"Dengerin kamu anak muda, kamu enggak berhak nuntut saya."
"Karena saya juga punya hak untuk tidak memberi tahu," tegas Luhut.
Jawaban Luhut itu sontak mendapat tanggapan oleh para mahasiswa yang menganggap dirinya otoriter.
Namun, Luhut kembali menepis pernyataan itu dan mengatakan bahwa dirinya tidak otoriter.
"Kalau otoriter saya enggak samperin kamu," pungkas Luhut.
Video selengkapnya.
Baca juga: Curiga Narsisistik Megalomania, Amien Rais Sarankan Luhut dan Jokowi Periksa ke Psikolog
Baca juga: ICW Tagih Luhut soal Transparansi Big Data Penundaan Pemilu 2024, Singgung soal Pertanggungjawaban
Tanggapan pakar siber
Terkait klaim Luhut soal kepemilikan big data masyarakat yang meminta penundaan Pemilu 2024, pakar keamanan siber Pratama Persadha memberikan tanggapannya.
Dalam keterangannya pada Senin (11/4/2022), Pratama menjelaskan bahwa harus jelas proses bagaimana dan darimana data ini diambil, sehingga tidak menimbulkan polemik di masyarakat.
“Secara teknis, ada banyak cara mengetahui perbincangan publik di media sosial atau platform internet lainnya. Karena itu, kita perlu bertanya 110 juta yang disampaikan Pak Luhut ini mengambil data dari platform apa dan bagaimana metodologinya. Perlu disampaikan ke publik, agar kita bisa menilai sejauh mana, sekaligus membuka ruang diskusi,” terang Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) itu seperti dikutip dari Tribunnews.
Digarisbawahi Pratama, harus jelas sumber data dari pembicaraan masyarakat ini.
Misalnya bila mengambil dari Twitter, karena pemakai aktif twitter di Indonesia kini hanya di angka 15 jutaan saja, itupun juga masih banyak akun-akun anonim.
Jadi, tidak mungkin data 110 juta tersebut berasal dari Twitter.
“Bila mengambil dari Twitter ini jelas tidak cukup, bahkan dari hasil riset CISSReC menggunakan Open Source Intelligence (OSINT) akun Twitter yang membicarakan soal perpanjangan jabatan dan 3 kali periode di kisaran 117.746 (Tweet, Reply, Retweet) dan mencapai 11.868 pemberitaan online."
"Dari data keduanya diketahui yang kontra penundaan pemilu pada Twitter sebesar 83,60 persen dan pro 16,40 persen. Sedangkan pada Media Online dengan kontra sebesar 76,90 persen dan pro 23,10 persen. Dari data ini saja sudah terlihat jelas lebih banyak yang menolak penundaan pemilu,” jelas Pratama.