Pilkada 2020
Epidemiolog: Jangan Sampai karena Pemilu, Orang Mati karena Hak Atas Kesehatan Tak Dilindungi
Pakar epidemiologi dari Unair dr Windu Purnomo mengungkapkan ada dua opsi yang bisa diambil pemerintah terkait Pilkada 2020.
Langkah Keliru Pemerintah
Windu juga menilai ada ketidaktepatan pengambil kebijakan dalam penetapan tanggal Pilkada Serentak.
Diketahui Pilkada sedianya dilangsungkan pada September 2020 dan ditunda menjadi 9 Desember 2020.
"Keputusan tersebut diambil sekitar bulan Juni, padahal waktu itu kasus kita sedang mendaki, dan sampai sekarang pun belum mencapai puncaknya," ungkap Windu.
Windu menyebut, seharusnya ketika puncak wabah belum dicapai, penundaan Pilkada semestinya lebih panjang.
Ditundanya Pilkada dari September menjadi Desember dinilai terlalu pendek dengan kondisi puncak wabah belum terlewati.
"Ada contoh Selandia Baru yang menunda Pemilu, mereka mengambil sikap menunda saat kasusnya udah lama nol, sekitar 100 harian, kemudian ada kasus 4-5 orang, langsung Pemilu ditunda," jelas Windu.
"Sedangkan kita ini sedang naik, nundanya nggak cukup lama, padahal kasus belum mencapai puncak," ungkap Windu.
Proses Pilkada, menurut Windu, sangat riskan terhadap penyebaran kasus Covid-19.
"Dari pendafataran saja kita tahu Pilkada itu riskan, lihat bagaimana ratusan bahkan ribuan orang menemani bakal calon mendaftar ke KPU dan banyak yang tak patuh protokol kesehatan," ungkap Windu.
Belum lagi, lanjut Windu, masa kampanye yang lamanya sekira 2,5 bulan.
"Masih ada peluang kampanye tatap muka dengan pertemuan terbatas dan lain sebagainya yang berisiko terjadinya penularan," ungkap Windu.
Melihat pengalaman di masa pendaftaran, Windu tak yakin proses kampanye akan berjalan sesuai protokol kesehatan jika tidak ada ketegasan aturan.
Desakan Penundaan Pemilu
Sementara itu sejumlah pihak diketahui mendesak KPU dan pemerintah untuk menunda tanggal pencoblosan, di antaranya PP Muhammadiyah.