Penyiraman Air Keras 5 Tahun Lalu, Novel Baswedan: Perjuangan Terberat adalah Melawan Lupa
Hingga kini, dalang atau aktor intelektual di balik kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan belum terungkap.
TRIBUNTERNATE.COM - Mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengenang satu peristiwa pahit yang mengubah jalan hidupnya.
Yakni, penyiraman air keras pada wajahnya hingga menyebabkan dirinya kehilangan penglihatan pada mata kirinya.
Peristiwa tersebut terjadi pada 11 April 2017.
Lima tahun berlalu, Novel Baswedan pun kembali menyinggung penyiraman air keras yang menimpa dirinya.
Hal ini diketahui dari unggahan cuitan di akun Twitter-nya, @nazaqistsha pada Senin (11/4/2022) pagi.
Dalam cuitannya, Novel Baswedan menyebut bahwa ada banyak hal yang melingkupi insiden tersebut, seperti drama, sandiwara, kebohongan, dan kemunafikan.
Bahkan menurutnya, itu adalah keadaan yang nyaman bagi penjahat dan koruptor agar selalu terlindungi dan tak terungkap.
Meski sudah lima tahun berlalu, Novel Baswedan mengingatkan supaya peristiwa ini tidak dilupakan begitu saja.
Ia ingin kebenaran di balik kasus penyiraman air keras ini tetap diupayakan agar terungkap.
Sebab, menurutnya jika kezaliman dan kejahatan dibiarkan menang, itu sama dengan berburuk sangka terhadap Tuhan.
Baca juga: Inilah Alasan Mengapa Indonesia Tak Bisa Kendalikan Harga Minyak Goreng, Padahal Punya BUMN Sawit
Baca juga: Kalah dengan Jamu, Reog Ponorogo Tak Didaftarkan ke UNESCO, Bupati Ponorogo Kecewa pada Nadiem
Baca juga: Ketika Jokowi Merasa Bingung & Tak Nyaman atas Tudingan Ingin Tunda Pemilu-Perpanjang Masa Jabatan
"Hari ini 11 April 2022, tepat 5 tahun lalu sy diserang dgn air keras. Banyak drama, sandiwara, kebohongan dan kemunafikan. Keadaan yg nyaman bagi penjahat/koruptor berlindung. Perlawanan terberat adl perjuangan melawan lupa."
"Bila kita yakin bahwa kedzoliman / kejahatan akan menang, sesungguhnya kita telah berburuksangka kpd Allah."

Baca juga: Istri Firli Bahuri Bikin Mars dan Hymne KPK, Tuai Kritikan dari IM57+ Institute dan Novel Baswedan
Baca juga: Ajak Masyarakat Bersama-sama Lawan Korupsi, Ini Pesan Novel Baswedan di Hari Antikorupsi Sedunia
Baca juga: Arteria Dahlan Sebut Polisi, Jaksa, dan Hakim Tidak Boleh Di-OTT, Novel Baswedan: Belajar di Mana?
Kronologi
Peristiwa penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan terjadi pada Selasa, 11 April 2017 pagi.
Saat itu, Novel Baswedan sedang berjalan menuju masjid yang terletak sekitar 50 meter dari rumahnya untuk menjalankan ibadah shalat subuh berjamaah.
Suasana jalan terasa tenang dan normal seperti biasa, hanya ada beberapa orang yang melaluinya untuk pergi ke masjid.
Beberapa orang yang hadir di masjid terdiri atas warga sekitar, yang juga sebagian dikenal oleh Novel Baswedan.
Setelah menyelesaikan shalat, Novel Baswedan kembali ke rumahnya dengan berjalan kaki.
Di tengah perjalanan pulang itulah, ia mendengar suara sepeda motor mendekat dan berjalan lambat.
"Saat di pertigaan saya tidak mendengar suara motor, saat di jalan ke rumah saya, saya mendengar," kata Novel Baswedan dalam persidangan yang dipantau dari akun YouTube PN Jakarta Utara, Kamis (30/4/2020), dikutip dari Kompas.com.
Ketika sepeda motor mendekat, Novel Baswedan refleks menolehkan wajahnya ke kanan, sesuai arah datangnya suara.
Namun, belum sempat ia menengok dan mengenali wajah si pengendara, muka Novel sudah keburu disiram air keras.
Setelah menyiram wajah Novel, kedua pelaku langsung meninggalkan lokasi dengan cepat mengendarai sepeda motor matic.
Ketika disiram air keras, Novel merasakan wajahnya begitu panas seperti terbakar.
Pandangan matanya waktu itu juga sangat buram.
Baca juga: Istri Firli Bahuri Bikin Mars dan Hymne KPK, Tuai Kritikan dari IM57+ Institute dan Novel Baswedan
Kemudian, Novel Baswedan berusaha mencari sumber air untuk menyiram wajahnya di sebuah rumah paling dekat di tempat kejadian.
Akan tetapi ia mengurungkan niatnya, lalu berputar ke arah masjid untuk menjangkau tempat wudhu.
Namun, karena pandangannya begitu buram, Novel sempat menabrak batang pohon lalu terjatuh.
Ia juga berteriak kencang karena tak kuasa menahan sakitnya luka bakar yang terasa di wajah.
Mendengar teriakan Novel, warga yang ikut shalat subuh langsung menghampiri dan membantunya kembali ke masjid.
Di sana, Novel berulang kali membasuh wajahnya dengan air untuk membersihkan paparan air keras di wajahnya.
