Rencana Impor Beras 1 Juta Ton Tuai Kritikan dari Faisal Basri, Rizal Ramli, hingga Febri Diansyah
Para tokoh ekonomi hingga pegiat antikorupsi pun menyuarakan kritikan mereka terhadap rencana impor beras 1 juta ton melalui media sosial.
TRIBUNTERNATE.COM - Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonomian menyatakan akan melakukan impor beras sebanyak 1 sampai 1,5 juta ton dalam waktu dekat.
Rencana ini akan dilakukan melalui penugasan kepada Perum Bulog untuk memenuhi kebutuhan tahun 2021.
Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2021, Kamis (4/3/2021) lalu.
Pemerintah mengklaim, rencana impor beras bertujuan untuk menjaga stok beras nasional.
Tidak hanya itu, pemerintah juga mengkaji kemungkinan impor komoditas lainnya selain beras, seperti daging dan gula.
Kebijakan rencana impor beras ini menuai kritikan dan tanggapan dari sejumlah pihak.
Para tokoh ekonomi hingga pegiat antikorupsi pun menyuarakan kritikan mereka melalui media sosial.
1. Rizal Ramli
Politikus sekaligus pakar ekonomi Indonesia, Rizal Ramli, menyampaikan tanggapan mengenai rencana impor beras 1 juta ton lewat akun Twitter-nya, pada Kamis (17/3/2021).
Dalam cuitannya, Rizal Ramli menyebut apabila pemerintah benar-benar mendukung petani dan pangan dalam negeri, seharusnya sistem kuota impor dihapus.
Sebab, kuota impor berpotensi menimbulkan rente (bunga uang atau riba, red.) senilai puluhan triliun rupiah dan memiskinkan petani dalam negeri.
Ia menyarankan, sistem kuota impor diganti dengan sistem tarif.
Sehingga, dengan begitu negara bisa memperoleh tambahan penerimaan sekaligus menyediakan perlindungan bagi petani dalam negeri.

Baca juga: Kemenaker Rumuskan Aturan Pemberian THR 2021, Bisa Dicicil atau Tidak?
Baca juga: Wacana Impor Beras 1 Juta Ton: Ditolak DPR, Muncul Pasca-Seruan Benci Produk Luar Negeri dari Jokowi
Pasca-bergulirnya wacana impor beras 1 juta ton, pegiat antikorupsi sekaligus pendiri firma hukum Visi Integritas, Febri Diansyah, turut memberikan tanggapan.
Lewat akun Twitter @febridiansyah, mantan Kepala Biro Hubungan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini mengingatkan banyaknya kasus korupsi terkait kebijakan impor.
Seperti impor daging, impor ikan, impor gula, impor bawang putih, hingga impor tekstil.
Oleh karenanya, Febri Diansyah berharap kasus korupsi terkait kebijakan impor tidak bertambah lagi.
Selain itu, ia meminta supaya kasus korupsi terkait impor sebelumnya dijadikan pembelajaran, terutama bagi kebijakan impor bahan pangan dan kebutuhan pokok.

3. Faisal Basri
Ekonom Faisal Basri melontarkan kritikan terhadap rencana impor beras 1 juta ton lewat artikel berjudul "Mau Impor Beras Besar-besaran Lagi: Pemburuan Rente Lagi, Rente Lagi" yang dipublikasikan di situsnya, faisalbasri.com.
Dalam artikel itu, Faisal Basri meminta pemerintah untuk tidak mengulangi kesalahan pada tahun 2018.
Saat itu tingkat produksi bisa dikatakan tidak buruk.
Namun, lonjakan impor sepanjang 2018 mengakibatkan stok yang dikuasai oleh pemerintah untuk PSO/CBP naik hampir 4 juta ton sedangkan penyalurannya anjlok dari 2,7 juta ton menjadi 1,9 juta ton.
Akibatnya, stok beras melonjak lebih dua kali lipat dari 0,9 juta ton pada akhir 2017 menjadi 2 juta ton pada akhir 2018.
Hal ini membuat Bulog kewalahan dalam mengelola kelebihan stok.
Bahkan, ratusan ribu ton stok beras sisa pengadaan impor tahun 2018 masih tersisa hingga kini.
Dampaknya, kualitas beras yang dikelola Bulog merosot, 'uang mati' meningkat, dan kemampuan Bulog menyerap beras dari petani menjadi terbatas.
Baca juga: Wakil Ketua MPR Sebut Kecurigaan Amien Rais Soal Presiden 3 Periode Berasal dari Pikirannya Sendiri
Baca juga: Soal Presiden 3 Periode, Fahri Hamzah: Kita Punya Kebiasaan Buruk Besarkan Isu dari Sumber Tidak Sah
Baca juga: Kurangnya Skill Petani Lokal Jadi Alasan Indonesia Masih Impor Garam meski Punya Lautan Luas
Faisal Basri pun khawatir, pengalaman tahun 2018 itu akan terulang lagi tahun ini.
Sebab, adanya pengumuman rencana impor beras 1 juta ton mempengaruhi psikologi pasar, sehingga harga jual di tingkat petani cenderung menurun.
Belum lagi, saat ini petani tengah menyongsong masa panen raya (April-Mei).
Selain itu, harga gabah di tingkat petani juga semakin tertekan.
Sementara, harga beras selama satu tahun terakhir cenderung stabil.
Hal inilah yang membuat Rizal Ramli curiga dengan waktu pengadaan impor beras.
"Impor relatif tinggi ketika masa panen atau tatkala terjadi surplus (produksi lebih besar dari konsumsi) dan sangat sedikit ketika sedang mengalami defisit (konsumsi lebih besar dari produksi)," tulisnya.
Faisal Basri juga menyoroti adanya "praktik pemburuan rente" yang dipicu besarnya selisih harga antara harga domestik dan harga internasional.
Sehingga, dalam kebijakan impor beragam komoditas strategis (beras, gula, garam, daging, dan bawang putih) lazim terjadi "bagi-bagi kuota impor."
Faisal Basri sejatinya optimis dengan produksi beras dalam negeri yang meningkat, sehingga tidak perlu dilakukan impor beras.
Sebab, di tengah pandemi Covid-19 sektor pertanian masih bisa mencatatkan pertumbuhan positif.
Bahkan, subsektor tanaman pangan tumbuh positif 3,54 persen, tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Selain itu, BPS mengumumkan bahwa potensi produksi beras Januari-April tahun ini mencapai 14,54 juta ton, meningkat sebanyak 3,08 juta ton atau 26,84 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Oleh karenanya, Faisal Basri meminta Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk mengganti para menteri yang 'hobi' melakukan kebijakan impor.
Sebab, mereka dianggap hanya mementingkan sisi gampang dan praktisnya saja.
(TribunTernate.com/Rizki A.)