Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

UU Cipta Kerja Dinilai Tak Lindungi Lingkungan, Komisi IV DPR RI: Harus Ada Keadilan Ekologi

Sejumlah kalangan pun menilai UU Cipta Kerja tidak memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Massa saat aksi demo tolak UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/10/2020). Selain menolak UU Cipta Kerja, demonstrasi tersebut juga mengkritik kinerja setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNTERNATE.COM - Setelah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (2/11/2020), omnibus law Undang-undang (UU) Cipta Kerja masih menuai polemik.

Isu lingkungan menjadi salah satu fokus yang menyebabkan UU Cipta Kerja dipenuhi kontroversi.

Sejumlah kalangan pun menilai UU Cipta Kerja tidak memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Tanggapan CSIPP

Manajer Advokasi Centre for Strategic and Indonesian Public Policy (CSIPP), Ikhwan Fahrojih mempertanyakan apakah Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja produk yang berwawasan lingkungan.

Pasalnya, UU tersebut belum memenuhi aspek formal syarat pembentukan sebuah Undang Undang sebagaimana mandat UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang Undangan.

Menurutnya UU Ciptaker dasar filosofisnya kemudahan berusaha.

Sementara UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, dasar filosofisnya perlindungan terhadap lingkungan hidup.

 “Saya ingin katakan bahwa Omnibus Law Ciptaker itu merubah UU Lingkungan Hidup dengan dasar filosofis yang berbeda,” kata Ikhwan dalam kuliah tamu virtual bertajuk ‘Dampak Omnibus Law Ciptaker terhadap Lingkungan Sosial’ yang digelar Centre for Strategic and Indonesian Public Policy (CSIPP) bekerjasama dengan Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Sabtu (17/04).

Baca juga: Cara Menghitung Pesangon PHK yang Diberikan Separuh Menurut Omnibus Law UU Cipta Kerja

Baca juga: UU Cipta Kerja Dinilai Ugal-ugalan: Pasal Dihapus, Salah Ketik hingga Tanggapan Istana

Baca juga: Ada Penghapusan Pasal di UU Cipta Kerja, Buruh Sebut Belum Final: Membuat Rakyat Terombang-ambing

Tanggapan Akademisi

Kaprodi Sosiologi FISIP UMM, Rahmad K. Dwi Susilo mensinyalir UU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai UU yang mengakumulasi kapital.

Menurutnya, kebijakan yang dibuat tidak terlepas dari berbagai tarikan kepentingan, sehingga berdampak pada tata kelola lingkungan.

Rahmad mengatakan, proses pengambilan keputusan akan didominasi oleh pemerintah pusat bersama korporasi.

Hal itu berdampak pada hak sosial lingkungan masyarakat lokal terancam karena tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

“Dengan UU ini partisipasi masyarakat lokal akan dikurangi, termasuk juga hak-hak sosial lingkungan masyarakat lokal. Dengan demikian akan memicu protes,” tegasnya.

Tanggapan Greenpeace Indonesia

Senior Forest Campaigner Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin mengatakan, sejak awal UU Omnibus Law Ciptaker bermasalah.

Baik DPR dan Pemerintah tidak melibatkan partisipasi publik dalam proses penyusunan sejak awal.

Aktor utama di balik RUU tersebut adalah asosiasi bisnis yang telah membentuk tim beranggotakan 127 orang yang disebut Satgas Omnibus Law, yang sebagian besar adalah pengusaha. Sisanya akademisi dan pejabat negara.

Merujuk Naskah Akademik Omnibus Law, halaman 181, dinyatakan bahwa keterlibatan masyarakat oleh sebagian pihak dianggap menjadi faktor penghambat investasi.

Baca juga: Polemik Vaksin Nusantara, Menkes Budi Gunadi Enggan Berkomentar, Presiden Jokowi Diminta Menengahi

Baca juga: Update Isu Reshuffle Kabinet: Menantu Wapres RI dan Cak Imin Disebut, Muhammad Lutfi Digeser?

Baca juga: Dugaan Penistaan Agama, Jozeph Paul Zhang Mengaku Nabi ke-26, Ini Tanggapan MUI dan Nahdlatul Ulama 
“Partisipasi publik dalam proses penyusunan tidak dilibatkan, terlebih jika dilihat ada 74 UU yang dijadikan menjadi satu dalam sebuah UU. Itu didalamnya terdapat banyak perubahan signifikan dalam UU tersebut,” kata Asep Komarudin.

Asep juga menyoroti pendekatan investasi yang ingin dicapai didalam Omnibus Law.

Menurutnya, pemerintah masih memprimadonakan investasi industri ekstaraktif yang akan diundang di Indonesia. Seperti, tambang, perkebunan, dan lainnya.

“Kita harus merubah pendekatan terkait dengan investasi pengelolaan lingkungan hidup. Pasti tidak ada ekonomi yang maju di atas ekologi yang rusak,” ujarnya.

Tanggapan Anggota Komisi IV DPR RI

Anggota Komisi IV DPR RI, Luluk Nur Hamidah mengatakan ada prinsip-prinsip yang seharusnya ada di dalam UU Cipta Kerja agar tidak berdampak kepada lingkungan hidup dan masyarakat.

Pertama, prinsip keadilan dalam satu generasi.

Menurutnya, keadilan dalam satu generasi yang ditujukan pada mereka yang hidup hari ini, tetapi keadilan antargenerasi itu juga harus ada.

Kedua, prinsip kehati-hatian harus ada di dalam UU Cipta Kerja untuk mencegah kerusakan atau dampak apa pun.

"Sekiranya menimbulkan kerusakan pada lingkungan, masyarakat, ekologi dan ekonomi dan masa depan generasi," lanjutnya.

Legislator PKB itu menegaskan para pelaku pencemaran wajib membayar akibat dari perbuatannya.

Pihaknya juga menyebutkan prinsip kesetaraan gender juga penting dalam penanganan kerusakan lingkungan.

Ia meyakini dalam pengelolaan lingkungan dengan pendekatan yang maskulin yang akan terjadi hanya kerusakan.

Namun, menurutnya pengelolaan lingkungan harus dilakukan dengan aspek kelestarian, pengayoman dan kepentingan untuk masa depan.

"Harus ada keadilan ekologi yang berguna untuk bangsa ini," ujarnya.

Luluk khawatir, keberadaan UU Cipta Kerja bisa membuat masyarakat skeptis terhadap pemerintah.

Karena itu, pihaknya mengajak semua pihak untuk terlibat dalam pengawasan terhadap dampak lingkungan yang akan timbul akibat UU Cipta Kerja

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Sejumlah Kalangan Nilai UU Cipta Kerja Tidak Lindungi Lingkungan

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved