RUU HPP Disahkan, NIK Juga Berfungsi Jadi NPWP, Menkumham: Tidak Semua Warga Bayar PPh
Menurut UU HPP yang disahkan pada Kamis (7/10/2021), Nomor Induk Kependudukan (NIK) di KTP resmi difungsikan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
TRIBUNTERNATE.COM - Nomor Induk Kependudukan (NIK) di KTP resmi difungsikan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Hal ini menjadi salah satu bagian dalam Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang telah disahkan menjadi Undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR RI, Kamis (7/10/2021) kemarin.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly pun menjelaskan tentang penambahan fungsi NIK tersebut.
Terobosan baru ini, kata Yasonna, diharapkan memudahkan Wajib Pajak orang pribadi dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya.
"Terdapat terobosan yang merupakan usulan DPR yaitu mengintegrasikan basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan."
"Dengan menggunakan NIK sebagai pengganti NPWP akan semakin memudahkan para Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya," kata Yasonna Laoly, dikutip Tribunnews.com dari kanal YouTube DPR RI, Jumat (8/10/2021).
Baca juga: 59 Anak di Garut Diduga Dibaiat NII: Sebut Indonesia Negara Thogut karena Tidak Pakai Hukum Islam
Baca juga: Elektabilitas Prabowo Masih Tertinggi, PKB: Maklum Saja, karena Sudah Dua Kali Nyalon Presiden
Baca juga: Rekrutmen 57 Eks Pegawai KPK oleh Polri Dinilai Sarat akan Pelanggaran, Apa Saja?
Lebih lanjut, Yasona mengatakan, meski menggunakan NIK namun bukan berarti semua wajib membayar PPh.
Tetapi tetap memperhatikan pemenuhan syarat subjektif dan objektif untuk membayar pajak.
"Yaitu, apabila orang pribadi mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP atau orang pribadi pengusaha mempunyai peredaran bruto di atas Rp 500 juta setahun," katanya dalam Sidang Paripurna, Kamis (7/10/2021).
Diketahui, RUU HPP memuat enam kelompok materi utama yang terdiri dari 9 BAB dan 19 Pasal.
Di antaranya, mengubah beberapa ketentuan yang diatur dalam beberapa UU perpajakan, baik UU Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan (UU PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN), UU Cukai, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan memperkenalkan Pajak Karbon.

Baca juga: Survei SMRC Sebut Elektabilitas Partai Demokrat Pimpinan AHY Naik Tajam Meski Dikudeta Moeldoko
Baca juga: Jumat Pekan Ini, Menkeu Sri Mulyani akan Beri Penjelasan tentang KTP Bisa Jadi NPWP
Isi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang sudah disahkan DPR
Dalam Sidang Paripurna, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie menyampaikan sistematika RUU HPP terdiri dari 9 Bab dan 19 Pasal.
Di mana terdapat enam ketentuan, yakni:
1. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
- Penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi.
Dengan terintegrasinya penggunaan NIK akan mempermudah administrasi Wajib Pajak Indonesia, khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi.
Program ini akan mempermudah aktivitas pendataan masyarakat sebagai wajib pajak.
- Terkait asistensi penagihan pajak global kerjasama bantuan. Penagihan pihak antar negara, dilakukan melalui kerja sama negara mitra secara resiprokal.
Hal ini dilaksanakan sebagai wujud peran aktif Indonesi dalam kerja sama internasional.
2. Ketentuan Terkait Pajak Penghasilan
- Adanya pengaturan lapisan tarif PPh Orang perbaikan yang berpihak pada lapisan penghasilan terendah yang saat ini sebesar Rp 60 juta.
- Adanya penambahan tarif PPh Wajib Pajak OP sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar per tahun, serta penambahan ambang batas peredaran bruto tidak kena pajak untuk UMKM
- Pengaturan ulang tarif PPh Badan sebesar 22% untuk mendukung penguatan basis pajak.
- Pengaturan tentang unik dan amortisasi.
“Kebijakan-kebijakan yang diambil merupakan bentuk perlindungan bagi UMKM dan masyarakat rendah."
"Selain itu, kebijakan tersebut juga diharapkan lebih mencerminkan keadilan bagi Wajib Pajak,” kata Dolfie saat Rapat Paripurna, Kamis (7/10/2021).
