Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

Lipsus Abolisi dan Amnesti

Advokat Malut Sebut Abolisi-Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto Terkesan 'Politis'

Abolisi Thom Lembong, terdakwa kasus impor gula, dan amnesty untuk Hasto Kristiyanto, terpidana kasus yang menyeret nama Harun Masiku

|
Penulis: Sansul Sardi | Editor: Sitti Muthmainnah
Dok : Hendra Kasim
HUKUM - Hendra Kasim, Advokat dan Konsultan Hukum di Maluku Utara, menanggapi adanya keputusan presiden pada (30/7/2025) yang mengajukan permintaan resmi kepada DPR RI untuk memberikan abolisi kepada Thom Lembong, terdakwa dalam kasus impor gula, Jumat (1/8/2025). 

TRIBUNTERNATE.COM,SOFIFI— Advokat sekaligus konsultan hukum di Maluku Utara Hendra Kasim angkat bicara terkait pemberian abolisi terhadap Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto oleh Presiden Prabowo Subianto. 

Sehari berselang, DPR RI menyetujui permintaan tersebut. Dengan persetujuan itu, dua tokoh yang tengah menjadi sorotan publik mendapatkan pengampunan konstitusional.

Menurut Hendra Kasim, keputusan ini merupakan peristiwa konstitusional yang tidak hanya menarik dari sisi hukum, tetapi menunjukkan kompleksitas relasi antara kekuasaan politik dan sistem peradilan.

Baca juga: Polres Taliabu Sita Puluhan Liter Miras di KM Ratu Maria

“Presiden memang memiliki kewenangan konstitusional memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi. Namun setiap jenis pengampunan memiliki karakter hukum dan politik yang berbeda,” ujar Hendra saat dihubungi Tribunternate.com via telepon, Jumat (31/8/2025).

Dalam UUD 1945 Pasal 14 disebutkan, lanjut Hendra Kasim, Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan mempertimbangkan Mahkamah Agung (MA), sedangkan amnesti dan abolisi memerlukan pertimbangan DPR.

Grasi adalah pengampunan pidana kepada terpidana berdasarkan pertimbangan kemanusiaan, diberikan setelah ada putusan inkracht. Kemudian, rehabilitasi adalah pemulihan hak-hak warga yang menjadi korban proses hukum yang keliru.

Hendra menjelaskan, amnesti menghapus segala akibat hukum dari tindak pidana tertentu, seringkali bersifat kolektif atau politis. Sementara abolisi menghentikan proses penuntutan atau membatalkan putusan yang tengah berjalan.

Hendra menyoroti, grasi dan rehabilitasi memiliki saringan hukum via MA, sementara amnesty dan abolisi hanya melalui saringan politik yakni DPR, yang menurutnya justru membuka potensi intervensi kekuasaan atas hukum.

“Saringan hukum diperlukan agar keputusan politik tidak keluar dari rel keadilan. Objektifikasi terhadap keputusan subjektif presiden harus diperkuat,” ujarnya.

Kritik Sistem dan Usulan Perubahan Konstitusi

Ia mengusulkan, mekanisme pengampunan seperti amnesti dan abolisi juga diawasi oleh lembaga hukum, bukan semata menjadi keputusan politik yang disaring oleh DPR.

“Sudah saatnya UUD 1945 diamandemen untuk menciptakan mekanisme check and balance yang lebih adil dan imparsial,” tegasnya.

Bagi Hendra, pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto adalah contoh presiden menggunakan hak prerogatif dengan sense of crisis, sebagai respons terhadap kritik publik terhadap proses hukum yang terkesan politis.

Baca juga: Aliansi Taliabu Bersatu Gelar Aksi Bakar Lilin Malam Ini, Tuntut Perhatian Pemprov Maluku Utara

“Presiden harus menjadi penjaga marwah hukum, bukan mengatur hasil hukumnya,” ujarnya.

Hendra mengutip filsuf Inggris William Blackstone, yang menyatakan bahwa lebih baik sepuluh orang bersalah bebas daripada satu orang tak bersalah dihukum.

Prinsip ini, menurut Hendra, seharusnya menjadi roh dari setiap tindakan pengampunan negara. (*)

Sumber: Tribun Ternate
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved