ICW Sebut Hukuman Mati pada Pelaku Korupsi Tidak Ideal, Mengapa?
ICW mengatakan bahwa saat ini belum ada literatur ilmiah yang bisa membuktikan bahwa hukuman mati dapat menurunkan angka korupsi di suatu negara.
TRIBUNTERNATE.COM - Organisasi Indonesia Corruption Watch (ICW) menganggap bahwa hukuman mati bukanlah jenis pemidanaan yang ideal untuk pelaku korupsi.
Hal tersebut disampaikan oleh ICW terkait kasus yang menimpa Komisaris Utama PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat.
Diketahui, Heru Hidayat dituntut hukuman mati dalam perkara dugaan korupsi di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).
Hukuman tersebut dijatuhkan terhadap Heru lantaran Komisaris Utama PT Trada Alam Minera itu terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang negara hingga Rp22,7 triliun.
Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU), Heru pantas untuk mendapatkan hukuman mati karena ia telah melakukan tindak korupsi yang berulang dan menyebabkan negara mengalami kerugian fantastis.
Namun demikian, ICW menganggap hukuman mati bukan merupakan jenis pemidanaan yang ideal bagi pelaku korupsi.
Baca juga: Raker KPK Digelar di Hotel Mewah Yogyakarta, Novel Baswedan dan ICW Lontarkan Kritik: Etis Nggak?
Baca juga: Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati atas Kasus Korupsi PT ASABRI, Berikut Profilnya
Sebab, hingga saat ini belum ada literatur ilmiah yang bisa membuktikan bahwa hukuman mati dapat menurunkan angka korupsi di suatu negara.
Menurut Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, justru negara-negara yang menempati posisi puncak dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau dianggap paling bersih dari praktik korupsi tidak memberlakukan hukuman mati.

"ICW beranggapan hukuman mati bukan merupakan jenis pemidanaan yang ideal bagi pelaku korupsi," kata Kurnia dalam keterangannya, Rabu (8/12/2021).
Bagi ICW, hukuman ideal bagi pelaku korupsi adalah kombinasi antara pemenjaraan badan dengan perampasan aset hasil kejahatan atau sederhananya dapat diartikan pemiskinan.
"Sayangnya, dua jenis hukuman itu masih gagal diterapkan maksimal," kata Kurnia.
Dalam catatan ICW, rata-rata hukuman koruptor hanya 3 tahun 1 bulan penjara.
Begitu pula pemulihan kerugian keuangan negara yang sangat rendah.
Tidak hanya itu, dikatakan Kurnia, perbaikan mendasar untuk menunjang kerja penegak hukum agar bisa menghukum maksimal pelaku korupsi juga enggan ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR.
Baca juga: Sakit Hati Dituduh Korupsi, Mantan Kepala Desa di Pati Cabuti Ratusan Tiang Lampu di Jalan
Baca juga: Anies Baswedan Diperiksa KPK terkait Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Tanah, Ini Fakta-faktanya
"Misalnya, RUU Perampasan Aset dan Revisi UU Tipikor. Dua regulasi itu selalu menjadi tunggakan, bahkan perkembangan terbaru juga tidak dimasukkan dalam daftar prolegnas prioritas 2022," terangnya.