Formappi: Kinerja DPR RI Periode 2019-2024 Terburuk Sepanjang Era Reformasi
Dalam waktu dua tahun sejak dilantik, DPR RI hanya mampu mengesahkan empat undang-undang, beberapa di antaranya pun menuai polemik.
Lucius lantas membandingkan di dua tahun pertama kerja DPR periode lalu (2014-2019), sudah menghasilkan 16 UU yang disahkan. Jumlah tersebut jauh lebih banyak ketimbang DPR RI saat ini.
"Ini sangat jauh lebih sedikit dari 2014-2019 yang di dua tahun pertamanya sudah berhasil menghasilkan belasan RUU. Tahun pertama waktu itu sudah ada enam, tahun kedua ada sepuluh. Jadi ada 16 RUU prioritas di DPR 2014-2019 di dua tahun pertama kerja mereka."
"Sementara yang sekarang baru empat. Dari sini saja sudah menunjukkan potret atau potensi DPR 2019-2024 ini menjadi DPR dengan kinerja terburuk saya kira untuk DPR-DPR era Reformasi," ujarnya.
Baca juga: Pedagang Angkringan Gugat Jokowi ke PTUN Minta Ganti Rugi dan Tolak PPKM, Ini Respon Istana
Baca juga: Mundur dari Komisaris Garuda Indonesia, Yenny Wahid Mengaku Sedih: Demi Efisiensi Biaya
Baca juga: Tes Swab PCR di Indonesia Lebih Mahal Ketimbang Negara Lain, Guru Besar FKUI: Itu Perlu Diselidiki
Selain kinerja DPR dari sisi legislasi, Formappi juga menyorot kinerja Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.
Formappi menilai MKD saat ini adalah lembaga yang sama sekali tidak berguna.
Peneliti Formappi, Albert Purwa mengatakan hal itu setelah melihat MKD DPR yang tak berani memproses Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin yang diduga terlibat kasus suap Wali Kota Tanjungbalai.
"MKD sampai akhir masa sidang V ini belum juga berani memproses Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin yang ditengarai melakukan pelanggaran kode etik terkait dengan kasus suap wali kota Tanjungbalai kepada penyidik KPK," kata Albert.
Atas dasar itu Formappi menilai keberadaan MKD perlu ditinjau kembali karena dinilai tidak berguna dalam melakukan penanganan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran.
"Dengan demikian, sekali lagi MKD ini tampak semakin tidak berguna dan keberadaannya mesti ditinjau kembali," ujarnya.
Menanggapi kritikan dari Formappi itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PPP Achmad Baidowi mengakui situasi pandemi Covid-19 turut menjadi faktor terhambatnya penyusunan UU.
Namun menurutnya, apapun pernyataan yang diberikan pasti DPR akan diprotes.
"Kemarin ketika kita mau membahas RUU Cipta Kerja diprotes 'ini DPR kok mau memahas RUU bukannya menangani pandemi'," kata Baidowi saat dihubungi Tribunnews, Jumat (13/8/2021).
"Giliran kita menangani pandemi berimbas pada legislasi yang turun kita juga diprotes. Ya biasa saja begitu memang, tidak ada yang benar memang," imbuhnya.
Baidowi menjelaskan, selama pandemi Covid-19 pembahasan RUU digelar secara simultan melalui fisik dan virtual. Hal tersebut membuat pembahasan setiap RUU menjadi tidak maksimal.
Di sisi lain, tidak semua substansi dari pembahasan RUU dapat disampaikan lantaran penggunaan aplikasi virtual yang berpotensi diketahui negara lain.