Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

Opini

Ironi Mardani Maming dan Seruan Taat Hukum oleh Elit PBNU

Figur publik yang telah mencoreng kepercayaan publik, ia harus mengundurkan dirinya. Mardani jadi ironi karena masih berada di PBNU

Facebook Aguk Irawan Mn
Aguk Irawan, Warga NU Kultural Tinggal di Yogyakarta. 

Ironi Mardani Maming dan Seruan Taat Hukum oleh Elit PBNU

Oleh: Aguk Irawan MN*

TRIBUNTERNATE.COM - Negara-negara yang beradab dan maju menjunjung tinggi kepatuhan pada hukum yang berlaku di negaranya, dan tidak pernah mangkir dari proses hukum.

Ini penting dicontoh oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, terutama dalam kasus Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Mardani H. Maming.

Maka sudah selayaknya beliau mundur atau dinon aktifkan sejak masih patut diduga, jauh sebelum berstatus tersangka, bahkan DPO olek KPK. Sepatutnya tidak perlu juga ada pembelaan apapun terhadap pengusaha muda asal Kalimantan tersebut. Lebih-lebih dari PBNU, Ormas yang selama ini menjadi garda terdepan penjaga moral.

Kenapa tidak perlu dan bisa membuat malu, jika terus mempertahankannya? Sekelumit kisah ini bisa menjadi takaran. Tahun 2021 silam, Perdana Menteri New South Wales, Australia, Gladys Berejiklian, mengundurkan diri setelah diduga terlibat menciderai kepercayaan publik karena kasus korupsi.

Masih hangat dibulan Juli 2022 ini, Perdana Menteri Ingris, Boris Johnson (Bojo), juga mengumumkan pemunduran dirinya, setelah digugat oleh elite papan atas dalam pemerintahannya. Sebelumnya, John Penrose (Tsar Anti-korupsi Pemerintahan Boris Johnson) juga mengundurkan diri, sekaligus meminta Bojo mengundurkan diri juga.

Negara-negara maju telah memberikan contoh bagaimana etika politik harus dijalankan. Figur publik yang telah mencoreng kepercayaan publik, ia harus mengundurkan dirinya.

Tetapi, apa yang dicontohkan oleh elite-elite PBNU belum mencerminkan sebagai figur profesional, modern, dan sesuai dengan perilaku politik dari negara-negara beradab lainnya.

Sekalipun Bendahara Umum (Bendum) PBNU, Mardani H. Maming, masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), karena kasus korupsi, ia masih enggan mengundurkan diri dari posisinya. Belum lagi, Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, yang juga masih mempertahankannya.

Joseph Pozsgai-Alvarez (2021) dalam bukunya berjudul “The Politics of Anti-Corruption Agencies in Latin America” menghubungkan seruan pengunduran diri ini sebagai bagian dari demokrasi.

Dengan mencontohkan kasus Pengumuman La Linea atau yang dikenal Musim Semi Guatamela, Joseph Pozsgai-Alvarez menggambarkan semangat demokrasi masyarakat, yang secara terbuka menuntut pengunduran diri dua eksekutif puncak di negaranya.

Dengan kata lain, demi mempertahankan demokrasi di negara ini, rakyat pantas menyeru pemunduran diri para elite yang menciderai kepercayaan publik, termasuk Mardani H. Maming.

Tentu saja, elite-elite PBNU seakan-akan mendorong perilaku taat hukum. Misalnya, Ketua PBNU Bidang Hukum, Pendidikan dan Media, Moh. Syafi’ Alielha, mendorong agar Mardani H. Maming patuh dan mengikuti proses hukum yang ada.

Atau, sebut Savic Ali (Ketua PBNU), yang juga berharap Mardani Maming agar mengikuti proses hukum. Namun, semua harapan ini adalah harapan ironis. Mengingat gestur yang ditunjukkan oleh Gus Yahya dan para elite NU lainnya sepertinya lebih cenderung 'membela' Mardani Maming.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved