Kominfo Benarkan 279 Data Penduduk yang Bocor Berasal dari BPJS Kesehatan, Ini Kata Analis
Akun bernama Kotz memberikan akses download secara gratis untuk file sebesar 240 MB yang berisi satu juta data pribadi masyarakat Indonesia.
Dedy menambahkan berdasarkan PP 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) dan Peraturan Menkominfo No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik, PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) yang sistem elektroniknya mengalami gangguan serius akibat kegagalan perlindungan data pribadi wajib untuk melaporkan dalam kesempatan pertama kepada Kementerian Kominfo dan pihak berwenang lain.
Kata Analis
Dalam keterangannya pada Jumat (21/5/2021) pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan bahwa benar tidaknya itu data BPJS Kesehatan, sebaiknya kita tunggu keterangan resmi sembari mungkin dilakukan digital forensik.
"Bila dicek, data sample sebesar 240MB ini berisi nomor identitas kependudukan (NIK), nomor HP, alamat, alamat email, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tempat tanggal lahir, jenis kelamin, jumlah tanggungan dan data pribadi lainnya yang bahkan si penyebar data mengklaim ada 20 juta data yang berisi foto,” terang chairman lembaga riset siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) ini.
Pratama menambahkan, dalam file yang didownload tersebut ada data NOKA atau nomor kartu BPJS kesehatan. Menurut klaim pelaku, dirinya mempunyai data file sebanyak 272.788.202 juta penduduk. Pratama melihat hal ini aneh bila akun Kotz mengaku mempunyai 270 juta lebih data serupa, padahal anggota BPJS kesehatan sendiri di akhir 2020 adalah 222 juta.
“Dari nomor BPJS Kesehatan yang ada di file bila dicek online ternyata datanya benar sama dengan nama yang ada di file. Jadi memang kemungkinan besar data tersebut berasal dari BPJS Kesehatan,” jelasnya.
"Data dari file yang bocor dapat digunakan oleh pelaku kejahatan. Dengan melakukan phishing yang ditargetkan atau jenis serangan rekayasa sosial (Sosial Engineering). Walaupun didalam file tidak ditemukan data yang sangat sensitif seperti detail kartu kredit namun dengan beberapa data pribadi yang ada, maka bagi pelaku penjahat dunia maya sudah cukup untuk menyebabkan kerusakan dan ancaman nyata," terang Pratama.
Dijelaskan olehnya, pelaku kejahatan dapat menggabungkan informasi yang ditemukan dalam file CSV yang bocor dengan pelanggaran data lain untuk membuat profil terperinci dari calon korban mereka.
Seperti data dari kebocoran Tokopedia, Bhinneka, Bukalapak dan lainnya.
Dengan informasi seperti itu, pelaku kejahatan dapat melakukan serangan phising dan social engineering yang jauh lebih meyakinkan bagi para korbannya.
"Yang jelas tidak ada sistem yang 100% aman dari ancaman peretasan maupun bentuk serangan siber lainnya. Karena sadar akan hal tersebut, maka perlu dibuat sistem yang terbaik dan dijalankan oleh orang-orang terbaik dan berkompeten agar selalu bisa melakukan pengamanan dengan standar yang tinggi,” tegas Pratama.
Ditambahkan olehnya, kejadian semacam ini harusnya tidak terjadi pada data yang dihimpun oleh negara.
Sebaiknya mulai saat ini seluruh instansi pemerintah wajib bekerjasama dengan BSSN untuk melakukan audit digital forensic dan mengetahui lubang-lubang keamanan mana saja yang ada.
Langkah ini sangat perlu dilakukan untuk menghindari pencurian data di masa yang akan datang.
“Pemerintah juga wajib melakukan pengujian sistem atau Penetration Test (Pentest) secara berkala kepada seluruh sistem lembaga pemerintahan. Ini sebagai langkah preventif sehingga dari awal dapat ditemukan kelemahan yang harus diperbaiki segera,” jelasnya.