Ledakan Terjadi di Riyadh 3 Hari Setelah Serangan Proyektil Dicegat, Diduga dari Pemberontak Houthi
Sebuah ledakan mengguncang Riyadh pada Selasa (26/1/2021). Ledakan ini terjadi 3 hari setelah kerajaan Arab mencegat sebuah serangan proyektil.
TRIBUNTERNATE.COM - Sebuah ledakan keras mengguncang Riyadh, Arab Saudi, pada Selasa (26/1/2021).
Ledakan ini terjadi tiga hari setelah kerajaan Arab mencegat sebuah serangan proyektil di atas ibu kota Saudi tersebut.
Akan tetapi, pihak Arab Saudi belum memberikan keterangan perihal penyebab ledakan tersebut.
Ledakan itu mengguncang ibu kota Saudi sekitar pukul 1 siang waktu setempat.
Beberapa masyarakat menuliskan di media sosial bahwa mereka mendengar ada dua ledakan, seperti dilansir dari The Strait Times.
Ada pula warga yang mengklaim bahwa mereka melihat asap di langit.
Diketahui, Arab Saudi telah berulang kali menjadi sasaran serangan lintas batas oleh pemberontak Houthi sejak koalisi pimpinan Arab Saudi turun tangan di Yaman awal 2015.
Namun, jarang sekali drone atau rudal yang diluncurkan oleh Houthis mencapai ibu kota dari kerajaan, yang mana terletak sekitar 700 km di utara perbatasan.
Akibat insiden ini, beberapa penerbangan dari Bandara Internasional Raja Khalid Riyadh ditunda.
Baca juga: PM Lebanon Hassan Diab Resmi Mundur Pasca Ledakan Beirut
Baca juga: Menakar Besar Energi Ledakan di Beirut Lebanon Dibanding Bom Nuklir, Besar Mana?
Mantan Utusan AS untuk Timur Tengah Berada di Riyadh saat Ledakan Terjadi
Pada saat ledakan di Riyadh tersebut terjadi, mantan utusan AS untuk Timur Tengah, Jason Greenblatt, mengatakan dirinya sedang berada di ibu kota Saudi pada saat itu.
Greenblatt menuliskan pernyataannya melalui akun Twitter resmi miliknya, @GreenblattJD.
Ia mengatakan bahwa dirinya sedang berada di Riyadh pada saat ledakan terjadi.
Ia juga menyebutkan, ledakan tersebut akibat serangan rudal oleh kelompok teroris Houthis.
"Saya sedang di Riyadh, ketika ada berita bahwa ada serangan proyektil dari kelompok teroris Houthis," tulis Greenblatt di Twitter.
Greenblatt menyatakan, sebagai orang Amerika, ia memberikan dukungannya kepada Arab Saudi sebagai negara sekutunya.
“Sebagai orang Amerika, saya katakan kita harus berdiri bersama sekutu kita, Arab Saudi dan rakyatnya. Saudi memiliki hak untuk membela diri dan rakyatnya dalam menghadapi serangan kejam," lanjut Greenblatt.
Sebuah tantangan keamanan yang rumit bagi Arab Saudi
Terkait ledakan di Riyadh tersebut, tidak ada komentar publik dari pemerintah Saudi, juga tidak ada klaim tanggung jawab oleh pemberontak Houthi.
Seorang konsultan risiko dari Inggris, Verisk Maplecroft, buka suara terkait hal ini.
Ia mengatakan, kemungkinan besar saat ini Arab Saudi sedang menghadapi tantangan keamanan yang semakin kompleks.
"Terlepas dari kurangnya rincian tentang intersepsi rudal yang dilaporkan oleh otoritas Riyadh, kemungkinan besar saat ini Arab Saudi menghadapi tantangan keamanan yang semakin kompleks,'' ujar Maplecroft, mengutip The Strait Times.
"Kombinasi serangan rudal dan roket mingguan dari Huthis terhadap Arab Saudi, dan terkadang ada serangan pula serangan yang lebih canggih yang ditargetkan kepada infrastruktur sipil dan energi Saudi, merupakan ancaman yang berat," lanjutnya.
Pada hari Sabtu (23/1/2021), Saudi, yang menyatakan mendukung pemerintah Yaman yang diakui secara internasional melawan kelompok teroris Houthis yang didukung Iran, mengatakan telah mencegat dan menghancurkan proyektil yang diarahkan menuju Riyadh.
Hal ini dilaporkan melalui televisi pemerintah setempat.
Pernyataan singkat itu tidak mengidentifikasi sumber target.
Akan tetapi, kelompok Houthis mengatakan mereka tidak terlibat serangan itu.
Pada hari Senin, Prancis, Jerman dan Inggris serempak mengecam serangan yang ditujukan kepada Arab Saudi itu.
"Proliferasi dan penggunaan rudal dan drone merusak keamanan dan stabilitas kawasan, yang menjadi komitmen kuat kami," kata negara-negara Eropa dalam sebuah pernyataan bersama.
Insiden itu terjadi hanya beberapa hari setelah Joe Biden dilantik sebagai presiden AS, menggantikan Donald Trump.
Pada Senin (25/1/2021), pemerintahan baru AS membekukan sanksi atas kesepakatan dengan Houthis selama satu bulan ketika meninjau "daftar hitam teroris" yang diberlakukan di bawah Trump.
(TribunTernate.com/Qonitah Rohmadiena)