Menyapa Nusantara 2025
Insiden ID Pers: Saatnya Memperbaiki Model Komunikasi dengan Media
Tindakan pencabutan ID pers tersebut, bisa jadi hanyalah upaya persuasif untuk menjaga fokus acara, bukan sebagai pembatasan kebebasan pers.
Penulis: Munawir Taoeda | Editor: Primaresti
Dengan menangani insiden ini secara transparan, Istana dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap komitmennya pada demokrasi.
Tingkatkan kolaborasi media
Insiden ini tidak boleh membuat wartawan ragu untuk bertanya atau publik kehilangan akses terhadap informasi yang transparan. Sebaliknya, kejadian ini dapat menjadi katalis untuk memperkuat dialog antara pemerintah dan media.
Wartawan, yang telah menghadapi berbagai tantangan seperti PHK dan tekanan eksternal, dapat melihat insiden ini sebagai undangan untuk mempererat kolaborasi dengan pemerintah. Dengan komunikasi yang lebih terbuka, media dapat terus menjalankan fungsinya sebagai penyampai informasi dan pengawas kekuasaan tanpa hambatan.
Pemerintah juga memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa mereka tidak hanya menerima kritik, tetapi juga menghargainya sebagai bagian dari proses demokrasi.
Dengan mengedepankan mediasi dan dialog, Istana dapat membuktikan bahwa tindakan seperti pencabutan ID card bukanlah kebijakan resmi, melainkan kesalahan yang dapat diperbaiki melalui komunikasi yang konstruktif.
Langkah ini juga dapat mendorong institusi lain untuk mengadopsi pendekatan serupa dalam menangani hubungan dengan media.
Dewan Pers memiliki peran penting dalam menjaga kemerdekaan pers, dan insiden ini menjadi pengingat akan perlunya mediasi yang lebih kuat dalam menyelesaikan sengketa.
Dengan memperkuat mekanisme mediasi, Dewan Pers dapat membantu mencegah eskalasi konflik antara pemerintah dan media.
Selain itu, jurnalis dan pengelola media juga perlu terus memahami hak dan kewajiban mereka berdasarkan UU Pers, sehingga sengketa dapat diselesaikan melalui mekanisme yang tepat tanpa melibatkan pendekatan represif.
Pakar komunikasi global, Prof. Barbie Zelizer dari University of Pennsylvania, dalam artikel Journal of Communication 2024, menyoroti pentingnya budaya dialog dalam hubungan pemerintah-media.
Ia menyatakan, “Pemerintah yang merespons kritik dengan keterbukaan memperkuat legitimasi mereka di mata publik.” Dengan menjadikan insiden ini sebagai titik awal untuk dialog yang lebih baik, pemerintah dapat membangun kepercayaan publik dan memperkuat posisinya sebagai pelayan masyarakat.
Media sebagai mitra demokrasi
Insiden ini mengundang refleksi tentang peran pers sebagai mitra demokrasi. Istana, sebagai pusat kekuasaan, memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa mereka tidak hanya mentoleransi kritik, tetapi juga menggunakannya untuk memperbaiki komunikasi publik.
Pers, sebagai pilar demokrasi, tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga memastikan akuntabilitas kekuasaan. Dengan menangani insiden ini secara konstruktif, pemerintah dapat menunjukkan bahwa mereka menghargai peran pers dalam menjaga demokrasi yang sehat.
Pernyataan istana bahwa insiden ini bertentangan dengan semangat sinergi dapat menjadi titik awal untuk tindakan nyata. Investigasi menyeluruh, komunikasi yang lebih terbuka, dan jaminan bahwa kejadian serupa tidak terulang akan memperkuat kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah. Dengan demikian, insiden ini bukanlah akhir, melainkan awal dari hubungan yang lebih kuat antara pemerintah dan media.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Edward R. Murrow, “A nation of sheep will beget a government of wolves.” Dengan kebebasan pers yang terjaga dan komunikasi yang terbuka, publik tidak akan menjadi “domba” yang mudah dimanipulasi, dan pemerintah tidak akan menjadi “serigala” yang tidak terkendali. Sebaliknya, kolaborasi antara pemerintah, media, dan masyarakat dapat memastikan bahwa demokrasi Indonesia tetap kokoh menghadapi tantangan zaman.
Melalui pendekatan positif dan konstruktif, insiden pencabutan ID card ini dapat menjadi pelajaran berharga untuk membangun komunikasi yang lebih baik, transparan, dan saling menghormati antara pemerintah dan media. Dengan demikian, Indonesia dapat terus memperkuat demokrasinya sebagai bangsa yang terbuka dan progresif. (*)
(ANTARA/Dr. Eko Wahyuanto/29 September 2025)