Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

Tanggal Kematian Munir Ditetapkan sebagai Hari Perlindungan Pembela HAM Indonesia

17 tahun berlalu, kini tanggal kematian Munir atau 7 September, ditetapkan sebagai Hari Perlindungan Pembela HAM Indonesia.

KOMPAS.com/Arbain Rambey
Aktivis HAM, Munir Said Thalib 

TRIBUNTERNATE.COM - Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib meninggal dunia pada 7 September 2004.

Munir tewas di dalam pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974 rute Jakarta-Amsterdam, ia dibunuh menggunakan racun arsenik.

Jenazah Munir dimakamkan di Taman Makam Umum Kota Batu. Ia meninggalkan seorang istri bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva.

17 tahun berlalu setelah wafatnya sang aktivis, kini tanggal kematian Munir atau 7 September, ditetapkan sebagai Hari Perlindungan Pembela HAM Indonesia.

Penetapan ini dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM RI).

Kasus Munir dinilai jadi warisan setiap presiden karena tak kunjung selesai
Kasus Munir dinilai jadi warisan setiap presiden karena tak kunjung selesai (KOMPAS.com/Arbain Rambey)

Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik mengatakan keputusan tersebut diambil dalam rapat pleno Komnas HAM RI pada Selasa (7/9/2021).

"Paripurna Komnas HAM 7 September 2021 memutuskan dengan bulat tujuh komisionernya sepakat untuk menjadikan tanggal 7 September menjadi Hari Perlindungan Pembela HAM Indonesia," kata Taufan dalam konferensi pers pada Selasa (7/9/2021).

Taufan menjelaskan alasan memilih tanggal 7 September sebagai Hari Perlindungan Pembela HAM karena pada hari pembununan Munir merupakan peristiwa penting bagi bangsa Indonesia terutama untuk para pegiat HAM dan demokrasi di Indonesia.

Selain itu, kata dia, Munir merupakan pejuang yang sangat teguh dengan pendiriannya memperjuangkan HAM dari semua aspek baik hak berekspresi, kebebasan pendapat, kekerasan aparat, juga hak-hak buruh.

Baca juga: Fakta Kebakaran di Lapas Klas I Tangerang: 41 Orang Tewas, Overkapasitas, hingga Ada WNA Jadi Korban

Baca juga: 14 Provinsi Catatkan Positivity Rate Covid-19 di Bawah Standar WHO, Satgas: Jangan Sampai Lengah

Baca juga: Pemerintah Cabut STRP, Kini Cukup Aplikasi PeduliLindungi yang Jadi Syarat Perjalanan Dalam Negeri

Komnas HAM, kata dia, memilih tanggal tersebut tanpa mengurangi penghormatan kita kepada pejuang-pejuang lain misalnya Marsinah, Udin, Jafar Siddik Hamzah, hingga tokoh-tokoh pejuang HAM dari Aceh hingga Papua.

"Jadi seluruhnya kita hormati tapi kita memilih tanggal ini karena almarhum Munir bisa dianggap sebagai mewakili dimensi-dimensi HAM yang tadi kami sebutkan itu," kata dia.

Komisioner Komnas HAM Hairansyah menambahkan penetapan tanggal tersebut juga karena selama ini berbagai macam serangan terhadap para pembela HAM di Indonesia sedemikian masif.

"Sehingga ini menjadi catatan penting kita untuk mengingatkan 7 September setiap tahunnya bagi pemerintah, negara, juga kelompok masyarakat sipil dan rakyat Indonesia bahwa peran penting dari para pembela HAM dalam melindungi dan memperjuangkan HAM dan demokrasi itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses demokrasi dan perjuangan HAM di Indonesia," kata Hariansyah.

KASUM Ungkap Lima Alasan Kasus Munir Harus Dituntaskan

Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) mengungkapkan lima hal mengapa kasus pembunuhan terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib harus dituntaskan sampai ke akarnya.

Sekretaris Jenderal KASUM Bivitri Susanti mengatakan hal yang pertama adalah kasus tersebut merupakan penyalahgunaan kekuasaan negara terhadap rakyat karena yang digunakan adalah institusi negara. 

Hal tersebut disampaikannya dalam Orasi Kebudayaan & Diskusi Publik: Kasus Munir adalah Pelanggaran HAM Berat yang disiarkan di kanal Yotube KontraS pada Minggu (5/9/2021).

"Terungkap dalam laporan oleh TPF di situ, institusi negara terlibat," kata Bivitri yang juga pakar hukum tata negara itu.

Kedua, kata dia, kasus tersebut merupaka ancaman bagi human right defender atau warga yang memperjuangkan HAM.

Ketiga, kata Bivitri, negara tidak boleh membiarkan kasus pelanggaran HAM tanpa penyelesaian.

"Enggak ada negara hukum, percayalah, kalau pelanggaran HAM dibiarkan tanpa penyelesaian," kata Bivitri.

Keempat, kata dia, kasus pembunuhan Munir adalah praktik pelanggaran HAM yang terus berulang. 

Ia mencontohkan penyelesaian kasus penyerangan air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan serupa dengan kasus pembunuhan Munir.

Dalam perkara Novel dan Munir, kata dia, tidak ditempatkan dalam konstruksi pelanggaran HAM melainkan kejahatan biasa.  

"Saya ingat waktu itu ungkapan dari hakim misalnya ini adalah persoalan dendam pribadi dari orang yang melemparkan air keras itu kepada Novel Baswedan. Serupa dengan apa yang terjadi dalam kasus Cak Munir, ini dianggapnya pembunuhan saja," kata dia. 

Padahal, kata dia, kasus tersebut harus dilihat lebih jeli dalam konteks hukum pidana Indonesia maupun hukum pidana internasional karena ada keterkaitan yang bisa ditunjukkan dan bisa dikonstruksikan dalam konstruksi hukum formal. 

"Bahwa kalau ada keterkaitan dengan apa yang dikerjakan oleh seseorang maka itu bukan lah pembunuhan atau kekerasan biasa saja, tapi merupakan pelanggaran HAM," kata dia.

Kelima, kata dia, KASUM ingin merawat kesadaran publik melawan impunitas tidak bisa terus-menerus seperti ini.

"Jadi sama halnya dengan keinginan Cak Munir sendiri ketika memutuskan menjadi pembela HAM, KASUM juga terus memperjaungkan kasus Cak Munir untuk bangsa Indonesia ke depannya," kata Bivitri.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Komnas HAM RI Tetapkan Hari Kematian Munir Sebagai Hari Perlindungan Pembela HAM Indonesia

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved