Menyapa Nusantara 2025
Menuju Kabupaten Merdeka Fiskal
'Merdeka Fiskal' bukan berarti memutus hubungan dengan Pempus, melainkan menggeser pola pikir dari ketergantungan menjadi kemandirian daerah
TRIBUNTERNATE.COM, TERNATE - Diskusi terbatas antara Komisi II DPR RI dan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) menjadi ruang pertemuan gagasan yang sarat makna tentang arah kebijakan fiskal daerah dan masa depan demokrasi elektoral Indonesia.
Di forum ini, penulis mengangkat isu terkait urgensi membangun fondasi kemandirian fiskal kabupaten sebagai salah satu prasyarat utama menuju tata kelola pemerintahan daerah yang lebih berdaya.
Angka yang patut dicermati memang mengejutkan, dengan sekitar 90,3 persen daerah di Indonesia atau 493 dari 546 daerah masih bergantung pada transfer pusat, dengan kategori kapasitas fiskal lemah.
Tercatat hanya 26 daerah, atau 4,76 persen, yang benar-benar mampu berdiri di atas kaki sendiri, dengan pendapatan asli daerah lebih besar daripada dana transfer.
Situasi ini memunculkan tantangan serius bagi kemampuan daerah dalam mengoptimalkan badan usaha milik daerah (BUMD), badan layanan umum daerah (BLUD), dan pengelolaan aset yang menjadi tulang punggung pembangunan lokal.
Gagasan Kabupaten "Merdeka Fiskal" bukan berarti memutus hubungan dengan pemerintah pusat, melainkan menggeser pola pikir dari ketergantungan menjadi kemandirian daerah.
Dengan demikian, maka transfer pusat seharusnya hanya menjadi stimulan, bukan menjadi napas utama penggerak pembangunan daerah.
Strategi yang bisa dilakukan mencakup diversifikasi sumber pendapatan asli daerah, reformasi total BUMD agar dikelola secara profesional, optimalisasi pemanfaatan aset daerah, serta perbaikan tata kelola transfer pusat agar lebih efektif.
Dalam kerangka ini, Komisi II DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri sedang merancang RUU Badan Usaha Milik Daerah, sebagai salah satu instrumen hukum kunci.
RUU ini diharapkan melahirkan tata kelola korporasi yang modern, memisahkan penugasan layanan publik dari bisnis komersial, memastikan proses seleksi direksi yang profesional dan bebas dari intervensi politik, serta memperkuat mekanisme pengawasan.
Di sisi lain penting juga untuk memperhatikan pemisahan yang tegas antara tugas sosial BUMD sebagai penyedia layanan publik atau public service obligation (PSO) dan aktivitas bisnis komersial.
Untuk PSO, diperlukan kompensasi yang jelas agar tidak terjadi subsidi silang yang justru membebani kinerja BUMD.
Selain soal kemandirian fiskal, isu lain yang menjadi concern banyak pihak adalah soal dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi No.135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal dengan jarak 2,5 tahun.
Putusan ini ibarat sebagai “gempa konstitusional” yang merobek desain pemilu serentak yang sudah dibangun.
Ada tiga problem utama yang bisa disoroti. Pertama, tumpang tindih norma hukum karena pemisahan jadwal pemilu dinilai bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang mengamanatkan pemilu lima tahunan yang diselenggarakan secara serentak.