TRIBUNTERNATE.COM - Sebuah upacara adat kesultanan Ternate bernama Sinonako Kapita Bugis digelar di Kedaton Sultan Ternate pada Kamis (02/06/2022).
Sinonako Kapita Bugis adalah upacara pengukuhan pejabat adat kesultanan Ternate untuk mengangkat salah seorang tokoh Bugis yang ada di Ternate.
Acara diawali dengan pengambilan "Sumpah" yang dibacakan Raja Ternate, Sultan Hidayatullah Syah bin Mudaffar Syah, dibacakan di depan tokoh Bugis bernama DR. Syahrir Ibnu, disaksikan Badan Pengurus Wilayah (BPW) Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Provinsi Maluku Utara dan beberapa warga Bugis-Makassar yang tinggal di Ternate.
Selesai membacakan sumpahnya, Sultan Ternate menyematkan baju adat dan songkok khas Kesultanan Ternate kepada tokoh Bugis tersebut.
Acara kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa dibacakan oleh Ulama Kesultanan Ternate (Bobato Akhirat).
Doa berbahasa Arab cukup panjang, diawali dengan sholawat kepada junjungan Baginda Nabi Muhammad SAW, permohonan ampunan kepada Allah SWT, perlindungan dari bala'/musibah, serta kemakmuran untuk negeri, ila akhir...
Usai doa, salah seorang abdi ndalem Kedaton Ternate menjelaskan hal ikhwal serta sejarah Sinonako Kapita Bugis dan maksud dari seluruh rangkaian prosesi adat tersebut.
Dalam pelantikan pejabat adat tersebut, Sultan Ternate bersumpah atas nama guru, awliya' dan leluhurnya. Sumpah ini sakral dan yang dilantik ditanya kesediaanya sampai tiga kali untuk menerima amanah tersebut.
"Sumpah ini mengerikan tidak memakai Al Qur'an seperti sumpahnya pejabat-pejabat masa kini, tapi ini diwakili oleh Sultan dan itu mengerikan," kata Abdi Ndalem tersebut.
Menurutnya, siapapun yang telah dilantik jadi pejabat adat Kesultanan Ternate tidak boleh melebihi, mengurangi, terlalu ke kanan atau ke kiri.
"Jika ke hutan akan ada pohon besar menghalangi, jika pergi ke laut akan ada ikan besar yang bisa membahayakan. Ini sumpah pejabat adat," katanya.
Mengenai pembacaan doa, zaman dahulu dibaca oleh Imam Sadahah, imam yang 24 jam berada di kesultanan dan dibantu juru tulis.
Abdi ndalem juga menjelaskan, bahwa dalam struktur Kesultanan Ternate ada jabatan bernama Kapita Bugis, Kapita Makassar dan Kapita Jawa.
Dalam istilah Kesultanan Ternate disebut Wofa Majira Bone atau Fanyira Bone, yakni mereka adalah anak keturunan Suku Bugis.
Dalam sejarahnya, pada 1788 ketika mendirikan keraton Ternate, suku Bugis yang ada di Ternate mengikrarkan sumpah setia terhadap Kesultanan Ternate.
Suku Bugis bersumpah di kaki bukit Keraton Ternate untuk Allah kabulkan doanya. Dan seketika itu juga doa dikabulkan dengan tanda terpancarnya air di kaki bukit yang disebut dengan air santosa.
Saat itu sumpah persaudaraan Ternate - Bugis Bone diikrarkan sampai bercampur air laut dan air santosa. (Dimana tidak mungkin akan bersatu dua air tersebut hingga hari akhir).
Yang menarik dari penjelasan Abdi Ndalem tersebut bahwa Kesultanan Ternate selalu terbuka dengan para pendatang dari luar.
Bahkan pendatang tersebut diberikan jabatan adat dan dimasukkan ke dalam struktur Kesultanan Ternate.
Sultan Ternate selalu merangkul pendatang dari suku manapun dalam sebuah konsep pembauran yang dilakukan sejak jaman dulu.
Sehingga sampai anak keturunan para pendatang tidak lagi disebut sebagai pendatang lagi. Pendatang itu dijuluki Fanyira Bugis, Fanyira Makassar dan bahkan ada Fanyira Jawa.
Dijelaskan, Sultan Ternate ke-31 memakai gelar Mandar Syah, yakni merujuk pada suku Mandar, selain dari suku Bugis dan Makassar yang ada di Pulau Sulawesi.
Keturunan pendatang tersebut tidak bicara menggunakan bahasa Bugis, Makassar dan Jawa lagi. Mereka sudah diakui sebagai warga Ternate namun tanpa harus meninggalkan identitas asal usul nenek moyangnya.
"Mulai hari ini pintu Kedaton Ternate selalu terbuka buat orang Bugis dan Makassar.
Kesultanan Ternate juga memperbolehkan untuk memakai pakaian adat Bugis-Makassar karena itu identitas dan kebanggaan," tutup Abdi Ndalem dalam penjelasannya.
Begitulah sikap Egalitarianisme Kesultanan Ternate yang terawat hingga kini. Yakni sebuah sikap seorang pemimpin yang memiliki pandangan persamaan derajat manusia tanpa membedakan suku dan ras.
Inilah warisan dari salah satu Kesultanan Islam tua di Bumi Nusantara. Sebuah warisan yang tak ternilai harganya demi merawat kerukunan, persatuan dan persaudaraan yang harus diwariskan kepada anak-cucu hingga akhir kehidupan dunia. Kita manusia sejatinya sama di sisi Allah SWT. Yang membedakan hanyalah derajat ketaqwaan di sisi-NYA.