Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat, Pakar Singgung Dugaan Perampasan Kemerdekaan Orang Lain
Priyanggo pun mengingatkan, pengelola kerangkeng bisa berpotensi terjerat dugaan tindak pidana merampas kemerdekaan orang lain.
TRIBUNTERNATE.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dua kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin.
Diketahui, rumah Terbit Rencana Peranginangin berada di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Kerangkeng manusia tersebut terletak di halaman belakang rumah Terbit.
Kerangkeng itu disebut-sebut sebagai tempat rehabilitasi bagi pecandu narkoba.
Namun pada kenyataannya, ruangan tersebut tak memiliki izin alias ilegal sebagai tempat rehabilitasi.
Atas temuan kerangkeng manusia itu, Terbit diduga melakukan praktik perbudakan modern terhadap puluhan pecandu narkotika untuk dipekerjakan di kebun kelapa sawit miliknya.
Kini, kerangkeng manusia di rumah Terbit Rencana Peranginangin itu masih diperbincangkan.
Dalam perkembangan kasus ini, sejumlah fakta terkait kerangkeng manusia itu pun mulai terkuak.
Misalnya, temuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang mengatakan puluhan orang hidup di dalam kerangkeng secara terkunci dan diperlakukan seperti tahanan.
Bahkan, manusia yang ditahan tersebut dipekerjakan tanpa upah.
Atas hal itu, pakar hukum asal Surakarta, T Priyanggo Saputro memberi tanggapannya.
Priyanggo pun mengingatkan, pengelola kerangkeng bisa berpotensi terjerat dugaan tindak pidana merampas kemerdekaan orang lain.
Baca juga: Tingginya Volume Sampah Medis Rumah Sakit Covid-19 Semakin Membahayakan Manusia dan Lingkungan
Baca juga: Sama-sama Pemasok CPO Terbesar Dunia, Mengapa Harga Minyak Goreng di Malaysia dan Indonesia Berbeda?

Baca juga: Kerangkeng Manusia Bupati Langkat, Ini Beda Pernyataan Mantan Penghuni dan Migrant Care
Baca juga: Kondisi Toilet Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat: Cuma Satu, Kotor, dan Tidak Manusiawi
Hal itu tertuang dalam pasal 333 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Perbuatan dengan sengaja membuat sebuah ruangan atau rumah yang dipergunakan untuk menghimpun seseorang tapi mereka tidak diberi kebebasan, tentunya dari kacamata hukum ini melanggar pasal 333 KUHP."
"Pasal ini merupakan konteks pemalsuan kemerdekaan. Artinya dalam hal ini, patut diduga merampas kemerdekaan seseorang," jelas Priyanggo dalam program Kacamata Hukum Tribunnews.com, Senin (31/1/2022).
Adapun ancaman sanksi dari tindak pidana merampas kemerdekaan, yakni pidana penjara paling lama 8 tahun penjara.
Berikut bunyi pasal 333 KUHP:
"(1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perarnpasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan," demikian bunyi pasal itu.

