TRIBUNTERNATE.COM - Usulan tentang pembubaran Detasemen Khusus 88 Antiteror atau Densus 88 Antiteror Polri tengah menjadi perbincangan publik.
Diketahui, usulan tersebut dilontarkan oleh anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon, lewat akun Twitter-nya @fadlizon pada Rabu (6/10/2021) lalu.
Dalam cuitannya, Fadli Zon menyebut sebaiknya Densus 88 Antiteror Polri dibubarkan oleh negara.
Usulan yang mengundang pro dan kontra ini pun mendapat tanggapan dari mantan narapidana kasus terorisme (napiter) Haris Amir Falah.
Haris menilai keberadaan Densus 88 masih diperlukan dan dinilai sangat penting dalam hal pencegahan terorisme.
“Saya melihat keberadaan Densus 88 perlu dipertahankan ada. Pernyataan politikus itu jangan disamakan dengan pernyataan anak jalanan. Densus dengan payung hukum. Kritik itu harus bijak dan jangan membuat angin segar bagi terorisme,” kata Haris dalam Diskusi Trijaya Hot Topic Petang dalam "Pro Kontra Pembubaran Densus 88" yang disiarkan pada Selasa (12/10/2021).
Baca juga: Pegawai KPK yang Dipecat Alih Profesi, Febri Diansyah: Jabatan Tak Sepenting Mempertahankan Prinsip
Baca juga: Menkes Sebut Indonesia Sudah Miliki Kekebalan Covid-19, Kemenkes Siapkan Survei Antibodi
Baca juga: Keppres Amnesti Saiful Mahdi Diteken, Jokowi Diminta Pertimbangkan Amnesti Massal bagi Korban UU ITE
Baca juga: Fadli Zon Usul Densus 88 Dibubarkan, Polri: Kita Tidak Mendengarkan Hal-hal Tersebut
Haris menilai keberadaan Densus 88 efektif dalam menangkal terorisme.
Terbukti, menurut dia, 80 napiter tobat dan kembali ke jalan yang benar.
Mereka kembali ke pangkuan Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) dan mereka ingin mengamalkan Islam Rohmatan lil A’lamin.
“Itu ada peran ulama, dan peran Densus 88 luar biasa. Densus 88 itu tidak hanya pemberantasan, dan ada juga direktorat pencegahan dan social. Kadang saya melihat bahwa Densus jauh lebih humanis dari orang-orang di luarnya. Mereka mengejar teroris karena kesalahannya, namun setelah ditangkap perlakuannya humanis,” imbuh Haris.
Tindakan humanis Densus 88, ucapnya, tidak tercover media. Mereka (Densus 88) mendekatkan tersangka terorisme dengan pendekatan kemanusiaan.
“Bagaimana kita bisa bicara satu meja dan menghilangkan pengalaman pahit kita dan membangun Indonesia yang damai,” tuturnya.
Haris menceritakan saat dirinya ditangkap Densus 88 pada tanggal 5 Mei 2010 pukul 17 lewat menjelang Magrib.
Saat DPO dirinya ditangkap di Bekasi dan sadar ketika proses pengadilan.
“Saya ditangkap terhadap kasus tindakan teroris tahun 2010 tanggal 5 Mei. Itu sejarah yang tidak bisa dilupakan. Jam 5 sore menjelang Magrib. Saya DPO dulu awalnya dan berakhir penangkapan di Bekasi. Dan saya sadar ketika diproses pengadilan," katanya.
Ketika itu, lanjut dia, dirinya ditangkap telah ada ada puluhan yang ditangkap pada pelatihan di Aceh.
"Barang bukti luar biasa sudah ditangan aparat. Jadi tertangkap tetap saja sebagai terduga,” ungkapnya.
Tanggapan Ketua Program Studi Kajian Terorisme UI
Ketua Program Studi Kajian Terorisme SKSG Universitas Indonesia (UI), Muhammad Syauqillah, sependapat dengan Haris.
Menurut dia, keberadaan Densus 88 perlu dipertahankan dan itu sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Terorisme.
“Keberadaan Densus perlu dipertahankan karena menjadi amanat Undang-Undang kita,” terang Syauqi yang juga Ketua Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ia mengungkapkan selama tahun 2021 Densus 88 telah berhasil menangkap 100 orang teroris jaringan Jamaah Islamiyah (JI).
Namun gerakan penangkapan Densus 88 dilakukan secara diam-diam.
“Anda bisa bayangkan selama 2021 untuk JI ada 100 orang yang ditangkap oleh Densus 88 dan itu silence, dan itu bagaimana kinerjanya. Densus 88 makin ke sini makin bagus,” jelasnya.
Dia menilai kritik yang kontruktif, itu dari pemerhati dan akademisi, dan dari waktu ke waktu ada kinerja dari Densus 88 mengalami perbaikan.
“Kalau dulu darrr… derrr.. dorrr… dan diliput stasiun televisi nasional. Dan kalau ada penembakan itu ada buat anak-anak kecil tidak cocok untuk menontonnya”.
Intinya, jelas Syauqi, keberadaan Densus 88 diperlukan untuk pencegahan dan bisa mencegah aksi massif terorisme.
“Artinya dana yang besar dari pencegahan aksi terorisme itu sebanding. Kalau terjadi aksi teror, itu trauma fisik seseorang dan kehancuran itu akan jadi trauma sendiri. Dan harus dilihat pendekatan keamanan dari manusia untuk pencegahan terorisme,” ucapnya.
Sementara itu, MUI dalam Fatwa Nomor 3 tahun 2004 itu menyatakan segala bentuk teror dan bom bunuh diri itu haram.
“MUI jelas posisinya bahwa terror dan bom bunuh diri itu haram,” pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Ini Kata Mantan Napi Terorisme Terkait Pro dan Kontra Pembubaran Densus 88