Stafsus Menkeu Tegaskan Tak Ada Kebijakan Pajak Sembako hingga 12 Persen: Sama Sekali Tidak Ada
Stafsus Menkeu, Yustinus Prastowo tegaskan tidak ada bunyi dalam RUU KUP yang menyatakan bahwa sembako akan dikenai PPN hingga 12 persen.
TRIBUNTERNATE.COM -Staf Khusus Menteri Keuangan (Stafsus Menkeu) Yustinus Prastowo menegaskan bahwa tidak ada bunyi dalam Rancangan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang menyatakan bahwa sembako akan dikenai PPN hingga 12 persen.
Hal tersebut diungkapkan oleh Yustinus Prastowo dalam acara Sapa Indonesia Malam Kompas TV pada Jumat (11/6/2021).
Menurut Yustinus, barang dan jasa yang masuk ke dalam administrasi perpajakan tidak serta merta menjadi objek pajak.
Dalam RUU KUP tersebut, kata Yustinus, pemerintah justru mencari cara bagaimana agar bisa memberikan kebijakan pajak dengan adil kepada masyarakat atas dan juga masyarakat bawah.
"Barang dan jasa yang masuk dalam administrasi perpajakan tidak serta merta itu merupakan objek pajak, jadi tidak serta merta dikenai pajak."
"Desainnya adalah, apakah akan dikenai tarif tinggi, tarif rendah, atau justru mendapat fasilitas. Jadi nanti ini justru yang akan dibicarakan dengan DPR dan dengan para stakeholder," terang Yustinus, seperti dikutip dari kanal YouTube KompasTV, Sabtu (12/6/2021).
"Jadi tidak ada rekonstruksi dalam RUU itu bahwa sembako dibilang akan dikenai pajak bahkan 12 persen, itu sama sekali tidak ada," lanjutnya.
Baca juga: Kecam Wacana Pajak Sembako, KSPI Sebut Pemerintah Tak Ada Bedanya dengan Penjajah
Baca juga: 21 Model dari 6 Merek Mobil Dapatkan Insentif Pajak 0 Persen: Toyota Sienta hingga Wuling Confero
Dengan demikian, adanya RUU KUP tersebut nantinya akan membuat masyarakat atas dan masyarakat bawah dikenakan pajak sembako sesuai dengan kemampuan masing-masing dan tidak sama rata.
"Yang ada adalah pemerintah justru mendesain skema tarif yang memberi ruang barang yang dikonsumsi masyarakat atas bisa dikenai tarif tinggi, barang yang dikonsumsi masyarakat bawah bisa dikenai tarif lebih rendah, bahkan mungkin di bawah 10 persen, (seperti) yang saat ini berlaku," ungkap Yustinus.
Lebih lanjut, ketika disinggung tentang apa sebenarnya urgensi memberlakukan PPN pada sembako, Yustinus mengatakan, hal itu dilakukan agar perpajakan di Indonesia bisa diadministrasikan dengan baik.
Sehingga, sistem perpajakan di Indonesia bisa tercatat dengan baik dan bisa diawasi secara menyeluruh.
"Supaya bisa diadministrasikan, jadi kita perlu mengawasi, mencatat dengan baik, produksi, distribusi, siapa yang menjual, siapa yang membeli. Sehingga sistem perpajakan kita itu komprehensif dan holistis," ucap Yustinus.
Jika sistem perpajakan tersebut telah tercatat dengan baik dan menyeluruh, maka pemerintah akan mampu memberikan keadilan dalam kebijakan perpajakan.
Sebab, menurut Yustinus, tak semua jenis sembako hanya dinikmati oleh masyarakat kelas bawah, justru ada sejumlah sembako yang hanya dinikmati oleh masyarakat kelas atas.
"Dengan demikian, kita bisa membedakan dan memberi rasa keadilan. Barang kebutuhan pokok tersebut tidak semua dikonsumsi oleh kelompok masyarakat miskin, tetapi justru ada kategori jenis, harga, dan segmen yang dikonsumsi hanya oleh kelompok atas," ucap Yustinus.