Stafsus Menkeu Tegaskan Tak Ada Kebijakan Pajak Sembako hingga 12 Persen: Sama Sekali Tidak Ada

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi sembako - Dalam pasal 4A, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dihapus dalam RUU KUP sebagai barang yang tidak dikenakan PPN. Dengan kata lain, sembako akan dikenakan PPN. Teranyar diketahui, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyiapkan opsi tarif PPN untuk sembako. Salah satunya adalah opsi dikenakan tarif 1%.

Oleh sebab itu, Menkeu merasa tidak bijak jika masyarakat kelas atas tidak dikenai PPN dalam hal konsumsi sembako.

"Tidak bijak kalau barang-barang tersebut dikecualikan atau tidak dikenai PPN misalnya."

"Tapi, untuk yang dikosumsi masyarakat banyak, tentu sangat bijak kalau diberi fasilitas perpajakan," jelas Yustinus.

Yustinus juga menegaskan bahwasannya bahan-bahan pokok yang termasuk ke dalam sembako, seperti beras, jagung, dan sagu tidak akan dikenai pajak sebesar 12 persen.

"Tidak ada bunyi di RUU itu mengatakan beras, jagung, sagu itu lalu kena PPN 12 persen, silakan dibaca, tidak ada mbak," tegas Yustinus.

Staf Khusus Menteri Keuangan (Stafsus Menkeu) Yustinus Prastowo dalam acara Sapa Indonesia Malam, KompasTV. (YouTube/KompasTV)

Pedagang Pasar: Penerapan PPN Sembako Bisa Merugikan hingga 90 Persen

Rencana pemerintah mengenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kebutuhan pokok atau sembako dikritik keras oleh Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) karena berpotensi membuat kerugian hingga 90 persen.

Ketua Umum IKAPPI Abdullah Mansuri mengungkapkan, kerugian yang dialami oleh pelaku usaha akan berimbas juga kepada konsumen.

Sementara itu, terkait dengan rencana pemerintah untuk memperkuat Bansos pasca memajaki sembako dinilai kurang efektif karena sejauh ini subsidi tersebut belum sampai.

“Dari kasat mata kita sudah bisa lihat banyak kerugiannya, bisa sampai 90 persen. Saya pesimis juga jika pemerintah atau Kemenkeu memberikan subsidi kepada pedagang atau masyarakat kecil, sampai detik ini subsidi itu belum sampai,” ujar dia.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyebut, di samping kebijakan tersebut, pemerintah memperkuat perlindungan sosial, dan bansos sehingga menjadi relevan bandingkan potensi bertambahnya pengeluaran dengan PPN.

Baca juga: Presiden Jokowi Pastikan Pemerintah Menanggung Pajak Insan Pers hingga Juni 2021

Baca juga: Redam Dampak Corona, Karyawan Bergaji hingga Rp 16 Juta Per Bulan Bebas Pajak, Berlaku Mulai April

Mansuri menjelaskan, yang terjadi di lapangan saat ini adalah banyaknya pedagang pasar yang unbankable.

Ia berharap pemerintah bisa mengerti dan memahami kondisi yang terjadi sehingga memikirkan ulang untuk menerapkan PPN sembako.

“Pedagang pasar bukan bankable, mereka sulit punya NPWP dan enggak punya persyaratan itu. Izin usaha juga enggak punya, jadi pemerintah harus paham fakta di lapangan. Saya keras mengkritik pemerintah, agar bahan pangan tidak dibebankan pajak,” jelas dia.

Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam, hal-hal yang berkembang di masyarakat terkait dengan PPN sembako memang berpotensi menimbulkan kekisruhan, yang sudah pasti berujung kerugian.

Halaman
123

Berita Terkini