Setelah itu, tetangga Novel berinisiatif mengambil mobil dan membawanya ke Rumah Sakit Mitra Keluarga untuk mendapatkan perawatan.
Setelah dirawat di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta, Novel sempat dirujuk ke RS Jakarta Eye Center, Menteng, Jakarta.
Tak berselang lama, diambillah keputusan agar Novel Baswedan menjalani perawatan di Singapura, tepatnya di Singapore General Hospital.
“Hari ini kami sudah konsultasi dengan para dokter, mungkin untuk mendapatkan terapi yang lebih baik kita merujuk Pak Novel ke Singapura. Mohon doanya agar kondisi beliau cepat kembali pulih,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo saat itu di RS Jakarta Eye Center (12/4/2017).
Dugaan keterlibatan jenderal polisi
Diketahui, pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan baru bisa ditemukan tiga tahun setelah kejadian.
Perjalanan kasus hingga ditemukannya pelaku berlangsung dalam dua masa jabatan Kapolri, yakni di masa kepemimpinan Jenderal (Pol) Tito Karnavian dan Jenderal (Pol) Idham Azis.
Penyelidikan kasus air keras Novel Baswedan memang sempat mandek.
Bareskrim Polri selaku penanggung jawab kasus beralasan kesulitan menemukan pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan karena tak ada CCTV yang menangkap dengan jelas wajah pelaku.
Penyelidikan semakin tersendat, ketika hubungan Novel Baswedan dengan pihak kepolisian semakin tegang.
Sebab, Novel menyebut adanya dugaan orang kuat dibalik kasus penyiraman air keras yang menimpa dirinya.
Novel mengatakan ada jenderal di kepolisian yang terlibat dalam kasus penyiraman air keras tersebut.
Kemudian, ia juga mengatakan tak yakin kasusnya akan selesai jika ditangani Polri.
Ia meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) untuk mengungkap pelaku dan dalang penyiraman air keras yang membutakan mata kirinya.
Kapolri saat itu, Tito Karnavian langsung menanggapi pernyataan Novel dan meminta Novel mengungkapkan identitas jenderal polisi yang dimaksud.
Memanasnya hubungan Novel dan Polri berimbas pada proses pemeriksaan Novel di Singapura yang tak kunjung terealisasi.
Polri akhirnya baru memeriksa Novel di Singapura pada 14 Agustus 2017.
Polri bentuk tim gabungan
Hingga awal tahun 2019, kasus penyiraman Novel tak kunjung menemui titik terang.
Polri akhirnya memutuskan membentuk tim gabungan untuk mengusut tuntas kasus penyiraman air keras terhadap Novel.
Pembentukan tim melalui surat tugas tersebut untuk menindaklanjuti rekomendasi tim Komnas HAM dalam penuntasan kasus Novel Baswedan.
Dari salinan surat tugas dengan nomor Sgas/3/I/HUK.6.6/2019 yang diterima Kompas.com, tim gabungan terdiri dari 65 orang dari berbagai unsur di antaranya praktisi yang menjadi tim pakar, internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kepolisian.
“Tim gabungan yang terdiri atas Kepolisian Negara Republik Indonesia, KPK, tokoh masyarakat, pakar dan pihak lain yang dibutuhkan, paling lambat 30 hari setelah rekomendasi (Komnas HAM) diterima,” kata Kadiv Humas Polri Muhammad Iqbal.
Dalam surat tugas tersebut, tim diperintahkan melaksanakan setiap tugas serta melakukan koordinasi dan kerja sama dengan berbagai pihak dan instansi terkait berdasarkan prosedur tetap yang telah diatur sesuai dengan perundang-undangan.
Surat tugas ini berlaku selama enam bulan terhitung mulai 8 Januari 2019 sampai dengan 7 Juli 2019.
Pelaku penyiraman ditangkap
Setelah beberapa kali tim gabungan Polri melewati tenggat waktu penyelesaian kasus, mereka akhirnya menangkap pelaku penyiraman Novel pada 26 Desember 2019.
Pelaku penyiraman Novel yang ditangkap merupakan dua orang anggota Polri.
Mereka adalah Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis.
Dalam persidangan jaksa menuntut dua terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, Rahmat dan Rony, dengan hukuman satu tahun penjara.
Rahmat dianggap terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan dan mengakibatkan luka berat pada Novel karena menggunakan cairan asam sulfat atau H2SO4 untuk menyiram penyidik senior KPK itu.
Sementara itu, Rony dianggap terlibat dalam penganiayaan karena ia membantu Rahmat dalam melakukan aksinya.
Mendengar tuntutan tersebut, Novel Baswedan menilai ada yang janggal dalam persidangan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya itu
. Menurut Novel, salah satu kejanggalan yang terlihat yakni adanya upaya penggiringan opini bahwa air yang digunakan pelaku untuk menyiram bukan air keras.
Selain itu, Novel merasa tak yakin bahwa kedua polisi tersebut pelaku tunggal dari kasus penyiraman air keras yang menimpa dirinya.
Ia meyakini ada dalang dari kasus penyiraman tersebut yang belum ditangkap.
Meski demikian persidangan terus berlanjut dan kedua pelaku yakni Rahmat dan Ronny masing-masing divonis dua tahun dan 1,5 tahun penjara.
Namun, hingga kini, dalang atau aktor intelektual di balik kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan belum terungkap.
(TribunTernate.com/Rizki A.) (Kompas.com/Rakhmat Nur Hakim)