Pemerintah dan DPR mengebut pembahasnya dari siang bahkan hingga larut malam meski di tengah masa reses dan pandemi Covid-19.
Pihaknya memang sempat menunda pembahasan klaster Ketenagakerjaan ini setelah mendapat perintah resmi dari Presiden Jokowi pada 24 April lalu.
Hal tersebut dilakukan untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut.
2. Lakukan 64 kali rapat
RUU ini baru mulai dibahas DPR pada 2 April 2020 dalam Rapat Paripurna ke-13. Selama di parlemen, proses pembahasannya relatif berjalan mulus.
Untuk meloloskan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, anggota dewan sampai rela melakukan rapat maraton.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Supratman Andi Agtas pun mengatakan, pada bab-bab terakhir pembahasan RUU tersebut bahkan dilakukan di akhir pekan.
Secara keseluruhan, Baleg DPR RI dan pemerintah telah melakukan 64 kali rapat.
"Rapat 64 kali, 65 kali panja dan 6 kali timus timsin, mulai Senin-Minggu, dari pagi sampai malam dini hari, bahkan reses melakukan rapat di dalam atau di luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR," kata Supratman Andi dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020).
RUU yang disusun dengan metode omnibus law itu terdiri dari 15 bab dan 174 pasal dari yang sebelumnya 15 bab dengan 185 pasal,
Secara keseluruhan, ada 1.203 pasal dari 73 undang-undang terkait dan terbagi atas 7,197 DIM yang terdampak RUU tersebut.
3. Ditolak keras kelompok buruh
Dikutip dari Tribunnews.com, aksi protes terus dilayangkan oleh kelompok buruh yang keberatan dengan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh di Indonesia.
Setidaknya ada tujuh poin yang krusial dalam UU Cipta Kerja yang amat merugikan buruh seperti yang dinyatakan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal.
UMK bersyarat dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus