Dikutip dari laman MA, hakim ad hoc merupakan pengadil yang hanya bersifat sementara dan memiliki keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
Definisi di atas tertuang dalam Pasal 1 ayat 9 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebelum di PN Jakarta Pusat, Alfis sempat tercatat menjadi hakim ad hoc tipikor di PN Semarang pada tahun 2020, dikutip dari laman PN Semarang.
Dalam sidang perkara dengan terdakwa Tom Lembong, Alfis menggantikan hakim Ali Muhtarom yang terjerat kasus dugaan suap vonis lepas atau onslag dalam perkara persetujuan ekspor crude palm oil (CPO).
Dia mulai memimpin sidang bersama dengan Dennie dan Purwanto sejak 14 April 2025 lalu dengan agenda pemeriksaan saksi.
Alfis tercatat memiliki total harta sebesar Rp846 juta pada tahun 2024 berdasarkan LHKPN yang dilaporkannya tertanggal 13 Januari 2025.
Ia tercatat memiliki satu bidang tanah dan bangunan dengan total nilai Rp580 juta.
Lalu, dia mempunyai dua unit mobil sebesar Rp330 juta. Alfis turut memiliki harta bergerak lainnya senilai Rp19,2 juta serta kas dan setara kas sebesar Rp46,7 juta.
Laporkan auditor BPKP
Selain tiga hakim yang mengadilinya, Tom Lembong juga melaporkan para auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang juga memberikan keterangan dalam sidang.
Kuasa hukum Tom melaporkan para auditor yang dipimpin oleh Husnul Khotimah.
Mereka melaporkan para auditor ini karena dinilai tak profesional dalam melakukan audit terkait kasus importasi gula.
"Di penjaranya Pak Tom Lembong ini, salah satu kuncinya adalah audit BPKP yang menyatakan telah timbul kerugian keuangan negara. Tapi, isi auditnya seperti itu," kata Zaid.
Para auditor BPKP ini dilaporkan kepada pengawas internal BPKP dan Ombudsman Republik Indonesia.
Dalam pernyataannya, Zaid kembali menegaskan, "serangan balik" Tom Lembong ini bukan untuk menyerang institusi atau pribadi manapun, melainkan untuk memperbaiki sistem hukum di Indonesia.