Risma Dikritik karena Paksa Tunarungu Bicara, Putra Dewi Yull: Harusnya Pertanyaannya Diganti
Salah satu aktivis tuli Indonesia sekaligus juru bahasa isyarat, Surya Sahetapy, pun menyoroti aksi yang dilakukan oleh Mensos RI Tri Rismaharini.
TRIBUNTERNATE.COM - Menteri Sosial RI Tri Rismaharini saat ini tengah menjadi sorotan.
Sebab, ia meminta penyandang disabilitas tunarungu atau tuli untuk berbicara.
Bahkan, Tri Rismaharini dengan jelas memaksa dalam permintaannya itu.
Terkait hal tersebut, wanita yang akrab disapa Risma ini pun mendapat kritikan dari seorang tunarungu lainnya.
Salah satu aktivis tuli Indonesia sekaligus juru bahasa isyarat, Surya Sahetapy, pun menyoroti aksi yang dilakukan oleh Mensos RI Tri Rismaharini.
Lewat akun Instagram @suryasahetapy, Surya Sahetapy menyampaikan tanggapannya, Kamis (2/12/2021).
Dalam media sosial tersebut, Surya Sahetapy mengunggah petikan artikel yang memberitakan momen Risma meminta penyandang tunarungu wicara untuk berbicara di atas panggung.
Kemudian di kolom caption unggahannya, Surya Sahetapy mengutip kritikan yang dilontarkan penyandang tuli lainnya yang bernama Stefan terhadap Risma.
Dalam lanjutan caption inilah, Surya Sahetapy mulai menyampaikan pendapatnya terkait tindakan Tri Rismaharini.
Baca juga: Omicron Sudah Sampai Singapura, Polri Perketat Pintu Masuk Darat, Laut, dan Udara Menuju Bali
Baca juga: Pertanyakan Naiknya Kekayaan Nurul Ghufron, Febri Diansyah: Pimpinan KPK Jadi Contoh Keterbukaan

Mulanya, pria bernama lengkap Panji Surya Putra Sahetapy tersebut mempersilakan siapa pun yang ingin melihat video Tri Rismaharini memaksa tunarungu berbicara untuk mengecek kanal YouTube milik Kementerian Sosial RI (Kemensos RI).
Namun, ia mengingatkan bahwa risiko emosional dari menonton video tersebut ditanggung masing-masing penonton.
Kemudian, putra ketiga aktor Ray Sahetapy dan penyanyi Dewi Yull itu menyampaikan bahwa kemampuan berbicara setiap anak, terutama bagi anak-anak tunarungu, tidaklah sama.
Sebab, ada berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Mulai dari tingkat pendengaran, alat bantu dengar yang mahal, terapi wicara yang juga biayanya tidak murah dan harus dilakukan dalam waktu yang panjang, hingga waktu orangtua sendiri untuk mendampingi anak berbicara.
Ia pun menyentil sistem pendidikan luar biasa di Indonesia yang menurutnya masih belum manusiawi.
"Kalau mau nonton video full bisa cek di channel youtube Kemensos. Risiko emosional dan trauma ditanggung sendiri ya."
"Tidak semua anak bisa berbicara. Faktor bicara itu berdasarkan tingkat pendengaran mereka, investasi alat bantu dengar yang nilai puluhan-ratusan juta, terapi wicara yang berkesinambungan yang biayanya tidak murah serta waktu orangtua untuk anaknya sendiri juga terutama sedang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi pendidikan luar biasa saat ini belum humanis. Ya ampun."
Baca juga: China Klaim Natuna Utara dan Minta Indonesia Stop Pengeboran Migas, Ini Tanggapan Kemenlu
Baca juga: Kebakaran Gedung Cyber Diduga karena Korsleting Listrik, Indo Premier Pastikan Dana Nasabah Aman
Baca juga: Ahmad Basarah Sebut Tak Ada Kesepakatan di Antara Pimpinan MPR soal Permintaan Sri Mulyani Dipecat
Pemuda yang baru saja meraih gelar cumlaude dari Rochester Institute of Technology, New York, Amerika Serikat itu pun menyebut pertanyaan yang lebih baik disampaikan oleh Risma saat menghadapi penyandang disabilitas tunarungu.
Dalam pertanyaan itu tersirat pesan bahwa Risma, sebagai sosok non-disabilitas, seharusnya belajar untuk lebih memahami bahasa isyarat.
Di bagian akhir caption unggahannya, Surya Sahetapy pun mengimbau masyarakat untuk menghindari sikap linguisisme (linguicism).
Linguicism adalah cara pandang yang menganggap seseorang berbahasa lisan lebih pintar daripada orang-orang yang memakai bahasa isyarat untuk berkomunikasi.
Surya Sahetapy pun menegaskan, meski bahasa ibunya adalah bahasa isyarat dan bahasa Indonesia menjadi bahasa sekundernya, bukan berarti dirinya tidak berkompeten sebagai warga negara.
Ia pun mendesak adanya perombakan terhadap sistem pendidikan dan sosial di Indonesia yang masih mendiskriminasi kaum difabel.
"Seharusnya digantikan pertanyaan:
Nak, mau sampaikan pakai apa? Boleh tulis boleh bahasa isyarat boleh berbicara dll. Biar ibu yang belajar memahamimu."
"(Tanyakan komunikasi mereka bukan kita menentukan komunikasi mereka demi kepuasan kita tanpa memahami kenyamanan mereka)"
"Hindari sikap linguicism ya kawan-kawan! Linguicism merupakan pandangan menganggap orang pakai bahasa Indonesia secara lisan lebih pintar daripada orang menggunakan bahasa isyarat."
