Pemilu 2024
Ungkap Konsekuensi Jika Pemilu 2024 Ditunda, LP3ES: Indonesia Tak Bisa Lagi Disebut Negara Demokrasi
Direktur LP3ES Wijayanto mengungkap konsekuensi jika Indonesia memperpanjang masa kekuasaan atau menunda Pemilu 2024.
TRIBUNTERNATE.COM - Usulan penundaan pemilihan umum atau Pemilu 2024 kembali mencuat.
Hal ini pun mendapat sorotan dan tanggapan dari berbagai pihak, salah satunya dari Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Direktur LP3ES Wijayanto mengungkap konsekuensi jika Indonesia memperpanjang masa kekuasaan pemimpin saat ini, alias menunda Pemilu 2024.
"Kalau sampai Indonesia perpanjang masa presiden menjadi tiga periode atau memperpanjang kekuasan dan penundaan Pemilu, maka Indonesia tidak bisa lagi disebut sebagai negara demokrasi," kata Wijayanto dalam diskusi virtual bertajuk "Menunda Pemilu, Membajak Demokrasi", Selasa (1/3/2022).
Dia mengatakan wacana penundaan Pemilu 2024 disebut sebagai upaya memperpanjang kekuasaan.
Wijayanto mengatakan, wacana itu telah dihembuskan sejak 13 Oktober 2019.
Hal itu ditandai dengan pertemuan Surya Paloh dan Prabowo Subianto yang menyepakati adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
"Wacana ini kemasan lain dari upaya presiden tiga periode itu, intinya memperpanjang masa jabatan. Wacananya sudah ada sejak 13 Oktober 2019, ketika itu Surya Paloh bertemu dengan Prabowo," kata dia.
Wacana itu, kata Wijayanto, memang sudah ada sejak lama.
Sehingga, pada akhirnya banyak yang sepakat jika ada wacana presiden tiga periode.
"Wacana penundaan pemilu, adalah upaya memperpanjang masa kekuasaan secara tidak konstitusional yang itu bentuk yang lebih sofisticated presiden tiga periode," katanya.
Baca juga: Soroti WhatsApp Group TNI-Pori, Jokowi Minta Para Istri Anggota Tak Undang Penceramah Radikal
Baca juga: Isi Petisi tentang Ibu Kota Negara (IKN) yang Ditandatangani Gabungan Ormas Dayak Se-Kalimantan
Baca juga: WHO Sebut 8 Negara Ini Terbebas dari Pandemi Covid-19, Catat Nol Kasus Infeksi
Disuarakan oleh Beberapa Tokoh
Wacana untuk mengundurkan Pemilu 2024 disuarakan oleh sejumlah tokoh di antaranya Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Keduanya mengusulkan agar Pemilu 2024 ditunda dengan dalih perbaikan ekonomi pasca-pandemi Covid-19.
Menurut mereka, dikhawatirkan jika Pemilu tetap digelar pada tahun 2024 maka akan mengganggu stabilitas ekonomi.
Kemudian, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto juga mengungkapkan hal sama terkait keberlanjutan pemerintahan Jokowi hingga bisa menjabat selama 3 periode.
Terbaru, Ketua Umum DPP PAN Zulfkifli Hasan juga mendukung wacana penundaan Pemilu 2024.
Sejumlah pihak pun menilai bahwa usulan Pemilu 2024 ditunda bertentangan dengan konsitusi dan melanggar UUD 1945.
Usulan Pemilu 2024 diundur atau ditunda ini pun menuai pro dan kontra, serta mendapat tanggapan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.
1. Perludem: Penundaan Pemilu 2024 karena Covid-19 Tidak Relevan
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menyebut penundaan Pemilu 2024 karena alasan pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 tidak relevan.
Dia menyinggung pelaksanaan Pilkada 2020 yang tetap berjalan, meski saat itu sempat muncul dorongan agar ditunda akibat pandemi Covid-19.
Namun, Ninis menilai kala itu pandemi baru masuk Indonesia sehingga harus banyak belajar dan penyesuaian dari pelaksanaan pemilu di luar negeri.
"Dulu wacana ditunda supaya kita siap dulu, karena jaraknya dekat sekali pandemi bulan Maret masuk. Jadwal awalnya kan pilkada di bulan September lalu diundur tiga bulan ke bulan Desember," kata Ninis dalam diskusi Tolak Penundaan Pemilu 2024 dilihat dari YouTube Rumah Pemilu, Sabtu (26/2/2022).
