula.
"Di penjaranya Pak Tom Lembong ini, salah satu kuncinya adalah audit BPKP yang menyatakan telah timbul kerugian keuangan negara. Tapi, isi auditnya seperti itu," kata Zaid.
Para auditor BPKP ini dilaporkan kepada pengawas internal BPKP dan Ombudsman Republik Indonesia.
Dalam pernyataannya, Zaid kembali menegaskan, "serangan balik" Tom Lembong ini bukan untuk menyerang institusi atau pribadi manapun, melainkan untuk memperbaiki sistem hukum di Indonesia.
"Ya tentu semangatnya bukan semangat menjatuhkan instansi atau institusi BPKP, bukan. (Tapi) agar ada koreksi, jangan sampai ada proses audit yang seperti ini ke depannya," ucapnya.
Duduk Perkara Kasus
Tom Lembong sempat divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider enam bulan kurungan oleh hakim PN Jakarta Pusat dalam sidang yang digelar pada 18 Juli 2025 lalu.
Adapun putusan itu lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta Tom Lembong dijatuhi hukuman tujuh penjara dan denda Rp750 juta subsidair enam bulan kurungan.
Selain itu, hakim juga menyatakan kerugian negara yang diakibatkan oleh kebijakan impor gula oleh Tom Lembong saat masih menjadi Mendag lebih kecil dari dakwaan jaksa.
Menurut hakim, total kerugian negara bukan Rp578 miliar seperti dalam dakwaan, tetapi senilai Rp194 miliar.
Hakim Alfis Setiawan mengatakan kerugian negara berasal dari keuntungan yang seharusnya diperoleh dari PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI.
"PT PPI bagian dari holding badan usaha milik negara pangan ID Food sehingga kerugian yang dialaminya merupakan kerugian negara," katanya.
Dalam putusannya, ketua majelis hakim, Dennie Arsan Fatrika, turut menyebutkan hal yang memberatkan dan meringankan bagi Tom Lembong.
Adapun hal yang memberatkan yakni terdakwa dianggap mengedepankan ekonomi kapitalis saat menerbitkan kebijakan impor gula.
"Terdakwa saat menjadi Menteri Perdagangan, pemegang kekuasaan pemerintahan di bidang perdagangan kebijakan menjaga ketersediaan gula nasional dan stabilitas harga gula nasional, lebih mengedepankan ekonomi kapitalis dibandingkan dengan sistem demokrasi ekonomi dan sistem ekonomi Pancasila Berdasarkan Undang-Undang 45 yang mengedepankan keseteraan umum," kata hakim.
Sementara, hal yang meringankan yaitu Tom Lembong tidak menikmati hasil korupsi serta sopan selama persidangan.
"Terdakwa tidak menikmati hasil tindakan korupsi yang dilakukan. Terdakwa bersikap sopan di persidangan tidak mempersulit jalan persidangan," jelas hakim.
Di sisi lain, Tom Lembong juga tak dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti kepada negara.
Setelah divonis, Tom Lembong sempat mengajukan banding pada 22 Juli 2025 lalu ke PN Jakarta Pusat.
Namun, pada Kamis (31/7/2025) lalu, Presiden Prabowo ternyata memberikan abolisi terhadapnya.
Abolisi adalah hak yang dimiliki kepala negara untuk menghapuskan tuntutan pidana terhadap seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana, serta menghentikan proses hukum yang sedang berjalan.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad.
"DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap surat Presiden nomor R-43/Pres/07/2025 tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI atas pemberian abolisi terhadap saudara Tom Lembong," kata Dasco saat konferensi pers di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.
Terbaru, terungkaplah alasan Prabowo memberikan abolisi terhadap Tom Lembong yaitu kasus yang menjerat eks Mendag itu bernuansa politis.
Hal serupa pun dilihat Prabowo terjadi pula dalam kasus yang menjerat Hasto Kristiyanto yaitu suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024, Harun Masiku.
Adapun Prabowo memberikan amnesti kepada Hasto setelah divonis 3,5 tahun penjara.
Amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu.
"Tetapi dalam dua kasus ini yang nuansanya lebih banyak ke masalah politik, itu yang Pak Presiden menggunakan haknya. Mari kita kurangi kegaduhan-kegaduhan politik," ujarnya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (4/8/2025).
(Kompas.com/Singgih Wiryono) (Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Rizki Sandi Saputra/Fahmi Ramadhan)