Aturan PSE Kominfo dan Blokir Platform Digital, SAFEnet: Pasal Karet, Kebebasan Ekspresi Terancam
Dari daftar PSE Asing tersebut, aplikasi seperti WhatsApp, Google, Instagram, Twitter, Telegram, Netflix, dan Facebook belum terdaftar.
TRIBUNTERNATE.COM - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) mengeluarkan aturan pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat untuk sejumlah platform digital baik domestik maupun asing di Indonesia.
Aturan tersebut berlaku bagi platform digital seperti WhatsApp, Instagram, Twitter, YouTube, Telegram, Facebook hingga Google.
Apabila tidak mendaftar, terdapat ancaman sanksi administrasi hingga pemblokiran.
Aturan tersebut, tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020.
Diketahui, tercatat pada Minggu (17/7/2022), data dari laman PSE Kominfo menunjukkan, jumlah PSE Asing dan Domestik yang telah mendaftar adalah 5.692 PSE.
Rinciannya, ada 82 PSE Asing dan 5.610 PSE Domestik.
Dari daftar PSE Asing tersebut, aplikasi seperti WhatsApp, Google, Instagram, Twitter, Telegram, Netflix, dan Facebook belum terdaftar.
Sehingga, platform digital tersebut wajib mendaftarkan diri ke Kominfo RI, paling lambat 20 Juli 2022.
Jika tidak melakukan pendaftaran Kominfo akan memberikan sanksi administratif berupa pemblokiran.
Kebijakan pendaftaran PSE lingkup privat dan ancaman pemblokiran ini pun mendapat sorotan dari jaringan pembela hak asasi digital, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).
Kadiv Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menanggapi rencana Kominfo RI memblokir platform digital per 21 Juli 2022.
Nenden menilai kebijakan yang terdapat dalam pasal di Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 justru akan menghalangi kebebasan berekspresi warga.
Sebab, jika platform digital harus memastikan tidak ada konten-konten yang dilarang sesuai aturan dalam Kominfo.
"Di peraturan Menteri kominfo ada Pasal 9, yakni platform digital wajib memastikan tidak ada konten-konten yang dilarang."
"Konten yang dilarang, yakni melanggar Undang-Undang dan konten yang meresahkan masyarakat serta mengganggu ketertiban umum," kata Nenden dalam acara PANGGUNG DEMOKRASI: PSE dan Ancaman Blokir Kominfo yang tayang di kanal YouTube Tribunnews, Rabu (20/7/2022).
Baca juga: Viral Anggota TNI Ribut-ribut dengan Sopir Angkot di Sukabumi, Bermula dari Serempetan di Jalan
Baca juga: Warning! BPBD Ungkap Tujuh Wilayah Rawan Bencana di Halmahera Utara, Salah Satunya Galela
Baca juga: Angkat Bicara soal Viral Tagar #StopBayarPajak, Sri Mulyani: Nggak Ingin Tinggal di Indonesia?
"Dan kita tidak mengetahui definisi yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban itu seperti apa," imbuhnya.
Untuk itulah, Nenden menyebut, ada pasal-pasal karet dalam aturan PSE Kominfo tersebut.
"Ini kan bisa disebut pasal karet, kita bisa mengetahui sendiri dengan pengalaman sebelumnya pasal karet biasanya rawan disalahgunakan," jelas Nenden.
Adapun sebagai informasi, Pasal 9 ayat 3 dan 4 dalam Permenkominfo 5/2020, terdapat kewajiban agar PSE Lingkup Privat tidak memuat konten informasi yang “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum”.
Kemudian, terdapat pula pada Pasal 9 ayat 6 dalam Permenkominfo 5/2020, bila PSE Lingkup Privat tidak menaati kewajiban dalam hal penyebaran konten tersebut, akan berdampak juga pada pemblokiran akses.

Baca juga: WhatsApp, Instagram hingga Google Terancam Diblokir Kominfo pada 20 Juli 2022, Apa Penyebabnya?