3. Ketentuan Terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Komitmen keberpihakan pada masyarakat bawah tetap terjaga dengan memberikan pemberian fasilitas PPN atas kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan, dan jasa pelayanan sosial.
Hal ini merupakan bentuk keberpihakan DPR sebagai wakil rakyat dalam kebutuhan dasar masyarakat banyak.
“Selain itu, juga diperkenalkan skema PPN Final untuk sektor tertentu agar lebih memudahkan bagi pelaku UMKM serta menyesuaikan tarif PPN secara bertahap sampai dengan 2025,” tutur Dolfie.
4. Ketentuan Terkait Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak
Untuk mendorong peningkatan kepatuhan kepatuhan, Panja juga menyusun Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (PPSWP) yang memfasilitasi para Wajib Pajak yang memiliki itikad baik untuk patuh dan terintegrasi dalam sistem perpajakan.
“Dengan tetap memperhatikan pemenuhan rasa keadilan bagi seluruh wajib pajak. Program ini diharapkan dapat mendorong Wajib Pajak untuk secara sukarela mematuhi kewajiban pajaknnya,” kata dia.
Program Pengungkapan Sukarela (PPS) bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan diselenggarakan berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatan.
PPS akan berlangsung pada 1 Januari-30 Juni 2022, sebagaimana dikutip Tribunnews.com dari Kemenkeu.go.id.
5. Ketentuan Pajak Karbon
Penyusunan peta jalan pajak karbon dan pasar karbon bersama DPR, penetapan subjek, objek, dan tarif pajak karbon, serta insentif wajib pajak yang berpartisipasi dalam emisi karbon.
“Hal ini juga merupakan komitmen terhadap lingkungan, perubahan iklim, dan penurunan emisi gas rumah, agar kita tetap dapat mewariskan negara ini kepada generasi penerus bangsa,” terang Dolfie.
6. Ketentuan Terkait Cukai
Penegasan ranah pelanggaran administratif dan prinsip-prinsip ultimum remedium penyidikan pada tindak pidana terkait dengan penerimaan negara dan kepastian hukum.
Diharapkan adanya prinsip ultimum remedium merupakan pendorong restoratis keadilan di bidang pajak.
Penjelasan Dirjen Dukcapil Terkait NIK Difungsikan Jadi NPWP
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Zudan Arif Fakhrulloh mengatakan, Penggabungan NIK dan NPWP ini sejalan dengan perkembangan regulasi Perpres Nomor 83 Tahun 2021.
Di mana, dalam Perpres tersebut memuat tentang NIK yang menjadi dasar pelayanan publik.
"Kalau kita mencermati perkembangan regulasi Perpres Nomor 83 Tahun 2021, di sana ada arahan Bapak Presiden."
"Pertama, NIK digunakan sebagai dasar pelayanan publik. Jadi pelayanan publik harus pakai NIK."
"Kedua, apabila penduduk punya NPWP, maka digunakan NIK dan NPWP ditambah dalam semua pelayanan publik," katanya, dikutip Tribunnews.com dari kanal YouTube Kompas TV, Rabu (6/10/2021).
Lebih lanjut, Zudan menjelaskan, apa yang dimuat dalam Perpres Nomor 83 Tahun 2021 merupakan kelanjutan dari UU No 24 Tahun 2013.
Pada waktu itu sudah ada semangatnya, yakni single identity number atau satu penduduk hanya boleh mempunyai satu identitas yang menjadi kode referensi tunggal, yakni NIK.
Kemudian, hal itu dimuat dalam Pasal 64 UU Nomor 24 Tahun 2013.
Pasal tersebut, memuat tentang pelayanan publik wajib menggunakan NIK.
Di mana NIK jadi kode referensi tunggal bagi penduduk yang digunakan sebagai proses pelayanan publik.
NIK difungsikan jadi NPWP ini masuk dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau RUU HPP yang kini sudah disahkan.
(Tribunnews.com/Suci Bangun DS, Kontan.co.id/Yusuf Imam Santoso, Kompas Tv)
Simak berita lain terkait NPWP Diganti NIK
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul NIK Gantikan NPWP setelah RUU HPP Disahkan, Menkumham: Tidak Semua Warga Wajib Bayar PPh