Sama Bahayanya dengan Krisis Iklim, Polusi Suara yang Ditimbulkan Manusia Ancam Kehidupan di Laut
Selama 50 tahun terakhir, polusi suara di lautan meningkat akibat aktivitas manusia, dan itu mengancam ekosistem laut.
TRIBUNTERNATE.COM - Kegiatan manusia menimbulkan polusi atau pencemaran yang dapat mengancam alam dan kehidupan di dalamnya, termasuk lautan.
Salah satu jenis polusi yang dapat mengancam kehidupan laut adalah polusi suara.
Normalnya, soundscape atau lingkungan beserta bebunyiannya yang alami sangat penting bagi kehidupan laut yang sehat.
Akan tetapi, soundscape alami laut itu tenggelam oleh hiruk-pikuk kebisingan yang semakin meningkat dari aktivitas manusia.
Hal ini terungkap dalam asesmen komprehensif pertama atas masalah tersebut yang dirilis di jurnal Science.

• Banjir Besar di Kalimantan Selatan, Chanee Kalaweit: Pasti Terkait dengan Deforestasi Besar-besaran
• Wabah Covid-19, Ketua KPK: Jangan Sampai Anggaran Bencana di Korupsi Oknum yang Tidak Punya Empati
Dikutip TribunTernate.com dari laman The Guardian, kerusakan yang disebabkan oleh kebisingan sama berbahayanya dengan penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing), polusi, dan krisis iklim, kata para ilmuwan.
Akan tetapi ancaman kebisingan terhadap kehidupan laut seringkali terabaikan.
Namun kabar baiknya, kata mereka, adalah kebisingan dapat dihentikan secara instan dan tidak memiliki efek berlama-lama, seperti halnya masalah-masalah lain.
Hewan laut dapat mendengar suara dari jarak yang lebih jauh, daripada apa yang dapat mereka lihat atau cium.
Hal ini membuat suara menjadi hal yang penting untuk banyak aspek kehidupan.
Dari ikan paus hingga kerang, kehidupan laut memanfaatkan suara atau bebunyian untuk berbagai hal.
Seperti, menangkap mangsa, bernavigasi, mempertahankan wilayah dan menarik pasangan, serta menemukan rumah dan memperingatkan adanya serangan.
Polusi suara meningkatkan risiko kematian dan dalam kasus ekstrem, seperti ledakan, dapat membunuh kehidupan laut secara langsung.
Emisi karbon dioksida dari pembakaran bahan bakar fosil juga membuat lautan lebih asam.
Ini berarti air dapat membawa suara ke tempat yang lebih jauh, sehingga lautan menjadi lebih berisik, kata para peneliti.
Namun, kehidupan laut dapat pulih dengan cepat dari adanya polusi suara.
Hal itu terlihat dari adanya pergerakan mamalia laut dan hiu ke daerah yang sebelumnya bising ketika pandemi Covid-19 memangkas sibuknya lalu lintas laut.
“Segalanya, mulai dari plankton terkecil hingga hiu merasakan lingkungan akustik mereka,” kata Profesor Steve Simpson dari University of Exeter di Inggris, yang juga menjadi bagian dari tim peninjau studi ini.
"Hewan-hewan tak hanya harus mengeluarkan suara untuk berkomunikasi, tetapi juga menerima suara," katanya.
Profesor Steve Simpson mengatakan, polusi suara menimbulkan "kabut akustik" di lautan.
• Sekjen Partai Demokrat Sebut Ada Dana Awal yang Dibagikan Sebesar 25 Persen: Moeldoko Berperan Aktif
• Internet dan Media Sosial Diblokir Saat Kudeta Militer di Myanmar, Pengunjuk Rasa Turun ke Jalan
• Ada Laporan Moeldoko Temui Kader Partai Demokrat, Andi Mallarangeng: Yang Begini Tak Bisa Dibiarkan
“Hewan-hewan laut paling hanya dapat melihat dalam jarak puluhan meter, dan bisa mencium bau hingga ratusan meter. Akan tetapi, mereka dapat mendengar di seluruh cekungan laut,” kata Profesor Carlos Duarte dari King Abdullah University of Science and Technology di Arab Saudi, yang memimpin penelitian ini.
Profesor Carlos Duarte mengatakan penilaian utama kesehatan laut masih mengabaikan kebisingan atau polusi suara..
"Namun literatur ilmiah, jika dibaca dengan cermat, memberikan bukti kuat bahwa kebisingan yang disebabkan oleh manusia menjadi sumber utama gangguan pada ekosistem laut," katanya.
Tinjauan yang dipublikasikan di jurnal Science ini, menganalisis lebih dari 500 studi yang menilai efek kebisingan pada kehidupan laut.
Sekitar 90% dari penelitian menemukan kerusakan atau bahaya yang signifikan pada mamalia laut, seperti paus, anjing laut dan lumba-lumba, dan 80% menemukan dampak pada ikan dan invertebrata.
“Suara adalah komponen fundamental dari ekosistem, dan dampak [kebisingan] bisa menyebar luas, mempengaruhi hewan di semua tingkatan,” demikian bunyi dari analisis penelitian tersebut.

Dampak yang paling jelas adalah hubungan antara sonar militer dan ledakan survei seismik dengan ketulian pada satwa laut, fenomena satwa laut yang terdampar secara massal, dan kematian mamalia laut.
Polusi suara dari aktivitas manusia juga merugikan satwa laut yang mengandalkan suara secara alami dalam kehidupan mereka.
Beberapa satwa laut bahkan mengandalkan hidup pada suara alami.
Misalnya, dengungan yang digunakan ikan toadfish jantan untuk menarik perhatian betina dan bunyi tuter yang digunakan ikan cod untuk mengoordinasikan pemijahan.
Paus baleen menghasilkan seruan untuk membantu kohesi kelompok dan reproduksi.
Bunyi paus baleen itu dapat melintasi cekungan laut.
Sementara, paus bungkuk biasa menyanyikan irama yang kompleks dan memiliki dialek regional saat musim kawin.
Paus sperma dan berbagai jenis lumba-lumba serta porpoise menggunakan sonar untuk mencari mangsa.
Hewan lain menggunakan suara untuk mencari makan, misalnya, beberapa jenis udang mengeluarkan suara "jepret" untuk mengejutkan mangsanya.
Namun, selama 50 tahun terakhir, polusi suara di lautan meningkat akibat aktivitas manusia, dan itu mengancam ekosistem laut.
Peningkatan ekspedisi atau pengiriman barang antar wilayah lewat laut telah meningkatkan kebisingan frekuensi rendah di rute utama sebanyak 32 kali, kata penelitian tersebut.
Kapal penangkap ikan menggunakan sonar untuk menemukan kawanan ikan, sementara kapal pukat dasar membuat suara gemuruh.
Pembangunan dan pengoperasian rig minyak dan ladang angin (wind farm) lepas pantai juga menyebabkan polusi suara, seperti halnya ledakan bom Perang Dunia II di Laut Utara.
“Ikan, kerang, kepiting, dan karang semuanya mendengar suara dan memanfaatkannya untuk mencari tempat yang sehat untuk membuat rumah,” kata Simpson.
“Jadi kebisingan dari aktivitas pengiriman atau konstruksi menghilangkan rasa memiliki rumah itu. Ini juga berarti bahwa paus yang mungkin hidup dalam satu keluarga dan berburu dalam area seluas lebih dari ratusan mil harus hidup dalam jarak 10 mil dari satu sama lain untuk dapat berkomunikasi."
“Kami menemukan bahwa hewan juga secara langsung merasakan stres oleh kebisingan, sehingga mereka membuat keputusan buruk yang sering kali menyebabkan kematian,” katanya, mencatat bahwa suara dari perahu motor di Great Barrier Reef di Australia menyebabkan kematian satwa laut dua kali lipat akibat predator.
Sementara itu, peneliti lain di luar review asesmen ini mengaminkan hal yang sama.
“Kebisingan bawah air adalah masalah serius dan terus meningkat,” kata Profesor Daniel Pauly dari University of British Columbia di Kanada, yang bukan bagian dari tim peninjau dalam penelitian ini.
“Tingkat kebisingan yang dihadapi mamalia laut sangat merusak… Gelombang suara di bawah air jauh lebih ganas daripada gelombang suara di udara,” lanjutnya.
Namun, penelitian yang dipimpin Profesor Carlos Duarte ini menemukan bahwa masih ada solusi bagi permasalahan kebisingan atau polusi suara di lautan.
Menilik retrofit lima kapal kontainer besar oleh raksasa pelayaran Maersk pada 2015, desain baling-baling baru dapat mengurangi kebisingan dan juga meningkatkan efisiensi bahan bakar.
Baling-baling yang lebih tenang adalah prioritas utama, kata Carlos Duarte, mengingat setengah dari kebisingan dari kegiatan ekspedisi di lautan berasal dari hanya 15 persen kapal.
Motor listrik menjadi solusi lain yang bisa dilakukan, sama halnya dengan sedikit pengurangan kecepatan kapal.
Misalnya, pemotongan kecepatan kapal yang berisik di Mediterania dari 15,6 knot menjadi 13,8 knot mengurangi kebisingan sebesar 50% antara tahun 2007 dan 2013.
Survei seismik juga dapat dilakukan dengan menggunakan vibrator dasar laut, bukan dengan mengirimkan gelombang suara ke seluruh kolom air.
“Mengurangi kebisingan mungkin merupakan hasil yang paling rendah untuk membuat perbedaan dan kita dapat mengubahnya hari ini,” kata Steve Simpson.
“Saya memiliki harapan nyata bahwa kita akan mendengar lautan yang lebih sehat dalam hidup kita,” pungkasnya.
SUMBER: The Guardian
(TribunTernate.com/Rizki A.)