Terkini Internasional
Pakar HAM PBB: Militer Myanmar Kemungkinan telah Lakukan Kejahatan Kemanusiaan
Pakar HAM PBB menambahkan, setidaknya 70 orang dilaporkan tewas 'terbunuh' sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021 lalu.
TRIBUNTERNATE.COM - Pakar hak asasi manusia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Thomas Andrews menyebut, militer Myanmar kemungkinan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hal ini disampaikan pada Kamis (11/3/2021).
Ia menambahkan, setidaknya 70 orang dilaporkan tewas 'terbunuh' sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021 lalu.
Di hadapan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Swiss, Thomas Andrews menyebut bahwa Myanmar saat ini "dikontrol oleh rezim ilegal dan kejam."
Dikutip TribunTernate.com dari laman Channel News Asia, Thomas Andrews memaparkan ada bukti bahwa militer Myanmar telah melakukan kejahatan kemanusiaan.
"Ada bukti yang berkembang bahwa militer Myanmar, yang dipimpin oleh pemimpin senior yang sama, sekarang mungkin terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk tindakan pembunuhan, penghilangan paksa, penganiayaan, penyiksaan," kata Thomas.
Sambil menekankan bahwa pelanggaran semacam itu hanya dapat ditentukan di pengadilan, dia mengatakan ada bukti jelas bahwa kejahatan pemerintah militer "meluas", "sistematis", dan menjadi bagian dari "kampanye terkoordinasi".
Dia juga mengatakan bahwa itu dilakukan dengan "sepengetahuan dari kepemimpinan senior", termasuk pemimpin militer Min Aung Hlaing.
Pelapor Khusus PBB juga saat ini sedang mempresentasikan laporan terbarunya tentang situasi tersebut kepada dewan.
Namun, pihak Pelapor Khusus PBB menyesalkan bahwa sejak laporan itu diterbitkan pekan lalu, jumlah orang yang terbunuh dan ditahan oleh militer justru meningkat secara signifikan.
Baca juga: Demokrat Versi KLB Bantah Tawari Posisi Ketua Umum dan Ajak Gatot Nurmantyo Gulingkan AHY
Baca juga: Gatot Nurmantyo Sebut eks Kader Partai Demokrat Pernah Tawari Dirinya Jadi Ketum Versi KLB
Baca juga: Kecelakaan Maut Bus Sri Padma Kencana, Lewat Tanjakan Cae Sumedang atas Usulan Para Penumpang

'MENAHAN DIRI'
Tekanan diplomatik semakin meningkat sejak para jenderal militer merebut kekuasaan Myanmar dan memicu protes di seluruh negeri.
Militer bersikeras mempertahankan pengambilalihannya dengan mengutip adanya 'ketidakberesan' dalam pemilihan umum November 2020 lalu yang dimenangkan oleh partai pemimpin sipil, Aung San Suu Kyi.
Chan Aye, sekretaris tetap Kementerian Luar Negeri Myanmar, mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB melalui pesan video pada Kamis (11/3/2021) bahwa pihak berwenang "telah menahan diri sepenuhnya untuk menangani protes kekerasan."
Namun menurut Thomas Andrews, "Pasukan keamanan Myanmar telah membunuh sedikitnya 70 orang" sejak 1 Februari 2021, kebanyakan dari mereka berusia di bawah 25 tahun.
Komentar ini muncul ketika sembilan pengunjuk rasa ditembak mati di Myanmar pada Kamis kemarin.
Hingga Rabu (10/3/2021) malam, pemerintah militer telah secara sewenang-wenang menangkap dan menahan lebih dari 2.000 orang, katanya.
Sementara, "kekerasan terhadap pengunjuk rasa, termasuk kekerasan terhadap orang-orang yang hanya berdiam di rumah, terus meningkat".
Baca juga: 38 Demonstran Anti-kudeta Myanmar Tewas, PBB: Bagaimana Kita Bisa Melihat Situasi Ini Lebih Lama?
Baca juga: Media Asing Soroti Indonesia yang Diprotes Massa Anti-Kudeta Myanmar
Baca juga: Soroti Kudeta Militer di Myanmar, DK PBB Serukan Aung San Suu Kyi Dibebaskan
DIPERLUKAN TINDAKAN INTERNASIONAL
Bahkan sebelum kudeta, kepemimpinan saat ini di Myanmar menghadapi dakwaan atas "kejahatan kekejaman" dan "genosida" di hadapan Pengadilan Kriminal Internasional atas perlakuannya terhadap Muslim Rohingya, ingat Thomas Andrews.
"Sejak kudeta, militer Myanmar telah menyerang dan memaksa beberapa ribu anggota etnis mengungsi dari rumah mereka," katanya.
Thomas Andrews mengatakan bahwa berdasarkan bukti "junta Myanmar terlibat dalam kejahatan kekejaman terhadap rakyatnya sendiri saat ini", ada tindakan yang segera dilakukan.
Pekan lalu, pakar HAM itu mendesak Dewan Keamanan PBB untuk kembali memberlakukan embargo senjata dan menyasar kembali sanksi militer Myanmar.
Dewan Keamanan PBB, yang mencakup pendukung tradisional utama Myanmar, China, tidak mengindahkan seruan itu, meskipun mereka mengeluarkan pernyataan pada hari Rabu yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam tentang situasi tersebut.
Thomas Andrews menggambarkan pernyataan itu "sama sekali tidak cukup."
Ia bersikeras bahwa rakyat Myanmar tidak hanya membutuhkan kata-kata dukungan tetapi juga tindakan yang mendukung.
"Mereka butuh bantuan masyarakat internasional sekarang," katanya.
Baca juga: Kudeta Militer di Myanmar, Kementerian Luar Negeri RI Minta WNI Tetap Waspada
SANKSI, EMBARGO SENJATA?
Thomas Andrews pun menyarankan agar negara-negara di dunia harus menemukan cara untuk bersisian dengan Dewan Keamanan PBB yang terus-terusan diblokir dan menjatuhkan sanksi terkoordinasi.
Keengganan beberapa negara untuk bertindak seharusnya tidak menghalangi tindakan terkoordinasi dari mereka yang ada, katanya.
Dia menyerukan pembentukan "Koalisi untuk Rakyat Myanmar" darurat, untuk mengoordinasikan sanksi dan embargo senjata, dan juga berusaha untuk mengadili pejabat keamanan senior Myanmar di bawah yurisdiksi universal.
Sementara, sebuah rancangan resolusi tentang situasi di Myanmar juga diajukan pada Kamis kemarin untuk dipertimbangkan di dewan hak asasi akhir bulan ini.
Seperti resolusi yang diambil selama sesi khusus dewan pada bulan lalu, teks tersebut menyerukan kepada militer untuk memulihkan pemerintahan sipil dan segera membebaskan Aung San Suu Kyi dan tokoh politik sipil lainnya yang telah ditahan secara sewenang-wenang.
Resolusi ini juga menuntut "akses penuh, tidak terbatas dan tidak terpantau" untuk semua pemegang mandat PBB, termasuk Thomas Andrews dan tim khusus yang sudah mengumpulkan bukti penuntutan atas kejahatan yang sebelumnya dilakukan di negara itu, terutama terhadap Rohingya.
Selain itu, teks tersebut meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk menyediakan penyelidik dengan bantuan dan sumber daya yang diperlukan untuk menyelidiki situasi sepenuhnya di Myanmar.
SUMBER: AFP via Channel News Asia
(TribunTernate.com/Rizki A.)