Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

Penelitian Ungkap Virus Corona Menyerang Otak Manusia, Bagaimana Penjelasannya?

Peneliti mengungkapkan virus corona menyerang otak manusia. Hal ini menjelaskan mengapa COVID-19 bisa sangat parah bagi sebagian orang.

Pexels.com/Miguel Á. Padriñán
ILUSTRASI virus corona Covid-19. 

TRIBUNTERNATE.COM - Peneliti mengungkapkan SARS-CoV-2 atau virus corona dapat menyerang otak manusia.

Hal ini menjelaskan mengapa COVID-19 bisa sangat parah bagi sebagian orang, dan mengapa gejalanya bisa bertahan lama.

Virus serupa corona memiliki riwayat dapat menyerang otak, sehingga para peneliti meyakini virus corona demikian.

Seperti Dr. Gabriel A. de Erausquin, seorang profesor neurologi di Pusat Ilmu Kesehatan Universitas Texas di San Antonio.

Ia mengatakan bahwa pandemi flu tahun 1917, penyakit itu juga dikaitkan dengan gangguan otak.

“Sejak pandemi flu tahun 1917 dan 1918, banyak penyakit mirip flu telah dikaitkan dengan gangguan otak," ujar de Erausquin, seperti dilansir dari Medical News Today.

Ia menyebutkan, salah satu virus tersebut termasuk H1N1 dan SARS-CoV, sehingga Virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 juga termasuk.

“Virus pernapasan itu termasuk H1N1 dan SARS-CoV. Virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 juga diketahui berdampak pada otak dan sistem saraf," lanjut de Erausquin.

Lantas, bagaimana dan sejauh apa virus ini menyerang otak manusia?

Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia Jumat 29 Januari 2021: 13.802 Kasus Baru, Total 1.051.795 Kasus Positif

Baca juga: Tanggapan Satgas Covid-19 Saat IDI Minta Pemerintah Lakukan Tes Serempak: Kapasitas Belum Mampu

Virus Corona menyerang otak ditandai dengan hilangnya indera penciuman

Baru-baru ini Dr de Erausquin menerbitkan hasil penelitiannya bersama rekan-rekannya.

Termasuk penulis senior Dr Sudha Seshadri, seorang profesor neurologi di institusi yang sama dan direktur Institut Glenn Biggs untuk Penyakit Alzheimer dan Neurodegeneratif di universitas.

“Ide dasar dari penelitian kami adalah bahwa beberapa virus pernapasan memiliki keterkaitan dengan sel sistem saraf,” jelas Seshadri.

Dia menambahkan sel penciuman sangat rentan terhadap serangan virus dan secara khusus menjadi sasaran SARS-CoV-2.

Ia mengatakan, itulah mengapa salah satu gejala COVID-19 yang menonjol adalah hilangnya penciuman.

Sel penciuman terkonsentrasi di hidung. Melalui sel penciuman ini, virus mencapai pusat penciuman di otak, yang terletak di dekat hipokampus.

“Jejak virus, ketika menyerang otak, hampir mengarah langsung ke hipokampus,” terang de Erausquin.

“Hal ini diyakini sebagai salah satu sumber gangguan kognitif yang diamati pada pasien COVID-19," lanjutnya.

Mereka menduga, hal ini juga menjadi bagian dari penyebab akan ada penurunan kognitif yang dipercepat dari waktu ke waktu pada individu yang rentan.

ILUSTRASI - Simulasi penanganan pasien virus corona Covid-19 di RS Margono Soekarjo, Purwokerto.
ILUSTRASI - Simulasi penanganan pasien virus corona Covid-19 di RS Margono Soekarjo, Purwokerto. (TRIBUNJATENG/Permata Putra Sejati)

Kaitannya dengan gangguan neurologis

Dalam laporannya, para ilmuwan merujuk pada beberapa bukti yang membuatnya sangat waspada terhadap dampak SARS-CoV-2 pada otak.

Beberapa temuan tersebut yakni percobaan pemberian virus corona intranasal pada tikus menyebabkan serangan cepat ke otak.

Kemudian, partikel virus corona dapat dideteksi secara post mortem di otak besar manusia.

