Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

Mahfud MD Tegaskan Papua Tak Bisa Minta Bantuan Hukum Internasional untuk Referendum, Ini Alasannya

Mantan Ketua MK, Mahfud MD menegaskan bahwa Tanah Papua tidak bisa meminta bantuan hukum nasional dan hukum internasional terkait referendum

Kompas.com/Kristianto Purnomo
Mahfud MD 

TRIBUNTERNATE.COM - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD ikut angkat bicara terkait gejolak yang terjadi di Tanah Papua.

Hal ini disampaikan oleh Mahfud MD sebagai anggota BPIP dalam acara ILC di TV One yang telah diunggah ke kanal YouTube Indonesia Lawyers Club pada 3 September 2019.

Menurut Mahfud terjadinya kontek gejolak Tanah Papua ini akibat dari munculnya sebuah suara yang meminta adanya referendum.

Usul Konsep Bangun Tanah Papua, Philip Wamahma: Buka Ruang Bebas Demokrasi Terbuka di Papua

Dipantau dari acara tersebut, Mahfud menegaskan bahwa Tanah Papua tidak bisa meminta bantuan dari dunia internasional untuk mengadakan referendum.

Hal itu terjadi lantaran, dalam hukum nasional dan hukum internasional, Papua dilihat sebagai bagian yang sah dari negara yang berdaulat yakni Indonesia.

Sehingga keinginan Papua untuk merdeka dinilai sulit.

"Masalah hukum dulu jadi gini dalam kontek Papua ini kan muncul suara ada minta referendum.

Saya katakan baik menurut hukum nasional maupun menurut hukum internasional, referendum itu tidak mungkin sama sekali bagi Papua.

Oleh sebab itu, tema itu tidak akan pernah bisa diwujudkan, karena apa di dalam tata hukum kita, di dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lain tidak ada mekanisme pengambilan referendum," ujar Mahfud.

Benny Wenda Dituding Dalangi Kerusuhan Papua: Pernah Ditangkap hingga Berhubungan Dekat dengan OPM

Sebagai anggota BPIP, ia juga menjelaskan tentang hukum Kovenan Internasional ICCPR yang mendukung pernyataannya tersebut.

Tanah Papua bukan sebuah negara dan tetap menjadi bagian yang sah dari wilayah Republik Indonesia.

Seperti yang tertuang dalam Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Mahfud juga menyebutkan bunyi pasal 1 UU No.12 Tahun 2005 yang mengesahkan deklarasi ICCPR ini.

Dalam penjelasannya Mahfud menyebutkan jika wilayah yang dikuasai secara sah Indonesia menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dan tidak boleh memisahkan diri.

Kerusuhan di Jayapura Papua, Polisi Duga Pesan Damai Belum Sampai ke Masyarakat

Bahkan di pasal 4 ICPPR, pemerintah berhak mengambil langkah apapun untuk keamanan militer.

Langkah ini diambil untuk mempertahankan wilayah suatu negara yang sudah diakui secara sah.

Tidak hanya itu, tata hukum Indonesia pun tidak mengenal istilah referendum.

Soal Penanganan Kerusuhan di Papua, Berikut 4 Arahan Presiden Jokowi

"Menurut hukum internasional yang sering dijadikan dasar untuk hak referendum itu adalah ICCPR pasal 1 itu berbunyi begini, setiap bangsa berhak menetukan nasibnya sendiri.

Namun perlu diingkat ketika Indonesia meratifikasi konsvensi ini di pasal 1 Undang-undang No.12 Tahun 2005, mengesahkan ICCPR ini dengan deklarasi, yang bunyinya "Bahwa semua wilayah yang dikuasai secara sah itu menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dan tidak boleh memisahkan diri dari RI."

Bahkan pasal 4 ICPPR mengatakan bahwa setiap pemerintah berhak mengambil langkah apapun termasuk langkah keamanan dan militer untuk mempertahankan wilayahnya yang sudah diperoleh dan bergabung secara sah," imbuh Mahfud.

Ini video lengkapnya.

Usul Konsep Bangun Tanah Papua, Philip Wamahma: Buka Ruang Bebas Demokrasi Terbuka di Papua

Saran Philip Wamahma untuk membangun Papua

Philip Wamahma turut angkat bicara terkait referendum, yang disampaikan saat hadir menjadi bintang tamu di program acara ILC, Selasa (3/9/2019). 

Philip yang menjadi seorang anggota DPD terpilih Papua Barat membeberkan konsep untuk membangun Papua ke depannya.

Hal ini disebabkan di Papua dan Papua Barat yang terdiri dari 7 wilayah adat, apabila pemerintah hanya membuat referendum secara nasional, maka hal tersebut juga akan sama saja dan tetap menyulitkan regulasi di Tanah Papua yang dikenal sebagai masyarakat adat.

Philip juga memberikan contoh semasa dirinya menjadi Wakil Gubernur, saat di mana ia mengajukan peraturan-peraturan daerah yang bersifat afirmasi.

Pengajuan peraturan tersebut kemudian disampaikan di Kementerian Dalam Negeri namun tidak dapat direspon .

Hal tersebut terjadi lantaran peraturan daerah khusus tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain.

Maka dari itu, sebagai anggota DPD terpilih Papua Barat, Philip memberikan empat saran kepada pemerintah untuk kemajuan Papua ke depan, berikut sarannya.

"Pertama, Pemerintah menata ulang tata kelola pemerintahan berdasarkan konsep masyarakat adat Papua,

Kedua, Pemerintah harus membuka ruang yang bebas ruang demokrasi yang terbuka untuk Papua menyampaikan pikirannya pendapatnya tanpa ada tekanan, tanpa ada intimidasi dan lain sebagainya, sehingga ruang itu dapat dimanfaatkan dengan baik dan benar,

Ketiga, Pemerintah mampu merangkul semua pihak, semua golongan, semua kelompok. Jika pemerintah ingin mengamandemen otsus atau merubahnya, maka pemerintah harus bertanya kepada pemerintah daerah gubernur kepada para bupati tentang problem apa yang sesungguhnya terjadi, sehingga pemerintah daerah tidak terbeban dengan persoalan di daerah tetapi ada solusi,

Keempat, afirmasi-afirmasi daerah yang sering diperjuangkan oleh gubernur, para bupati, majelis rakyat papua, DPR papua semua tidak dapat dilaksanakan, dalam sistem peraturan perundang-undangan peraturan yang rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi," papar Philip.

(TribunTernate.com/Sri Handayani)

Sumber: Tribun Ternate
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved