Ramadhan 2021
Berapa Jarak Minimal bagi Seorang Musafir agar Diperbolehkan Tidak Berpuasa Ramadhan?
Seseorang yang berada dalam perjalanan jauh diperbolehkan oleh agama untuk tidak berpuasa, namun seberapa jauh minimal jarak yang diperbolehkan?
TRIBUNNEWS.COM - Di antara orang-orang yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, musafir adalah salah satunya.
Musafir atau seseorang yang berada dalam perjalanan jauh diperbolehkan oleh agama untuk tidak berpuasa.
Hal tersebut tertuang dalam Surat Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi:
"Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu." (QS. Al-Baqarah: 185)
Dispensasi atau keringanan itu dalam ilmu fikih disebut rukhsah, yang berarti kemudahan atau keringanan yang diberikan Allah SWT. kepada seseorang karena suatu sebab yang membuatnya tidak bisa menjalankan ibadah seperti seharusnya.
Jika seseorang yang dalam perjalanan tidak kuat berpuasa, maka diperbolehkan untuknya membatalkan puasa.
Namun, ia wajib membayar utang puasanya itu di luar bulan Ramadhan.
Tetapi, jika seseorang itu mampu melanjutkan puasanya meskipun berada dalam perjalanan, maka ia pun diperbolehkan untuk berpuasa.
Baca juga: Apakah Puasa Tetap Sah Jika Mandi Junub setelah Imsak & Subuh? Simak Penjelasan hingga Tata Caranya
Baca juga: Maruf Amin Ajak Masyarakat Ibadah Ramadhan di Rumah Saja: Tarawih Itu Sunah, Menjaga Diri Itu Wajib

Lantas, perjalanan seperti apakah yang diperbolehkan bagi seseorang untuk membatalkan puasa?
Mubalig Pakar Fiqh Ustaz Tajul Muluk memberikan penjelasannya terkait pertanyaan tersebut.
Menurutnya, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika akan mengambil rukhsah sebagai musafir.
Hal pertama yang harus dipenuhi, yaitu terkait jarak perjalanan yang jauh.
Perjalanan jauh dalam rumus fikih adalah perjalanan di mana seseorang boleh meng-qashar dan men-jamak salat.
Jika dikonversikan ke dalam kilometer, maka jarak itu harus lebih dari 80 kilometer.
Jarak tersebut termasuk dalam masyaqqah yang berarti bentuk kesulitan yang dialami manusia untuk melaksanakan sebuah kewajiban.
Jika dalam perjalanan tersebut ada unsur masyaqqah atau memberatkan, maka seseorang boleh membatalkan puasanya.
Jarak 80 kilometer di zaman sekarang mungkin tidak begitu relevan, sebab moda transportasi yang nyaman dan memudahkan sudah tersedia.
Tidak seperti zaman Nabi, di mana jarak 80 kilometer adalah jarak yang sangat jauh dan sulit untuk ditempuh.
Namun, jika seseorang merasa dalam perjalanannya yang jauh ada unsur masyaqqah-nya maka ia boleh membatalkan puasanya.
"Kalau dalam perjalanan itu di dalamnya dirasa ada masyaqqah-nya (maka boleh membatalkan puasa)."
"Tetapi kita ilustrasinya tidak seperti zaman sekarang yang bisa ditempuh menggunakan alat transportasi ya. Sebab di zaman Nabi itu, perjalanan 80 kilometer itu kan perjalanan yang berat, maka diperkenankan untuk bisa berbuka, ia tidak berpuasa," terang Ustaz Tajul Muluk.
Selain jarak, syarat lain yang harus dipenuhi seorang musafir untuk bisa membatalkan puasanya adalah perjalanan jauh tersebut tidak bertujuan untuk maksiat.
"Lalu yang kedua yang harus dipenuhi adalah perjalanan itu tidak diniatkan untuk melakukan kemaksiatan," tutur Ustaz Tajul Muluk.
Video selengkapnya:
Baca juga: Apakah Mimpi Basah di Siang Hari saat Ramadhan Dapat Membatalkan Puasa? Berikut Penjelasannya
Baca juga: Ingin Puasa Lancar? Hindari Sederet Makanan Berikut Saat Makan Sahur di Bulan Ramadhan
Apakah Sopir Angkutan Termasuk Musafir dan Boleh Tidak Berpuasa?
Jika berbicara soal musafir, lantas bolehkah seseorang yang bekerja sebagai sopir dan melintasi kota bahkan provinsi, boleh untuk tidak berpuasa?
Dosen Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam sekaligus Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama IAIN Surakarta Dr Syamsul Bakri, menjawab pertanyaan tersebut.
Mengutip Kompas.com, menurut Syamsul seorang yang bekerja sebagai sopir lebih dari musafir.
Sebab, sopir memiliki perjalanan yang panjang, bahkan seharian.
"Boleh tidak puasa. Karena musafir saja boleh apalagi sopir. Ia lebih dari musafir, perjalanannya kan panjang sekali," kata Syamsul.
Selain itu, seorang sopir juga membawa banyak nyawa, sehingga perlu konsentrasi tinggi saat bekerja.
Terkait jarak minimal seorang sopir boleh membatalkan puasa, Syamsul menyebutnya sebagai sesuatu yang relatif.
Menurutnya, dalam Islam terjadi beberapa perbedaan pendapat soal jarak diperbolehkannya puasa.
"Jarak yang dihitung kan sebenarnya terkait dia disebut musafir. Dalam Islam terjadi perbedaan pendapat soal jarakanya berapa," jelas dia.
"Ukuran jauh dan tidak kan sekarang lebih relatif. Sekarang Solo-Purwokerto kan lebih jauh daripada Singapura. Makanya jarak sekarang itu lentur," tambahnya.

Baca juga: Jelang Ramadhan 2021, Ini 5 Dampak Buruk Tidur Setelah Santap Sahur, Berisiko Terkena Stroke
Baca juga: Jaga Tubuh Agar Tetap Terhidrasi Selama Berpuasa di Bulan Ramadhan dengan Sederet Tips Berikut
Bahkan, Syamsul menyebut bahwa perjalanan 1,6 kilometer pada zaman Nabi sudah termasuk kategori jauh dan berat.
Pasalnya, transportasi yang digunakan saat itu menggunakan unta. Belum lagi saat harus mengarungi padang pasir yang panas.
Mengenai diperbolehkannya seorang musafir tidak puasa, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi menjelaskan hal itu.
"Sesungguhnya Allah Swt. memberi kemurahan kepada musafir untuk tidak puasa dan meng-qashar salat, juga memberi kemurahan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak puasa," (HR. al-Turmudzi).
Oleh sebab itu, mengapa kemudian disebut musafir, karena perjalanan yang ditempuh oleh seorang sopir melelahkan.
Baik itu karena jarak yang jauh maupun karena beban perjalanan yang berat.
Menurut Syamsul, pekerjaan sopir memenuhi syarat tersebut.
"Lihatnya beda, yang penting melelahkan," tuturnya.
Selain bisa diqiyaskan dengan hukum tidak puasanya musafir, sopir juga bisa mengikuti hukum seorang pekerja berat yang diperbolehkan untuk tidak puasa.
Syaratnya, pekerjaan tersebut tidak bisa dilakukan selain di siang hari saat bulan Ramadhan dan untuk menafkahi dirinya atau keluarganya.
Oleh karena itu, ada dua dasar hukum yang bisa diqiyaskan untuk menjawab hukum tidak puasanya seorang sopir, yaitu puasa dan pekerja berat.
Meski demikian, semua penjelasan di atas merupakan keringanan atau rukhsah bagi seorang sopir untuk tidak puasa.
Jika ia merasa kuat dan mampu, maka ia diperbolehkan untuk berpuasa.
(TribunTernate.com/Ron)