Komnas HAM: Pemerintah dan DPR Disarankan untuk Mengkaji Ulang Usulan Revisi Terbatas UU ITE
Komnas HAM RI menyarankan pemerintah dan DPR mengkaji ulang usulan revisi terbatas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
TRIBUNTERNATE.COM - Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) saat ini tengah menjadi sorotan.
Bahkan, revisi UU ITE menuai pro dan kontra dari sejumlah kalangan, tak terkecuali tanggapan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM RI).
Komnas HAM RI menyarankan pemerintah dan DPR mengkaji ulang usulan revisi terbatas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandrayati Moniaga menegaskan bahwa dalam melakukan pembatasan atas kebebasan berekspresi dalam revisi UU ITE agar dilakukan secara akuntabel, non diskriminatif, tidak multi tafsir, dan bisa diuji oleh publik berdasar Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi yang disusun Komnas HAM.
Adapun tolok ukur dalam menguji revisi UU ITE, kata dia, adalah legalitas, proporsionalitas, dan nesesitas.
Artinya, lanjut dia, revisi atas UU ITE harus mampu menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang lebih kondusif.
"Oleh karena itu, Komnas HAM RI merekomendasikan agar Pemerintah dan DPR RI untuk mengkaji ulang usulan revisi terbatas UU ITE, karena revisi terhadap empat pasal tersebut bukan solusi atas ancaman dan problem kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia," kata Sandrayati dalam keterangan resmi Komnas HAM pada Selasa (15/6/2021).
Baca juga: Mahfud MD Bahas Revisi UU ITE dengan Koalisi Masyarakat Sipil: Masih Terbuka untuk Masukan
Baca juga: Sebut Ada 4 Pasal UU ITE yang akan Direvisi, Mahfud MD: Proses Revisi Sudah Dilaporkan ke Jokowi
Baca juga: Data SAFEnet Sebut UU ITE Jerat Warga dalam 324 Kasus, Ketua MPR: Tak Tutup Kemungkinan Revisi
Baca juga: Jokowi Pertimbangkan Revisi UU ITE, Hidayat Nur Wahid: Pemerintah Jangan Lempar Bola ke DPR
Pemerintah dan DPR RI, lanjut dia, harus mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai dasar pengambilan kebijakan maupun pembentukan peraturan perundang-undangan dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Keterlibatan Lembaga Negara Independen serta koalisi masyarakat sipil dan akademisi diperlukan guna memastikan proses revisi UU ITE berjalan partisipatif, terbuka, dan non-diskriminatif," kata Sandrayati.
6 Sikap Komnas HAM terhadap Revisi UU ITE
Selain menyampaikan rekomendasi terkait usulan revisi UU ITE, Sandrayati juga menyampaikan enam sikap Komnas HAM.
Pertama, kata dia, keberadaan UU ITE telah mengancam hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Pada tahun 2020, kata Sandrayati, Komnas HAM RI menerima 22 aduan terkait UU ITE.
"Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Komnas HAM pada 2020 terhadap 1.200 responden di 34 provinsi, sebanyak 36,2% masyarakat merasa tidak bebas dalam menyampaikan ekspresinya di media sosial (internet)," kata Sandrayati.
Kedua, terjaminnya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sangat penting dalam pelaksanaan negara demokratis sebagai bentuk pengawasan, kritik, dan saran dalam penyelenggaraan pemerintahan.
"Pada negara demokratis, kedaulatan negara berada di tangan rakyat sehingga kehendak rakyat yang disampaikan melalui pendapat dan ekspresinya harus menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan," kata dia.
Baca juga: Gempa Bumi Magnitudo 6.1 di Maluku Tengah, BMKG Keluarkan Peringatan Potensi Tsunami
Baca juga: Kemenkes RI Sebut 4 Merek Vaksin Covid-19 Tak Boleh untuk Vaksinasi Gotong Royong, Apa Saja?
Baca juga: Jawa Barat Darurat Covid-19, Ridwan Kamil Minta Pemerintah Tiadakan Libur Idul Adha 1442 H/2021
Ketiga, kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin diantaranya dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, kata dia, juga dijamin oleh berbagai instrumen HAM internasional seperti Deklarasi Universal HAM dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi dalam UU No. 12 Tahun 2005.
"Keempat, Komnas HAM RI mendukung revisi UU ITE untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Revisi tersebut selayaknya mengedepankan prinsip-prinsip HAM karena seluruh kebijakan harus mengadopsi prinsip-prinsip dan norma HAM," kata dia.
Kelima, Komnas HAM RI mempertanyakan dasar pemerintah yang hanya akan merevisi Pasal 27, 28, 29, dan 36.
Padahal, lanjut Sandrayati, terdapat pasal-pasal lain yang menjadi sumber pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, di antaranya Pasal 26 ayat 3 terkait penghapusan informasi, Pasal 40 ayat 2a dan 2b terkait pencegahan penyebarluasan dan kewenangan pemerintah memutus akses, serta Pasal 43 ayat 3 dan 6 terkait penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan.
Untuk itu, menurut Komnas HAM, revisi terbatas pada empat pasal dalam UU ITE bukanlah solusi atas ancaman kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia.
"Penambahan pasal baru yaitu Pasal 45C yang mengadopsi ketentuan peraturan perundangan-undangan tahun 1946 sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian sehingga menjadi ancaman bagi demokrasi dan hak asasi manusia di ruang digital," kata dia.
Terakhir, Komnas HAM RI telah menyusun dan menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi.
"Komnas HAM RI mendorong dan merekomendasikan Pemerintah dan DPR RI agar memakai SNP tersebut sebagai pedoman dan penjelasan dalam merevisi UU ITE," kata Sandrayati.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Komnas HAM Sarankan Pemerintah dan DPR Kaji Ulang Usulan Revisi Terbatas UU ITE