Cabuli 9 Anak, Mantan Calon Pendeta di Alor Dijatuhi Hukuman Mati, Ini 6 Hal yang Memberatkan

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi pencabulan - Seorang mantan calon pendeta atau vikaris di Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan pencabulan terhadap 9 anak.

Kejahatan ini seperti fenomena gunung es. Oleh karena itu, dia berharap agar aparat penegak hukum (APH) bekerja maksimal.
 
Selain itu, Ana Waha Kolin bermaksud agar penyelesaian kasus ini menjadi lebih jelas. Disamping itu, orang tua agar lebih ekstra hati-hati melindungi anak-anaknya.

Dia menegaskan, para tokoh agama memberi sanksi tegas kepada pelaku. Sebab, kejahatan ini tidak bisa ditolerir. 

"Kepada tokoh agama agar memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku. Karena ini kejahatan yang luar biasa dan tidak boleh ditolerir. Juga mengimbau kepada semua umat melalui mimbar gereja terkait persoalan ini. Selain sanksi hukum, pelaku juga harus diberikan sanksi sosial," tegasnya. 

Bahkan, Ana Waha Kolin mendorong kepolisian untuk menerapkan UU TPKS sebagai ketentuan terbaru terhadap penanganan kasus yang menimpa anak dan perempuan. Dengan begitu, APH bisa memberlakukan hukum yang setimpal bagi Calon Pendeta Sepriyanto Ayub Snae. 

Selain Ana Waha Kolin, Veronika Ata, selaku Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT, menjelaskan, kekerasan seksual yang menimpa 14 orang patut dikecam.

Sebab, di tengah perjuangan Pemerintah, masyarakat, aktivis LSM, dan berbagai stakeholders lainnya untuk menghentikan kekerasan seksual, justru terjadi banyak anak menjadi korban. 

 Demi perlindungan terhadap korban, maka anak-anak perlu mendapatkan layanan psikologis dan didampingi agar mereka memperoleh kekuatan dan pemulihan. Anak-anak yang menjadi korban tersebut harus dilindungi identitasnya dan tidak persalahkan mereka. 

"Kami mengecam kejahatan seksual yang terjadi pada 14 orang anak dan remaja  ini apalagi oleh seorang vikaris," sebut Veronika Ata, Senin 19 September 2022. 

LPA menegaskan, pelaku wajib diproses secara hukum dan dikenai pasal berlapis agar mendapat hukuman maksimal atau seberat-beratnya untuk memberikan rasa keadilan bagi korban maupun efek jera bagi pelaku.

Ketua Forum PUSPA NTT, menyatakan penerapan pasal pidana terhadap pelaku, antara lain UU Perlindungan Anak, KUHP dan secara khusus UU Tindak Pidana Kekerasan seksual.  

"Selain hukuman kebiri yang diatur oleh UU Perlindungan anak, Pelaku dapat  dikenakan  pasal 12 UU no. 12/ tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU  TPKS)," sebut dia lagi.

Dalam pasal 12 ini mengatur  tentang eksploitasi seksual, dengan hukuman maksimum 15 tahun. Bahkan ketentuan pasal 15 UU TPKS bahwa pidana ditambah sepertiga jika  dilakukan terhadap lebih dari satu orang. Adapun Pidana tambahan yakni  pengumuman identitas pelaku.

"Kita berharap anak-anak yang menjadi korban bisa didampingi secara hukum, psikologis, rohani maupun layanan kesehatan.  Sedangkan pelaku, wajib proses hukum, dikenakan pasal berlapis dan hukuman maksimal," kata Veronika. 

LPA NTT mendorong agar kepolisian memberi perhatian serius terhadap kasus ini dalam memproses kasi tersebut. 

 "Penyidik harus menerapkan pasal berlapis dan menggunakan UU TPKS Bila masih terdapat korban, kami mendukung agar bisa ungkap dan laporkan," tandasnya.

Halaman
1234

Berita Terkini