TRIBUNTERNATE.COM - Baru-baru ini beredar kabar pemerintah akan mengenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kebutuhan pokok atau sembako.
Hal ini langsung menuai kecaman dari berbagai pihak, terutama pedagang pasar dan masyarakat luas.
Direktur Eksekutif Indef Taufik Ahmad, menilai rencana kebijakan mengenakan pajak untuk sembako tidak tepat.
Menurutnya, hal ini karena di masa pandemi ini pendapatan masyarakat turun.
“Tetapi kalau kita lihat situasi ini kan situasi pandem, ini luar biasa dampaknya. Kita kemarin juga mengukur bahwa pendapatan masyarakat rata-rata turun,” ujar Taufik dikutip dari pernyataannya yang dalam acara Indonesia Bicara yang disiarkan di kanal Youtube Official Inews, Sabtu (12/6/2021).
Menurut Taufik, karena pendapatan masyarakat turun, akibatnya, daya beli masyarakat pun ikut turun.
Lebih lanjut, Taufik mengatakan, memberikan tambahan beban pada masyarakat seperti PPN di saat ekonomi sedang turun, bukanlah sebuah kebijakan yang pas.
Baca juga: Stafsus Menkeu Tegaskan Tak Ada Kebijakan Pajak Sembako hingga 12 Persen: Sama Sekali Tidak Ada
Baca juga: Kecam Wacana Pajak Sembako, KSPI Sebut Pemerintah Tak Ada Bedanya dengan Penjajah
“Di saat ekonomi kita lagi turun, kemudian ada kenaikan beban, katakanlah PPN, dan itu untuk sembako, bukan hanya beras atau jagung, sampai sagu, kedelai, garam, umbi2an, buah-buahan, itu akan kena,” lanjutnya.
Taufik juga mengatakan bahwa sembako merupakan kebutuhan pokok masyarakat, sehingga menurutnya juga tidak tepat untuk dikenakan PPN.
Video selengkapnya:
KSPI Kecam Wacana Sembako
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengecam keras rencana kebijakan PPN sembako.
Menurut Presiden KSPI, Said Iqbal, rencana kebijakan pemerintah terkait pajak tersebut tak ada bedanya dengan penjajahan terhadap bangsanya sendiri.
“Kami mengecam keras rencana untuk memberlakukan tax amnesty dan menaikkan PPN sembako. Ini adalah cara-cara kolonialisme. Sifat penjajah,” kata Presiden KSPI Said Iqbal, dikutip dari Tribunnews.com, Jumat (11/6/2021).
Menurutnya, sangat tidak adil jika orang kaya diberi relaksasi pajak. Termasuk produsen mobil untuk beberapa jenis tertentu diberi pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) hingga 0 persen.
Namun, kata Said, rakyat kecil justru semakin kesulitan bahkan hanya untuk makan saja sembako dikenakan kenaikan pajak.
“Sekali lagi, ini sifat kolonialisme. Penjajah!” tegas Said Iqbal.
Jika rencana menaikkan PPN sembako ini tetap dilanjutkan, kata Said, kaum buruh akan menjadi garda terdepan dalam melakukan perlawanan. Baik secara aksi di jalanan maupun mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dengan adanya kenaikan PPN, maka harga barang akan naik. Hal ini akan merugikan masyarakat, terutama buruh, karena harga barang menjadi mahal.
“Sudahlah kaum buruh terjadi PHK di mana-mana, kenaikan upahnya dikurangi dengan omnibus law, nilai pesangon yang lebih kecil dari peraturan sebelumnya, dan pembayaran THR yang masih banyak dicicil, sekarang dibebani lagi dengan harga barang yang melambung tinggi akibat kenaikan PPN,” kata Said Iqbal.
Selain menolak kenaikan PPN, KSPI juga menolak diberlakukannya tax amenesty jilid II.
Sebagaimana diketahui, tax amnesty jilid I yang diterbitkan tahun 2016 ditolak oleh buruh dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan tersebut ditolak MK, dengan salah satu pertimbangan tax amnesty bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dari harta kekayaan orang kaya yang tersimpan di luar negeri.
“Tetapi, faktanya sampai hari ini, apa yang disampaikan bertolakbelakang. Tax amnesty jilid 1 tidak sesuai dengan harapan.”
“Buktinya ABPN tetap defisit, pajak tidak sesuai target yang diharapkan, dan sekarang pertumbuhan ekonomi negatif,” ungkapnya.
Baca juga: 21 Model dari 6 Merek Mobil Dapatkan Insentif Pajak 0 Persen: Toyota Sienta hingga Wuling Confero
Baca juga: Presiden Jokowi Pastikan Pemerintah Menanggung Pajak Insan Pers hingga Juni 2021
Said Iqbal juga mengingatkan kembali, setidaknya ada 5 alasan kaum buruh saat menolak tax amnesty jilid II.
Pertama, tax amnesty mencederai rasa keadilan kaum buruh sebagai pembayar Pajak Penghasilan (PPh) 21 yang taat.
Buruh terlambat membayar pajak, dikenakan denda, namun pengusaha 'maling' pajak justru diampuni.
Kedua, tax amnesty telah menggadaikan hukum dengan uang demi mengejar pertumbuhan ekonomi.
Ini sama saja dengan menghukum mereka yang aktif membayar pajak dengan memberikan keringanan melalui pengampunan para maling pajak.
Ketiga, dana dari uang tebusan hasil pengampunan pajak Rp165 triliun dimasukkan dalam APBN Perubahan 2016 adalah dana ilegal atau haram karena sumber dana tersebut jelas-jelas melanggar UUD 1945.
Keempat, dalam UU Pengampunan Pajak dikatakan bagi pegawai pajak atau siapapun yang membuka data para pengemplang pajak dari dana di luar negeri atau repatriasi maupun deklarasi, akan dihukum penjara 5 tahun.
Jelas hal ini bertentangan dengan UUD 1945, karena mana mungkin orang yang mengungkap kebenaran justru dibui.
Kelima, dalam UU Pengampunan Pajak disebutkan tidak peduli asal usul dana repatriasi dan deklarasi. Ada kesan yang penting ada dana masuk tanpa mempedulikan dari mana sumbernya.
Hal ini berbahaya karena bisa terjadi pencucian uang dari dana korupsi, perdagangan manusia hingga hasil kejahatan narkoba.
Dengan demikian, hal itu juga melanggar UUD 1945 yang berarti negara melindungi kejahatan luar biasa terhadap manusia.
"Tax amnesty jilid 2 pun akan bernasib sama dengan pengampunan pajak yang pernah diberlakukan sebelumnya," kata Said Iqbal.
“KSPI menolak keras rencana kenaikan PPN dan tax amnesty jilid 2. Jika itu dipaksakan, KSPI akan kembali menggugat ke Mahkamah Konstitusi dan melakukan aksi penolakan bersamaan penolakan omnibus law,” pungkasnya.
(TribunTernate.com/Qonitah)