Pemkab Halmahera Barat
Pelatihan Perangkat Adat di Halmahera Barat Dikritik Sultan Jailolo Siddik Sjah
"Tapi tidak boleh memaksakan tafsir sampai membuat kegiatan seolah para perangkat adat butuh diajari, "cecar Sultan Jailolo Muhammad Siddik Sjah
Penulis: M Julfikram Suhadi | Editor: Munawir Taoeda
TRIBUNTERNATE.COM, TERNATE - Pelatihan Peningkatan Kapasitas Perangkat Adat Kesultanan Jailolo tuai kritikan.
Salah satu program Pemprov Maluku Utara dikritik oleh tokoh Kesultanan Jailolo hingga masyarakat.
Bagaimana tidak, kegiatan ini dinilai tidak hanya keliru secara konseptual.
Tetapi juga mencerminkan ketidak pemahaman birokrasi, yang telah mengabaikan martabat dan struktur adat yang telah hidup jauh sebelum negara hadir.
Baca juga: Miris, Tukin Pegawai UPTD Farmasi Ternate Hanya Rp 3 Juta
Perihal itu disampaikan langsung Sultan Jailolo Al Hajj Kaicil Muhammad Siddik Sjah pada Senin (2/6/2025).
Dikatakan, pelaksanaan pelatihan yang diselenggarakan bebrapa waktu lalu merupakan bentuk intervensi secara terang-terangan terhadap polemik internal di Kesultanan Jailolo, yang saat ini masih berproses.
Bahkan terkesan melecehkan lembaga adat dengan mau 'mengajarkan' tentang adat kepada salah satu faksi yang mengatasnamakan kesultanan di Jailolo.
"Artinya, terkait dengan warisan budaya secara umum tentu dipersilahkan kepada pemerintah untuk melakukan kolaborasi dalam pengembangan dan pelestarian tradisi lokal."
"Tapi tidak boleh memaksakan tafsir sampai membuat kegiatan seolah para perangkat adat butuh diajari."
"Karena program dengan frasa 'pelatin peningkatan kapasitas adat' tentu menjadi tafsir bahwa Dinas Dikbud Provinsi mau mengajarkan tentang adat kepada pihak adat."
"Sehingga kegiatan tersebut merupakan tindakan keliru (siapa guru dan siapa murid) atau mungkin perangkat adat beserta yang katanya sultan yang disasar itu memang benar tidak tau apalagi paham tentang adat. Sehingga, butuh di beri penguatan, "tegasnya.
Lanjutnya, ketika disebut sebagai kesultanan, tentu harus menjadi gudang pengetahuan terkait adat istiadat dan budaya setempat.
Seperti yang diketahui sebelumnya, secara khusus bahwa kondisi masyarakat adat Kesultanan Jailolo saat ini masih terpecah karena adanya dua lisme kemimpiman (sultan), yang belum mendapatkan legitimasi penuh dari masyarakat adat
Artinya dualisme kepemimpinan simbol kultur ini harus diselesaikan terlebih dahulu.
"Karena dualisme, pemerintah daerah (termasuk kepala daerah di Halmahera Barat dan Maluku Utara) harus menjunjung tinggi netralitas dan rekonsiliasi bagaimana amanat UU no 23 tahun 2014, tentang pemerintahan daerah dengan narasi Pemda harus menjaga ketertiban umum dan hubungan antar masyarakat, "harap Siddik Sjah.
Menurut Siddik Sjah, terkait etika administrasi publik, pemerintah tidak boleh menjadi pemicu konflik horisontal.
"Karena dengan adanya keterlibatan dengan salah satu pihak melalui menyelenggarakan kegiatana-kegiatan resmi atau seremonial, dapat menjadi pengakuan pisikologis sepihak yang dapat menimbulkan konflik secara terbuka dikalangan masyarakat adat, "imbuhnya.
Untuk itu, ia menghendaki kepada pemerintah daerah selaku pengampu masyarakat dengan adanya polemik saat ini, harus menjadi fasilitator sekaligus mediator dalam penyelesaian konflik interest kepemimpinan yang belum ada kejelasan, maka:
1. Pemerintah daerah harus bersikap netral.
2. Tidak boleh membuat kegiatan yang bisa dianggap/terkesan mengakui salah satu kubu secara sepihak.
Baca juga: Anggaran Pemusnahan Limbah Medis Tak Ada, UPTD Farmasi Ternate Terpaksa Cari Akal Sendiri
3. Kegiatan yang melibatkan kesultanan harus dihindari dulu atau dilakukan dengan pendekatan dialog dua pihak.
"Apa yang kami sampaikan ini berkaitan dengan UUD 1945 Pasal 18B ayat (2): negara menghormati lembaga adat sepanjang sesuai prinsip NKRI."
"Untuk itu sekali lagi kami tegaskan, jika belum ada langkah penyelesaian antar pihak, sebaiknya sikap netral adalah langkah yang paling etis, pungkas Siddik Sjah. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.