Anggota Komisi XI DPR RI Sebut Kementerian Investasi Bukan Solusi Atasi Masalah Investasi, Mengapa?
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyatakan bahwa pembentukan Kementerian Investasi bukan solusi dan hanya akan menyelesaikan masalah di hilir.
TRIBUNTERNATE.COM - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memutuskan untuk menyetujui pembentukan Kementerian Investasi dalam Sidang Paripurna ke-16 pada Jumat (9/4/2021).
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyatakan bahwa keputusan itu bukanlah sebuah solusi yang tepat.
Menurut Anis, jika melihat tujuan pembentukannya yang mana untuk meningkatkan investasi dan membuka lapangan kerja, adanya Kementerian Investasi bukanlah solusi untuk mengatasi persoalan investasi di Tanah Air.
Bila Kementerian Investasi dibentuk, kata Anis, ini hanya akan menyelesaikan persoalan-persoalan di luar persoalan investasi yang utama.
“Kalaupun direalisasikan, kementerian ini hanya akan menyelesaikan persoalan di bagian hilir investasi saja,” kata Anis, dikutip dari keterangan tertulisnya, Kamis (15/4/2021).
Anis menyampaikan temuan data dari World Economic Forum (WEF) yang pernah merilis 16 faktor penghalang iklim investasi di Indonesia.
WEF menempatkan korupsi sebagai faktor penghambat iklim investasi utama di Indonesia dengan skor tertinggi sebesar 13,8.
Baca juga: Isu Reshuffle Pasca-Disetujuinya Kementerian Investasi oleh DPR, PDIP: Itu Hak Prerogatif Presiden
Baca juga: Jokowi Bakal Reshuffle Kabinet Lagi, Pengamat Sebut Kemungkinan Besar Dilakukan pada 2 Kementerian

“Dari 16 faktor tersebut, korupsi menjadi kendala utama yang sangat menggangu dan merugikan. Maraknya praktik suap, gratifikasi, dan pelicin yang dilakukan sejumlah oknum, terutama dalam pengurusan perizinan, mengakibatkan sejumlah dampak serius terhadap investor,” papar politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini juga menjelaskan faktor kedua yang mempengaruhi investasi di dalam negeri, yaitu inefisiensi birokrasi dengan skor 11,1.
Disusul dengan akses ke pembayaran dengan skor 9,2, infrastruktur tidak merata dengan skor 8,8 dan kebijakan tidak stabil dengan skor 8,6 yang melengkapi 5 faktor utama.
Anis juga memaparkan data lain yang terkait dengan posisi Indonesia di dalam rangking Ease of Doing Business dari Bank Dunia (2020) yang dalam banyak hal merefleksikan efektivitas dan efisiensi dari birokrasi.
EDBBD menempatkan Indonesia berada di level 73.
“Level yang menunjukkan posisi relatif masih rendah,” ungkapnya.
Ranking Indonesia selama tiga tahun terakhir relatif stagnan, dan masih di bawah negara-negara tetangga di ASEAN.
Sebut saja Singapura di posisi ke 2, Malaysia di posisi 12, Thailand di posisi 21, Brunei di posisi 66, dan bahkan Vietnam di posisi 70.
Baca juga: Disebut Sebagai Menteri yang Paling Layak di-Reshuffle, Menkumham Yasonna H Laoly Tak Terpengaruh
Baca juga: Isu Reshuffle Pasca-Disetujuinya Kementerian Investasi oleh DPR, PDIP: Itu Hak Prerogatif Presiden