Baca juga: Ada Temuan Tahanan Meninggal di Kerangkeng Manusia Bupati Langkat, Juru Bicara Terbit Heran
Baca juga: Fakta Baru Kerangkeng Manusia Bupati Langkat, Ditemukan Tindak Kekerasan hingga Tewaskan Penghuni
Sebagai advokat, Priyanggo mengaku baru pertama kali ini melihat kasus temuan kerangkeng dimiliki secara perseorangan.
Menurutnya, tak ada aturan yang memperbolehkan seseorang membangun penjara manusia di kediaman pribadi.
Priyanggo juga menyoroti temuan LPSK mengenai adanya pernyataan dari pihak penghuni kerangkeng tak boleh menuntut pengelola jika sakit atau meninggal.
Dia menilai pernyataan tersebut telah bertentangan dengan hukum, sehingga tak berkekuatan apa-apa.
"Isi dari pernyataan tersebut apabila terjadi suatu hal dalam hal ini meninggal dunia, keluarga tidak boleh menuntut si pengelola pembinaan."
"Ini sangat aneh ketika ini pernyataan bertentangan dengan hukum, ini tidak berguna," tutur Ketua Young Lawyers DPC Peradi Solo itu.
Sehingga, menurut dia, dalam kasus ini tak hanya perihal tindak pidana yang terjadi.
Melainkan juga pada dugaan pelanggaran HAM.
Ia pun berharap pihak pengelola kerangkeng bisa-bisa betuk mengungkapkan tujuan dibangunnya penjara manusia itu.
"Tujuannya seperti apa? Kalau memang ini tujuan rehabilitasi, ada hal-hal yang harus mereka jelaskan, soal legalitas tempat rehabilitasi."
"Dari kacamata hukum, ini sudah ada tidak hanya dugaan perbuatan pidana saja, tetapi juga dugaan pelanggaran HAM," katanya.
17 Temuan LPSK soal Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat
Diberitakan Tribunnews.com sebelumnya, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu, menjelaskan 17 temuan terkait adanya kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin.
Dari 17 temuan tersebut, kata Edwin Partogi, yang pertama tidak semua tahanan merupakan pencandu narkoba.
Informasi tersebut dihimpun oleh LPSK setelah sebelumnya mendapatkan informasi dari para mantan tahanan.
Pernyataan itu disampaikan oleh Edwin dalam keterangan pers pada Senin (31/1/2022) yang kemudian disiarkan Kompas TV, Selasa (1/2/2022).
"Dari yang kami temui mantan tahan itu ternyata yang ditahan di sana bukan semuanya pencandu narkoba."
"Jadi kalau kata-kata untuk penyintas narkoba itu kurang tepat," jelas Edwin Partogi.
Kedua, tidak semua tahanan merupakan warga dari Kabupaten Langkat.
"Kami menemui tidak semua berasal dari Kabupaten Langkat," sambung Edwin.
Edwin Partogi juga mengatakan temuan ketiganya yakni tidak aktivitas rehabilitasi, tidak ada schedule, dan tidak ada modul.
Jadi aktivitas para tahanan menyesuaikan perintah pembina atau pengelolanya saja.

Temuan yang keempat, Edwin menyebut bahwa tempatnya sangat tidak layak.
Terdapat satu bangunan yang terdiri dari tiga ruangan.
Dua di antaranya adalah sel dan satu lainnya dikatakan sebagi dapur.
"Ruangan itu tidak layak lagi, mungkin dengan ukuran 6x6 meter itu digunakan lebih dari dua puluh orang dalam satu ruangan."
"Itu ruangan jorok dan kotor."
"Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah toilet yang hanya dibatasi dinding setinggi setengah badan yang digunakan untuk MCK dan cuci piring, kata Edwin sambil menunjukkan foto-foto hasil tinjauannya," kata Edwin Partogi.

Tentu, kata Edwin, kondisi tersebut sangat tidak layak.
Kelima, tempat yang katanya digunakan sebagai tempat rehabilitasi ini tidak bebas untuk dikunjungi.
"Jadi dibatasi bagi yang baru masuk itu (keluarga) hanya boleh mengunjungi tempat tersebut setelah tiga sampai enam bulan (dari waktu masuknya)."
"Kalau di lapas pemerintah ada jam-jamnya setiap hari boleh berkunjung, tapi di sini hanya diperbolehkan berkunjung pada hari Minggu dan hari besar saja," lanjut Edwin Partogi.
Selain kelima temuannya itu, Edwin Partogi membeberkan 12 temuan lainnya terkait dengan kasus ini.
Berikut ke-12 temuan Edwin Partogi pada kerangkeng pribadi milik Bupati Langkat:
1. Mereka tidak diperbolehkan membawa alat komunikasi;
2. Memperlakukan orang dalam kerangkeng seperti tahanan ;
3. Mereka tinggal dalam kerangkeng yang terkunci;
4. Kegiatan peribadatan dibatasi (tidak boleh ibadah salat Jumat, ibadah Minggu serta hari-hari besar lainnya);
5. Para tahanan dipekerjakan tanpa upah di perusahaan sawit;
6. Ada dugaan pungutan;
7. Ada batas waktu penahanan selama 1,5 tahun;
8. Ada yang ditahan sampaiempat tahun;
9. Pembiaran yang terstruktur;
10. Ada pernyataan tidak akan menuntut bila sakit atau meninggal;
11. Ada informasi korban tewas tidak wajar;
12. Dugaan adanya kerangkeng III atau sel ketiga.
(Tribunnews.com/Shella Latifa/Galuh Widya Wardani)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Soal Kerangkeng Manusia Milik Bupati Langkat, Pakar Ingatkan Pidana Merampas Kemerdekaan Orang