Baca juga: Zulkifli Hasan Kampanyekan Putrinya: Bawaslu Tak Boleh Asal Tolak Laporan, PAN Sebut Salah Sasaran
Nenden mengatakan, adanya pasal karet itu akan menjadi hal yang berbahaya terkait kebebasan berekspresi.
"Karena tidak tahu batasan meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, bisa saja konten yang kita buat yang sebetulnya bentuk ekspresi akan dilaporkan dan diminta dihapus dari platform tersebut."
"Inilah yang menjadi berbahaya pada kebebasan berekspresi, karena untuk menaati peraturan tersebut, PSE itu harus menghapus konten tersebut," ungkap Nenden.
Nenden pun menegaskan, bahwa kebijakan dan ancaman blokir terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat yang tidak melakukan pendaftaran berada di bawah peraturan Kominfo.
Dikatakan, ancaman pemutusan akses pemblokiran terhadap PSE sebetulnya tidak hanya karena tidak pendaftaran.
Bahkan, setelah mendaftar masih ada ancaman pemblokiran.
"Masalah utamanya, bukan urusan mendaftarkan atau tidak mendaftarkan PSE ke Kominfo. Karena seolah-olah banyak yang menganggap (akhirnya daftar), kemudian kita mendaftar."
"Padahal itu langkah awal, ketika platform yang mendaftar harus menigkuti aturan Kominfo," ucapnya.
Rabu Hari Ini Hari Terakhir Pendaftaran PSE Privat
Diketahui, Kominfo menyatakan, hari terakhir atau tanggal efektif pendaftaran untuk PSE Privat pada 20 Juli 2022.
Jika masih tetap belum daftar, maka keesokan harinya pada 21 Juli dan seterusnya, Kominfo akan menerapkan sanksi pertama kepada platform digital yang belum mendaftar.
Saksi pertama itu, yakni berupa teguran secara tertulis.
Berdasarkan pantauan Tribunnews.com pada laman pse.kominfo.go.id hingga pukul 15.50, Rabu (20/7/2022), platform Twitter sudah tercatat dalam daftar PSE Asing, sedangkan YouTube belum.

Dirjen Kominfo: Pendaftaran PSE Bersifat Pendataan Bukan Pengendalian
Diberitakan Tribunnews.com, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menegaskan, pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat ini bukan upaya pengendalian terhadap layanan digital.
Direktur Jenderal Aptika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, mengatakan PSE ini merupakan upaya pemerintah melakukan pendataan.
“Ini bukan pengendalian melainkan pendataan siapa saja yang beroperasi secara digital di Indonesia dan ini dilakukan di semua negara saya rasa dengan metode berbeda,” ucap Samuel, Rabu (20/7/2022).
Ia juga menjelaskan, pengendalian layanan digital itu berbeda dan tidak ada kaitannya dengan PSE ini karena ini sifatnya tata kelola.
“Dengan PSE ini kita bisa memastikan bahwa mereka yang beroperasi secara digital dan menargetkan Indonesia sebagai market memiliki mekanisme konten yang sesuai seperti pedoman dalam bahasa Indonesia,” ucap Samuel.
Samuel menambahkan, bila pelaku usaha digital yang tidak mendaftar PSE tentu merugikan mereka karena tidak melihat potensial market di Indonesia.
“Dengan tidak mendaftar itu membuka peluang bagi anak bangsa mengembangkan layanan digital yang mereka berikan selama ini,” ucap Samuel.
Dikatakan, PSE ini merupakan tata kelola agar kita mengetahui siapa saja pelaku usaha yang beroperasi secara digital di Indonesia dan apakah menyediakan layanan dalam bahasa Indonesia.
(Tribunnews.com/Suci Bangun DS/Yanuar R Yovanda/Hari Darmawan)
Simak berita lainnya terkait Platform Digital Asing di Indonesia
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul SAFEnet: Aturan PSE Kominfo Bisa Ancam Kebebasan Berekspresi