Baca juga: China Terapkan Tes Swab Covid-19 Lewat Anal, Tak Sampai 10 Detik, Warga: Rasanya Sangat Malu

Baca juga: Tanggapi Masuknya WNA di Tengah Pandemi Covid-19, Haji Lulung: Sebenarnya Mainan Siapa, Sih?

Dalam jaringan otak post mortem, reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) diekspresikan dalam pembuluh darah korteks frontal otak.

Melalui reseptor ini, SARS-CoV-2 memasuki sel sehat.

Selain itu, penelitian in vitro menunjukkan bahwa protein virus dapat merusak pembatas darah-otak.

Selanjutnya, sakit kepala, rasa berkurang, dan kehilangan bau terjadi sebelum timbulnya gejala pernapasan pada sebagian besar pasien COVID-19.

Kemudian, terdapat pula temuan delirium, yaitu gejala neuropsikiatri dari penurunan kognisi dan memori.

"Insiden delirium pada pasien COVID-19 yang sakit parah (pasien dirawat di ICU), dilaporkan terdapat sebanyak 84%," seperti yang ditulis oleh para peneliti dalam laporannya.

Pada 2022, para peneliti berencana untuk mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana COVID-19 memengaruhi otak.

Kegiatan ini akan dilakukan oleh peneliti dari lebih dari 30 negara, yang didanai oleh Alzheimer's Association.

Rencananya mereka akan melakukan penelitian bersama tentang efek neurologis dari novel coronavirus.

Jika sudah menginfeksi otak, maka dapat mempengaruhi apa pun

Penelitian lain mendukung temuan serangan COVID-19 di otak membuat penyakit menjadi sangat parah.

Sebuah tim peneliti, termasuk penulis studi senior Mukesh Kumar, seorang ahli virologi yang berspesialisasi dalam penyakit menular yang muncul dan asisten profesor di Universitas Negeri Georgia, di Atlanta, melakukan penelitian dengan menginfeksi saluran hidung tikus dengan virus corona.

Percobaan ini menyebabkan tikus tersebut menderita penyakit parah, bahkan setelah infeksinya dibersihkan dari paru-paru.

Para ilmuwan juga menemukan bahwa bagian otak mengandung virus 1.000 kali lebih tinggi daripada bagian tubuh lainnya.

Hal ini kemungkinan menjelaskan mengapa beberapa orang tampaknya pulih setelah beberapa hari dan fungsi paru-parunya membaik, tetapi kemudian kambuh dan mengalami gejala yang lebih parah, dan beberapa di antaranya mematikan.

“Pemikiran kami bahwa COVID-19 lebih merupakan penyakit pernapasan belum tentu benar,” kata Kumar.

“Sekali virus ini menginfeksi otak, dapat mempengaruhi apapun karena otak mengontrol paru-paru, jantung, dan semuanya. Otak adalah organ yang sangat sensitif, pemroses utama untuk segalanya," lanjut Kumar.

"Otak adalah salah satu wilayah tempat virus suka bersembunyi," lanjutnya

Ia mengatkaan hal ini lantaran otak tidak seperti paru-paru.

Dirinya menyebutkan, otak tidak dilengkapi perlengkapan yang memadai, dari perspektif imunologis, untuk membersihkan virus.

“Itulah mengapa muncul penyakit parah seperti penyakit jantung, stroke, dan semua penyakit jangka panjang, juga hilangnya penciuman, hilangnya rasa,” jelas peneliti senior tersebut.

"Semua gejala ini berkaitan dengan otak, bukan dengan paru-paru," terangnya.

Kumar memperingatkan, kerusakan otak dapat berarti bahwa banyak orang dengan COVID-19 terus berisiko tinggi terkena penyakit neurodegeneratif, seperti Parkinson, multiple sclerosis, atau penurunan kognitif umum, setelah pulih.

"Banyak orang mengira mereka tertular COVID, dan mereka sembuh, mereka kira sekarang mereka sudah keluar dari hutan. Sekarang saya merasa itu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Mereka mungkin tidak akan pernah keluar dari hutan," ujar Kumar.

(TribunTernate.com/Qonitah Rohmadiena)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved