BPJS Kesehatan Jadi Syarat Layanan Publik Dinilai sebagai Jalan untuk Tutup Defisit, Bukan Perbaikan
Mulai hari ini, 1 Maret 2022, lampiran kartu peserta BPJS Kesehatan menjadi syarat dalam mengurus sejumlah layanan publik.
TRIBUNTERNATE.COM - Pemerintah telah mengeluarkan peraturan baru di mana BPJS Kesehatan kini menjadi syarat sejumlah layanan publik.
Hal tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Nomor 1 Tahun 2022 yang diteken Presiden Joko Widodo.
Itu artinya, masyarakat yang akan menggunakan sejumlah layanan publik tertentu harus terdaftar sebagai peserta aktif BPJS Kesehatan.
Sebab jika tidak, maka masyarakat akan kesulitan atau bahkan tidak bisa mengakses layanan publik yang dibutuhkan.
Adapun layanan publik yang mensyaratkan BPJS Kesehatan itu beragam, mulai dari pembuatan SIM dan SKCK, pengurusan STNK, izin usaha, jual beli tanah, naik haji, umrah, hingga keimigrasian.
Persyaratan BPJS Kesehatan untuk akses layanan publik tersebut berlaku mulai Selasa, 1 Maret 2022 hari ini.
Hal ini pun mendapat sorotan dari Pengamat hukum sekaligus pengacara Muhammad Sholeh.
Sholeh menilai, kebijakan ini jalan pemerintah untuk menutupi defisit BPJS bukan memperbaiki layanan.
"Ini jalan kompas pemerintah untuk menutupi defisit BPJS, bukan memperbaiki layanan BPJS," kata Sholeh, saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (1/3/2022).
Baca juga: Beda Sikap atas Konflik Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina, FIFA dan UEFA Dianggap Standar Ganda
Baca juga: Terakhir 31 Maret 2022, Begini Cara Lapor SPT Tahunan secara Online Melalui www.pajak.go.id
Baca juga: 8 Layanan Publik Wajib Menyertakan Kepesertaan BPJS Kesehatan, Urus Paspor hingga Jual-Beli Tanah
Adapun syarat BPJS Kesehatan yang dilampirkan dalam sejumlah layanan publik tersebut harus merupakan peserta aktif.
Maka perseorangan yang status BPJS-nya nonaktif harus membayar iuran yang menunggak.
Namun, ada batas maksimal masa tunggakan iuran yang harus dibayarkan oleh peserta BPJS Kesehatan tersebut.
"Tunggakan dihitung maksimal 24 bulan, jika 5 tahun, cukup dibayarkan yang 24 bulan atau 2 tahun," kata Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf, Kamis (24/2/2022), dikutip dari Kompas.com.
Lebih lanjut, Muhammad Sholeh yang akrab disapa Cak Sholeh ini menganggap syarat lampiran kartu peserta BPJS Kesehatan sangat memberatkan masyarakat.
Apalagi di tengah situasi pandemi seperti ini.
Ia juga menilai aturan ini tidak berkorelasi dengan sejumlah layanan publik yang disebutkan dalam Inpres itu.
"Dalam situasi covid seperti ini sekarang aturan Inpres ini menurut saya sangat memberatkan masyarakat,"
"Dan tidak ada korelasi antara jual beli tanah, SIM, Umrah dengan BPJS, menjadi aneh kebijakan yang mewajibkannya,"ujarnya.
Tak hanya itu, Sholeh mengatkan pemerintah seharusnya tidak mewajibkan kepada masyarakat untuk ikut BPJS.
Menurutnya jika kualitas layanan BPJS baik, tanpa diwajibkan masyarakat akan ikut dengan sendirinya.
"BPJS itu asuransi, dan seharusnya tidak boleh mewajibkan kepada masyarakat untuk ikut wajib BPJS," kata Sholeh.
"Apalagi sampai sekarang kualitas BPJS masih kurang baik, banyak kelas menengah yang ikut asuransi swasta, anehnya meski ikut asuransi swasta tetap wajib ikut BPJS, itu namanya double asuransi, " lanjutnya.
"Kalau memang BPJS kualitasnya bagus, tanpa diwajibkan warga akan ikut dengan sendirinya," tandasnya.
Baca juga: Dirut BPJS Beri Penjelasan Soal Kepesertaan BPJS Jadi Syarat Jual-Beli Tanah
Jika dilihat dari sisi birokrasi, Sholeh juga mengatakan kebijakaan yang dibuat tidak konsisten dengan janji pemerintah terkait reformasi birokrasi.
"Tidak konsisten dengan janji pemerintah yang mempermudah birokrasi," kata Sholeh.
Sholeh menyesalkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang justru mendukung pemerintah terkait kebijakan ini.
"DPR sebagai wakil rakyat justru mendukung pemerintah anehnya rakyat disuruh ikut BPJS, sementara DPR pakai asuransi bukan BPJS, ini patut kita sesalkan," kata Sholeh.
"Dan kesannya kita tidak pernah lihat ada pejabat antri BPJS di rumah sakit, karena kebijakan ini hanya untuk rakyat, bukan pejabat,"pungkasnya.

Dinilai memuat celah dalam kebijakan ini, Sholeh akan melakukan gugatan uji materi terkait Inpres 1/2022.
Gugatan akan dilayangkan ke Mahkamah Agung (MA) minggu depan.
"Minggu depan kami akan gugat ke MA terkait Inpres Nomor 1 Tahun 2022," ungkap Sholeh.
Menurutnya kebijakan ini bertentangan dengan Pasal 26 Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
"Dimana Inpres ini mewajibkan beberapa persyaratan seperti jual beli tanah, SIM, STNK, Umrah dan lain-lain wajib menunjukkan BPJS Kesehatan. Aturan ini bertentangan dengan pasal 26 UU No 25/2009 tentang pelayanan publik," jelasnya.
Baca juga: Cara Cek Status BPJS Kesehatan untuk Akses Layanan Publik
(Tribunnews.com/Milani Resti) (Kompas.com/Mutia Fauzia)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul BPJS Kesehatan Jadi Syarat Layanan Publik, Pengamat Hukum: Ini Jalan Tutupi Defisit Bukan Perbaikan