Mengenal Actemra dan Kevzara, 2 Obat Baru untuk Pasien Covid-19 yang Direkomendasikan WHO
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan penggunaan obat radang sendi Actemra dari Roche dan Kevzara dari Sanofi untuk pasien Covid-19.
TRIBUNTERNATE.COM - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan penggunaan obat radang sendi Actemra dari Roche dan Kevzara dari Sanofi dengan kortikosteroid untuk pasien Covid-19.
Hal tersebut diumumkan WHO pada Selasa (6/7/2021).
Rekomendasi ini didasari dari data yang menyebut bahwa kedua obat tersebut mampu "mengurangi risiko kematian dan kebutuhan akan mesin ventilasi".
"Kami telah memperbarui panduan perawatan klinis kami untuk menginformasikan perkembangan terbaru ini," ujar pejabat Darurat Kesehatan WHO, Janet Diaz, seperti dilansir dari Reuters.
Penelitian ini melibatkan 10.930 pasien yang diberikan penanganan berbeda.
Di antaranya 6.449 mendapat salah satu obat dan 4.481 mendapat perawatan standar atau plasebo.
Dalam penelitian ini, WHO berkolaborasi dengan King's College London, University of Bristol, University College London, dan Guy's and St Thomas NHS Foundation Trust.
Menurut analisis WHO, risiko kematian dalam 28 hari untuk pasien yang diberi obat radang sendi kortikosteroid seperti deksametason adalah 21 persen.
Sementara orang yang mendapat terapi standar memiliki risiko kematian sebesar 25 persen.
Selain itu, risiko penggunaan ventilator hingga kematian bagi mereka yang mendapat obat-obatan kortikosteroid sebesar 26 persen.
Sedangkan orang yang mendapat perawatan standar, risikonya sebesar 33 persen.
Baca juga: Ketua Uji Klinis Vaksin Sinovac Dokter Novilia Meninggal, Ridwan Kamil: Pahlawan Kita di Era Pandemi
Baca juga: Ada Usulan Rumah Sakit Covid-19 Khusus Pejabat, Febri Diansyah: Ide Paling Brilian dalam 100 Tahun
Dalam pengujian obat Actemra dan Kevzara tentu mengalami trial and error.
Sebab, beberapa kegagalan muncul ketika perusahaan mencoba obat-obatan tersebut pada kelompok pasien yang berbeda.
Kendati begitu, WHO menyerukan lebih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan akses ke obat-obatan tersebut.
Terutama untuk negara-negara yang berpenghasilan rendah yang tengah menghadapi lonjakan kasus Covid-19 dan diperparah dengan stok vaksin yang tidak memadai.
