Terkini Internasional
Selama Protes Anti-Kudeta di Myanmar, Lebih dari 500 Orang Tewas di Tangan Junta Militer
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (Assistance Association for Political Prisoners/AAPP) telah mengonfirmasi, total ada 510 warga sipil tewas.
TRIBUNTERNATE.COM - Upaya kudeta militer untuk menggulingkan pemerintahan sipil Myanmar memicu gelombang protes yang telah berlangsung kurang lebih dari dua bulan.
Pihak junta militer Myanmar semakin menunjukkan tindakan keji.
Lebih dari 500 orang tewas akibat upaya junta militer Myanmar menumpas protes terhadap kudeta untuk menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.
Hal ini disampaikan oleh sebuah kelompok pemantau lokal pada Selasa (30/3/2021).
Jumlah korban tewas yang mengerikan itu tercatat, ketika dunia meningkatkan kecaman atas kampanye militer melawan gerakan yang menuntut pemulihan demokrasi dan pembebasan Aung San Suu Kyi.
Diketahui, Washington menangguhkan pakta perdagangan dengan Myanmar.
Sementara, sekretaris jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan front persatuan global untuk menekan junta militer setelah lebih dari 100 pengunjuk rasa tewas dalam kekerasan berdarah akhir pekan lalu.
Pada Sabtu (27/3/2021), muncul kabar setidaknya 107 orang tewas dalam sehari di berbagai wilayah di Myanmar ketika pasukan keamanan melepaskan tembakan ke arah para pemrotes.
Baca juga: Pakar HAM PBB: Militer Myanmar Kemungkinan telah Lakukan Kejahatan Kemanusiaan
Baca juga: 38 Demonstran Anti-kudeta Myanmar Tewas, PBB: Bagaimana Kita Bisa Melihat Situasi Ini Lebih Lama?
Baca juga: Jual Beli Emas Menggeliat Pasca-penemuan Emas di Pantai Maluku Tengah, 300 Gram Dijual Setiap Hari
Unjuk rasa harian di seluruh negeri Myanmar yang dilakukan oleh pedemo tak bersenjata justru disambut dengan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (Assistance Association for Political Prisoners/AAPP) telah mengonfirmasi, total ada 510 warga sipil tewas.
Namun, lembaga itu memperingatkan bahwa jumlah korban tewas yang sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak pemerintah Myanmar untuk melakukan "transisi demokrasi yang serius."
"Benar-benar tidak dapat diterima, melihat kekerasan terhadap masyarakat pada tingkat yang begitu tinggi, begitu banyak orang terbunuh," kata Antonio Guterres dalam sebuah konferensi pers.
"Kami membutuhkan lebih banyak persatuan ... (dan) lebih banyak komitmen dari komunitas internasional untuk memberikan tekanan guna memastikan bahwa situasinya bisa berbalik," katanya.
Pada Senin (29/3/2021), pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Joe Biden mengumumkan bahwa Perjanjian Kerangka Perdagangan dan Investasi 2013, yang mengatur cara untuk meningkatkan bisnis meski bukan kesepakatan yang sepenuhnya matang, akan tetap ditangguhkan sampai demokrasi di Myanmar pulih.

Baca juga: VIDEO Kapal Ever Given di Terusan Suez Berhasil Dibebaskan, Lalu Lintas Maritim Resmi Dilanjutkan
Baca juga: Sederet Fakta Sosok Lukman, Pelaku Bom Bunuh Diri Gereja Katedral Makassar, Berubah Sejak Menikah
"Amerika Serikat mengutuk keras kekerasan brutal pasukan keamanan Burma terhadap warga sipil," kata Perwakilan Dagang AS Katherine Tai, menggunakan nama lama Myanmar, Burma.
Pernyataan tersebut secara efektif menghapus Myanmar dari Sistem Preferensi Umum, di mana AS memberikan akses bebas bea impor dari sejumlah negara berkembang jika mereka memenuhi standar utama.
Pada Sabtu pekan lalu, militer Myanmar menandai Hari Angkatan Bersenjata tahunan dengan parade besar pasukan dan baju besi di ibu kota Naypyidaw.
Namun, pada hari itu juga terjadi penindasan berdarah terhadap protes di seluruh negeri, dengan setidaknya 107 orang tewas, termasuk tujuh anak-anak.
Terlepas dari pertumpahan darah tersebut, pengunjuk rasa kembali muncul pada hari Senin.
Sementara, para pelayat di pemakaman korban tewas Sabtu sebelumnya menunjukkan penghormatan tiga jari yang telah menjadi simbol dari gerakan anti-kudeta.
Anggota Dewan Keamanan PBB akan mengadakan pertemuan pada Rabu (31/3/2021) untuk membahas situasi tersebut, kata sebuah sumber diplomatik, setelah Inggris menyerukan pembicaraan darurat.
Kekejaman militer Myanmar telah memancing kecaman dari berbagai negara.
Prancis mengutuk kekerasan militer, dan melabelinya "buta dan mematikan."
Sementara, China menambahkan suaranya ke ungkapan keprihatinan internasional pada hari Senin, menyerukan semua pihak untuk menahan diri.
Di Rusia, Kremlin mengatakan pihaknya "sangat prihatin" dengan meningkatnya jumlah korban sipil, meskipun mengakui pihaknya membangun hubungan dengan otoritas militer Myanmar.
Selain itu,, AS, Inggris, dan Uni Eropa telah menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar sebagai tanggapan atas kudeta militer dan tindakan keras.
Namun sejauh ini, tekanan diplomatik belum bisa membujuk para jenderal di Myanmar untuk mengurangi tekanannya.
SUMBER: AFP via Channel News Asia
(TribunTernate.com/Rizki A.)