"Bahasa isyarat merupakan bahasa ibuku, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bukan berarti saya tidak berkompeten sebagai warga negara Indonesia."
"Mari ROMBAK sistem sosial dan pendidikan yang kejam di Indonesia! Sebelum 2045, ya Tuhan!"
Baca juga: Tanggapi Desakan MPR RI agar Sri Mulyani Dicopot, Ketum PKB: Biasanya Malah Dipertahankan Pak Jokowi
Tri Rismaharini Dikritik Difabel Setelah Paksa Tunarungu Berbicara
Dalam rangkaian acara peringatan Hari Disabilitas pada Rabu (1/12/2021) lalu, Tri Rismaharini terlihat mengajak penyandang disabilitas tunarungu berbicara di atas panggung.
Di stand pameran lukisan penyandang tunarungu, ada dua anak tunarungu yang diajak Risma ke atas panggung, yakni Anfil dan Aldi.
Pada saat itulah, Risma meminta mereka untuk berbicara.
Anfil yang merupakan penyandang disabilitas mental dan rungu diminta menyampaikan hal yang ingin disampaikan pada Risma secara langsung.
Ia pun kemudian berbicara.
Sementara itu, Aldi yang juga penyandang disabilitas autisme dan ada gangguan dalam berkomunikasi diminta berbicara, tetapi tidak kunjung berbicara.
"Kamu sekarang Ibu minta bicara enggak pakai alat. Kamu bicara Aldi," kata Risma dikutip Kompas.com, Kamis (2/12/2021).
"Bisa kamu bicara," kata dia menegaskan.
Tindakan Risma ini pun mendapat kritik dari salah satu penyandang disabilitas tunarungu bernama Stefan.
Stefan mengatakan, bahasa isyarat sangat penting bagi penyandang tunarungu.
Menurutnya, meski anak tunarungu menggunakan alat bantu dengar, mereka tidak seharusnya dipaksa untuk berbicara.
"Ibu, saya harap sudah mengetahui tentang CRPD bahwasanya anak tuli itu memang menggunakan alat bantu dengar, tetapi tidak untuk dipaksa berbicara," kata Stefan.
Tri Rismaharini pun menanggapi kritikan Stefan.
Risma menjelaskan bahwa ia tidak melarang para penyandang tunarungu untuk menggunakan bahasa isyarat.
Namun, ia hanya ingin para penyandang disabilitas selalu memaksimalkan penggunaan anggota tubuh yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.
"Jadi karena itu kenapa Ibu paksa kalian untuk bicara. Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita. Mulut, mata, telinga," kata dia.
Kata Pemerhati Disabilitas: Seharusnya Penggunaan Bahasa Isyarat Didukung
Pemerhati penyandang disabilitas Slamet Thohari menilai seharusnya Mensos Risma tidak meminta penyandang tunarungu untuk berbicara.
Slamet menjelaskan, bahasa isyarat adalah hak bagi penyandang disabilitas khususnya tunarungu dan sudah di atur dalam Undang-undang.
Menurut dia, Risma mestinya justru mendukung penggunaan bahasa isyarat bagi penyandang tunarungu.
"Seharusnya Ibu menteri menyosialisasikan bahasa isyarat, bukannya memaksa tuli melakukan bicara," kata Slamet kepada Kompas.com, Kamis.
Risma Angkat Bicara: Minimal Bisa Minta Tolong
Setelah ramai pemberitaan mengenai paksaan berbicara terhadap tunarungu, Tri Rismaharini akhirnya angkat bicara.
Kontras dengan pernyataan sebelumnya, Risma mengaku dirinya tak bermaksud memaksa penyandang disabilitas tunarungu untuk berbicara.
Mantan Wali Kota Surabaya ini menjelaskan, ia hanya meminta penyandang disabilitas tunarungu untuk mencoba berbicara.
"Saya enggak maksa. Untuk apa saya maksa. Itu pilihan. Tapi saya ingin kalau kondisi tertentu dia bisa menyelamatkan dirinya dengan seluruhnya," kata Risma di Kantor Kementerian Sosial (Kemensos), Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Kamis.
Risma hanya ingin para penyandang disabilitas tunarungu bisa berbicara setidaknya minta tolong jika berada dalam situasi berbahaya.
Sebab, saat masih menjadi Wali Kota Surabaya, ia pernah mendengar ada penyandang disbilitas tunarungu yang pernah diperkosa dan hampir tenggelam, tetapi tidak bisa bersuara meminta tolong.
"Kalau enggak dua kali tiga kali. Itu ada anak tunarungu diperkosa. Itu yang saya sedih, kenapa saya kemarin mengajarkan (berbicara). Minimal dia bisa bilang tolong," ucapnya.
Selain itu, Risma juga melihat perkembangan Staf Khusus Presiden RI, Angkie Yudistia, dalam kelancaran berbicara.
Menurutnya, sekitar 4 atau 5 tahun lalu saat masih menjadi Wali Kota Surabaya, bicara Angkie masih belum begitu lancar.
Namun, sekarang saat Risma telah menjadi Mensos dan bertemu Angkie kembali, menurutnya Angkie sudah lebih fasih berbicara karena sering melatih diri.
"Saya ketemu lagi setelah sekian tahun dan saya bisa jadi menteri. Saya pikir mbak Angkie kok bagus ngomongnya. Ternyata dia melatih diri terus," ucap dia.
(TribunTernate.com/Rizki A.) (Kompas.com/Rahel Narda Chaterine)