Naikkan Iuran BPJS saat Corona, Jokowi Dinilai Tak Peka, Lawan Putusan MA hingga Akan Digugat Lagi
Kebijakan menaikkan iuran BPJS saat pandemi Covid-19 berlangsung memperlihatkan bahwa pemerintah tidak punya kepekaan sosial.
Namun, Mahkamah Agung membatalkan kenaikan tersebut pada akhir Februari 2020.
Jumlah kenaikan iuran dalam perpres yang dibatalkan MA itu memang sedikit lebih besar dibanding perpres terbaru.
Perpres 75/2019 itu juga tak mengatur skema subsidi bagi peserta kelas III layaknya perpres saat ini.
• Jokowi Dinilai Berselancar Lawan Putusan MA, Ini Alasan Pemerintah Naikkan Iuran BPJS Kesehatan
Berikut rincian kenaikan iuran dalam perpres yang dibatalkan MA:
-Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 160.000, dari semula Rp 80.000
-Iuran peserta mandiri kelas II naik menjadi Rp 110.000, dari semula Rp 51.000
-Iuran peserta mandiri kelas III naik menjadi Rp 42.000, dari semula Rp 25.500
Dalam pertimbangannya, MA melihat ada ketidaksesuaian Perpres tersebut dengan beberapa undang-undang, termasuk UUD 1945.
"Tidak sejalan dengan jiwa semangat UUD 1945, lalu juga ditunjang oleh aspek sosiologis, keadilan, mempertimbangkan orang yang tidak mampu dan sebagainya," kata Jubir MA Andi Samsan Nganro.
Menentang putusan pengadilan
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, langkah Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan bertentangan dengan putusan MA.
Tindakan itu, kata Feri, dapat disebut sebagai pengabaian terhadap hukum atau disobedience of law.
"Tidak boleh lagi ada peraturan yang bertentangan dengan putusan MA. Sebab itu sama saja dengan menentang putusan peradilan," kata Feri.
Menurut Feri, putusan MA bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada presiden.
Hal itu tertuang dalam Undang-Undang tentang MA dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.