"Nah, sementara kalau alasan pandemi kemudian digunakan untuk menunda Pemilu 2024 sangat tidak relevan, karena kita punya waktu sebetulnya dari 2020 ke 2024 untuk mempersiapkan," sambungnya.
Menurut Ninis, tidak ada alasan untuk menunda Pemilu 2024 karena ia yakin pemerintah sudah lebih siap.
Apalagi, waktu persiapan juga masih ada dua tahun.
Baca juga: Kasus Arisan Fiktif di Sumedang: Pasutri Diciduk, 150 Orang Jadi Korban, Kerugian Capai Rp21 Miliar
Dia pun ikut menyayangkan muncul narasi faktor pandemi yang berdampak pada perekonomian masih dibawa-bawa sebagai alasan menunda Pemilu 2024.
"Kita punya banyak waktu sebetulnya untuk menyiapkannya, menyiapkan 2024 nanti mitigasinya kita sudah bisa siapkan dari sekarang manajemen risikonya sudah bisa kita siapkan dari sekarang. Kalau alasannya pakai alasan pandemi ya tidak masuk akal," ujar Ninis.
"Apa ya ini semacam ada ketidakkonsistenan gitu ya dari yang tadinya di 2020. Segala argumentasi dikeluarkan begitu supaya tetap pilkada, termasuk juga pilkada, sebagai stimulus ekonomi. Tapi kemudian di tahun ini muncul wacana penundaan pilkada karena alasan pandemi ataupun alasan ekonomi," imbuhnya.
Baca juga: Tepis Isu Melarikan Diri di Tengah Invasi Rusia, Presiden Ukraina Unggah Video: Saya Tetap di Sini
Baca juga: Oknum Polisi di Kupang Digerebek Saat Berduaan dengan Istri Teman Seprofesinya di Hotel
2. Pakar Hukum Tata Negara: Bakal Ada Benturan Konstitusi
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra merespons usulan penundaan Pemilu 2024 yang sebelumnya diusulkan beberapa tokoh dan ketua umum partai politik.
Yusril mengatakan, usulan agar Pemilu 2024 diundur bakal menghadapi benturan konstitusi dan undang-undang.
Lantas, Yusril mempertanyakan kepada para pengusul, produk hukum apa yang harus dibuat untuk memundurkan jadwal pemilu.
Baca juga: Facebook Larang Media Pemerintah Rusia Pasang Iklan dan Dapat Uang dari Platformnya
Baca juga: Dugaan Desainer Indonesia Beli Organ Manusia, Polri Kirim Surat ke Interpol Brasil dan Singapura
Pasalnya, dalam konstitusi sudah jelas pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
"Kalau Pemilu ditunda, maka lembaga apa yang berwenang menundanya. Konsekuensi dari penundaan itu adalah masa jabatan Presiden, Wapres, kabinet, DPR, DPD dan MPR akan habis dengan sendirinya," kata Yusril dalam keterangannya, Jumat (25/2/2022).
"Lembaga apa yang berwenang memperpanjang masa jabatan para pejabat negara tersebut? Apa produk hukum yang harus dibuat untuk menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini belum dijawab dan dijelaskan oleh Cak Imin maupun Pak Bahlil," lanjutnya.
Yusril menilai, jika asal melakukan penundaan Pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden hanya akan timbul krisis legitimasi dan krisis kepercayaan.
Keadaan seperti ini, kata Yusril, harus dicermati karena berpotensi menimbulkan konflik politik yang bisa meluas ke mana-mana.
"Dalam negara demokrasi orang boleh usul apa saja tentunya. Tetapi usulan penundaan Pemilu ini menghadapi benturan konstitusi dan undang-undang," ujarnya.
Lebih lanjut, Yusril mengatakan amandemem UUD 45 menyisakan persoalan besar bagi bangsa, yakni kevakuman pengaturan jika negara menghadapi krisis seperti tidak dapatnya diselenggarakan Pemilu.
"Sementara tidak ada satu lembaga apapun yang dapat memperpanjang masa jabatan Presiden atau Wakil Presiden, atau menunjuk seseorang menjadi Pejabat Presiden seperti dilakukan MPRS tahun 1967," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Penundaan Pemilu 2024 Karena Alasan Covid-19 Tak Relevan
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul LP3S: Kalau Sampai Pemilu Ditunda, Indonesia Tak Bisa Lagi Disebut Negara Demokrasi